03 Maret 2023

opini musri nauli : Kesatria

 

Dua persidangan yang melibatkan Inspektur Jenderal aktif didalam kasus “pembunuhan” dan “jual beli narkoba”, terlihat jelas “upaya sistematis” dari kedua pelaku untuk “mengalihkan” tanggungjawab kepada anggotanya yang menerima perintah. 


Keduanya berujar bahwa “perintah” mereka kemudian “ditafsirkan salah” yang menerima perintah. Didalam hal ini adalah Anak buahnya. 

Terlepas dari “Sang Jenderal” sebagai “otak Intelektual” pembunuhan sekaligus “aktor penting (daderl intelektual)”, sang Jenderal kemudian merasakan hukuman maksimal. Pidana mati. 


Hakim kemudian “mengabaikan pembelaan dari terdakwa”. 


Disisi lain, perkara “jual beli narkoba”, lagi-lagi sang pelaku (Inspektur Jenderal aktif) malah sibuk berkelit. 


Termasuk menolak “memerintahkan” kepada Anak buahnya (notabene Mantan Kapolres Bukittinggi) dan jaringannya, malah sibuk menggunakan istilah “terawas” dari kata “tawas” dan menolak tidak pernah melihat barang bukti sabu-sabu seberat 5 kg. 


Apabila kasus ini hanya melibatkan “orang biasa”, maka para tersangka memang sama sekali tidak “berkewajiban” untuk membuktikan perkaranya. 


Tugas pembuktian perkara adalah Penyidik dan Jaksa Penuntut umum dimuka persidangan. 


Bahkan terdakwa diberikan “hak ingkar” dari segala tuduhan. 


Demikianlah asas didalam KUHAP. 


Namun disisi lain, Dua peristiwa ini kemudian mengajarkan bagaimana “seorang komandan” yang mempunyai posisi penting, posisi moncer hingga berbagai jabatan yang mumpuni kemudian malah menunjukkan sikap “memalukan”. 


Menghindarkan “tanggungjawab” dan melemparkan kesalahan kepada anggota. 


Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata kesatria adalah orang (baca prajurit dan perwira) yang gagah berani. Bisa juga diartikan sebagai “pemberani”. 


Kesatria juga termasuk orang yang dipandang penting didalam struktur masyarakat. 


Termasuk juga kasta kedua didalam masyarakat Hindu. 


Kesatria juga ditempatkan sebagai bangsawan atau kasta prajurit.


Sebagai “orang penting” didalam struktur sosial ditengah masyarakat, kesatria mempunyai kemampuan “bertarung” di medan pertempuran, berkorban termasuk jiwa raganya, menjaga kedaulatan negara dan mengabdi kepada sang Raja. 


Dikenal sebagai “jago tempur” dan Ahli strategi perang. 


Dengan kemampuan itulah, kemudian kesatria dihormati dan menjadi cerita kepahlawanan (Epos). 


Bukankah berbagai kisah-kisah Kerajaan tidak dapat dilepaskan dari kesatria yang menjaga kerajaan. 


Begitu pentingnya posisi strategi kesatria ditengah masyarakat, maka didalam diri kesatria terdapat jiwa seperti “Mementingkan kepentingan orang banyak”, setia kepada negara, berani berkorban dan bijaksana. 


Lalu apakah seorang kesatria tidak pernah melakukan kesalahan ? 


Sebagai manusia, tentu saja seorang kesatria juga pernah melakukan kesalahan. 


Namun berbeda dengan masyarakat umum, seorang kesatria yang melakukan kesalahan kemudian harus berjiwa besar “mengakui kelemahan”. Termasuk mengakui kekalahan di medan pertempuran. 


Jiwa kesatria juga Termasuk “mengambil alih” tanggungjawab “kesalahan anggotanya. 


Bukankah dogma yang sering didengarkan “tidak ada Anak buah yang salah. Yang salah adalah komandan”. 


Menyimak alur dari cara pandang masyarakat didalam struktur, maka “komandan” baik dari tingkatan Kapolsek, Kapolres dan Kapolda kemudian ditempatkan sebagai “kesatria”. 


Sebagai seorang kesatria, maka seluruh sikap seorang kesatria harus melekat dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari seorang kesatria. 


Namun melihat kedua sidang, terlihat jelas bagaimana “perwira tinggi aktif”, mempunyai posisi strategis dan prestasi mumpuni sama sekali tidak terlihat sebagai seorang kesatria. 


Cara “berkelit”, melemparkan tanggungjawab bahkan “terkesan menghindar” begitu kentara didalam persidangan. 


Sikap dan cara sebagai kesatria sama sekali tidak terlihat di muka persidangan. Jauh sekali. 


Yang paling memalukan justru sang kesatria sama sekali tidak mau mengakui perbuatannya dan justru “melemparkan” tanggungjawab kepada anggota. 


Disisi lain, Bahkan berbagai “skenario”, cara mengelak justru menampakkan sikap-sikap “kampungan”, “norak” dan terkesan jauh dari sikap seorang kesatria. 


Entah berapa kali Majelis hakim terus mengingatkan kepada terdakwa agar menempatkan diri sebagai “pribadi” yang harus dihormati dengan bersikap kesatria. 


Namun “terlepas” apapun putusan yang akan menjerat para pelaku, berbagai skenario yang sedang disusun akan menjadi pertimbangan penting oleh Majelis Hakim. 


Berkaca dari Putusan kasus pembunuhan, hakim justru menempatkan “pelaku” yang harus bertanggungjawab dan kemudian memberikan hukuman mati. 


Sedangkan di sidang lain - Tanpa harus mendahului putusan hakim - kasus “jual beli sabu” telah jelas terpampang d persidangan. Tidak ada lagi keraguan sedikitpun. 


Tentu saja “kesatria” yang terdapat didalam diri pelaku dan kemudian sama sekali tidak terlihat di persidangan akan menjadi bagian penting didalam putusan hakim. Dan tentu saja akan memberatkan diri pelaku itu sendiri. 


Advokat.. Tinggal di Jambi