07 Desember 2022

opini musri nauli : Takuk

 


Kata “takuk” begitu lekat dan menjadi bagian penting bagi masyarakat Melayu Jambi. 


Betakuk adalah membuat tanda dengan cara memotong sebagian Kecil namun jelas. Dengan demikian maka “takuk” sekaligus memberi tanda pada kayu sebagai penanda. Biasanya dilanjutkan dengan prosesi untuk ditumbangkan yang kemudian dijadikan ladang (umo/huma). Prosesi ini biasa disebutkan dengan “Lambas” atau “manggang”. 

Dengan dibuatkan tanda (takuk) maka terhadap Kayu yang Sudah ditandai (takuk) maka menjadi hak kepemilikan terhadap tanahnya. 


Di beberapa tempat “takuk” dapat berupa “ranting pohon” dipatahkan (tuki), atau pohon ditebang setengah (takuk pohon). 


Di beberapa tempat sering juga disebutkan sebagai “Sak sangkut”. 


Istilah “takuk” atau “tuki” “sak sangkut” adalah memberikan tanda. 


Didalam Tembo, batas wilayah Jambi dikenal dengan istilah durian di Takuk Rajo (Batas dengan Sumsel), sialang belantak besi (Batas dengan sumbar), Salo belarik (batas dengan Riau). 


Lebih lengkapnya “dari durian ditakuk rajo lepas kesialang belantak besi melayang ke Tanjung Simalidu menepih beringin nan sebatang. 


Istilah “durian takuk rajo” bisa ditemui di VII Koto dan Sumay yang berbatasan langsung dengan Sumbar. 


Sedangkan berbatasan dengan Riau biasa dikenal “salo belarik”, Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan yang kesemuanya termasuk kedalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh. 


Istilah salo belarik”, Bukit alunan babi, bukit cindaku, parit Sembilan masih dapat dijumpai di Margo Sumay. 


Nama-nama tempat seperti Tanjung Samalidu dikenal sebagai Nagari yang termasuk kedalam kecamatan Koto Salak, Dharmasraya (Sumbar). Wilayah langsung berbatasan dengan Provinsi Jambi. 


Tanjung Samalidu juga dikenal didalam ingatan kolektif masyarakat Marga VII Koto, Marga Sumay dan Marga IX Koto (Kabupaten Tebo). 


Tembo “Takuk Rajo” dan Tanjung Samalidu juga tercatat didalam Buku “Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi (Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk). 


Nama “Takuk” Rajo juga menjadi pembatas antara Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto. Yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh, Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi salak” . Di Marga IX Koto dikenal batas dengan Marga VII adalah “Sungai Rami/Cermin alam, Pulau Tedung.


Istilah “takuk Rajo” juga dikenal di Marga Sungai Tenang yang menyebutkan “Dendang kayu batakuk baris, dendang hutan besawa sulo. 


Sehingga “takuk” oleh raja adalah memotong pohon oleh raja sebagai penanda batas wilayah. 



Advokat. Tinggal di Jambi