07 Juni 2023

opini musri nauli : Hukum Perairan Berdasarkan Hukum Adat Jambi

 


Membicarakan Jambi tidak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai Batanghari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi, Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air Hitam, Sub DAS Airdikit, Sub DAS Banyulincir. 


Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.


Namun ada juga menyebutkan Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.


Sungai kemudian dikenal dengna dialek “batang’. Sehingga Sungai Batanghari kemudian dikenal dengan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat. 


Dan itu terpatri di “terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jati” yang bernamakan ”Sepucuk Jambi sembilan lurah”.


Sebagai kehidupan sehari-hari, istilah Sungai menjadi bagian yang tidak terpisahkan.  Kata-kata Sungai adalah identitas, penunjuk arah  dan penanda. Sungai adalah penanda, batas dan identitas sebagai keberadaan masyarakat di Jambi. Dengan sungai kemudian menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu dusun dengan dusun yang lain.

Didalam penyebutan nama-nama tempat dan kewilayahan (tata ruang) yang biasa disebut “Tembo. Sungai juga disebutkan menunjukkan batas wilayah (tembo) atau batas Tanah (mentaro). 


Di tepi sungai terdapat kehidupan sehari-hari. Termasuk pemukiman. Sehingga kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dilepaskan dari sungai. 


Kampung-kampung lama (kampung tuo) masih terdapat memanjang tepi sungai Batanghari. Termasuk juga sungai-sungai yang lain. 


Nama Sungai juga dipakai sebagai identitas Marga. Seperti Marga Sungai Tenang yang terletak di ulu Merangin. Termasuk kedalam Kecamatan Sungai Tenang, kabupaten Merangin. 


Didalam Marga Sungai Tenang sendiri malah beberapa nama tempat menunjukkan sungai. Seperti “Muara Madras”. Atau “Sungai tenang”  di Kecamatan Sungai Tenang kemudian berganti nama menjadi kecamatan Jangkat Timur, Kabupaten Merangin. 


Di Sarolangun juga dikenal Marga Sungai Pinang. Sekarang termasuk kedalam kecamatan Batang Asai.  Di beberapa tempat, kata sungai menunjukkan tempat. Nama Sungai juga menunjukkan nama Desa atau Dusun. 


Dengan sungai kemudian menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu dusun dengna dusun yang lain.


Penghormatan terhadap sungai ditandai dengan menjaga yang ditandai dengan istilah “Kepala sauk”. Kepala sauk dapat diartikan sebagai hulu sungai. 


“Kepala sauk” tidak boleh dibuka yang dikenal sebagai “pantang larang”. Sehingga yang dilanggar mendapatkan sanksi “sanksi Guling Batang berupa Kambing sekok, beras 20 gantang, kelapa, selemak semanis


Sungai merupakan “urat nadi” perekonomian. Merupakan jalur perdagangan yang digunakan hingga akhir tahun 1990-an sebelum illegal logging marak dengan kemudian menyebabkan pendangkalan Sungai Batanghari.

“Jejak” Sungai masih dilihat dengan menyusuri perjalanan sungai Batanghari. Setiap desa yang berada di pinggir sungai terdapat dusun-dusun tua yang ditandai dengan rumah-rumah panggung.


Melihat rangkaian yang telah diuraikan maka terbukti sungai merupakan “identitas” dan “jalur ekonomi” dan menghubungkan antara desa satu dengan desa lain maupun antara satu marga dengan marga yang lain. 


Sungai Batanghari adalah penghubung antara satu wilayah dengan wilayah yang lain. Sehingga Sungai Batanghari adalah pelekat ingatan kolektif masyarakat Melayu Jambi. 


Hukum Adat Melayu Jambi


Didalam hukum Tanah Jambi dikenal Hukum mengatur tentang perorangan. Yaitu Hukum Paanak Panakan, Paikatan, Pakawinan, Pawarisan dan Patanahan dan Hutan Rimbo”.  


Prinsip dalam hukum patanahan dan hutan rimba diutamakan untuk kesejahteraan penduduknya”. Hukum Rimbo mengatur tentang milik bersama masyarakat yang ditandai dengan Seloko “Keayek samo diperikan, kedarat sama di perotan. 


Seloko Adat Jambi adalah ungkapan yang mengandung pesan, nasehat, pelajaran, moral, nilai yang mengatur kehidupan sehari-hari.


Hukum Rimbo mengatur Pantang larang yang mengatur tentang daerah yang tidak boleh dibuka, pengaturan tentang hewan dan tumbuhan, mengatur tentang adab dan perilaku di hutan.  


Sedangkan pengaturan tentang air ditandai dengan seloko seperti “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo kayu”. Di Marga Pangkalan Jambi dikenal “ke aek bebungo pasir. Ke darat bebungo Kayu. Ke tambang bebungo emas” . Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Benuang dikenal “Ke aek Bebungo Pasir, kedarat bebungo kayu. Adat samo diisi, Tembago Sama  dituang. Berat sama di pikul, ringan sama dijinjing. Sedangkan di Desa Muara Madras dikenal “uang padang” .  


Hukum Perairan

Untuk mewujudkan Sungai Batanghari bersih maka berdasarkan cara pandang masyarakat Melayu Jambi (cara pandang kosmopolitan) maka dipandang perlu Mendorong pemerintah desa untuk menyusun dan menetapkan peraturan desa yang mengatur “Batanghari Bersih”. 


Untuk memudahkan penyusunan Peraturan Desa maka merujuk kepada seloko seperti “Nubo ikan”. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi, bersandarkan kepada Seloko “nubo ikan”, maka makna Seloko “nubo ikan” ditandai dengan perbuatan seperti Larangan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan pada kondisi sumberdaya tertentu, 


Larangan penangkapan ikan dilakukan dengan menggunakan alat setrum seperti menggunakan listrik, genset portable maupun accu/aki, menggunakan bahan peledak/bom ikan. Maupun larangan penangkapan mengunakan peptisida/bahan kimia lainya yang membahayakan ikan. 


Makna seloko “nubo ikan” maka tidak hanya dapat diterjemahkan secara harfiah. Namun harus juga ditafsirkan sebagai tujuan dari makna seloko itu sendiri. Sehingga makna “nubo ikan” tidak hanya larangan untuk “meracun ikan”. Tapi juga bertujuan agar sungai tetap bersih.


Dengan demikian maka juga dapat diartikan untuk menjaga sungai agar tetap bersih. Baik dengan membuat aturan desa membuang sampah ke sungai maupun larangan yang dapat mengotori sungai. 


Dengan demikian maka masyarakat kemudian berhak menggunakan aliran air sungai sebagai tempat budidaya ikan air tawar ( keramba ) dengan tetap memperhatikan Peraturan Desa / Peraturan perundang – undangan yang telah ditetapkan


Sehingga seluruh masyarakat tanpa terkecuali berhak mengambil / memanfaatkan ekosistem yang ada di sungai ( memancing ikan ) dengan tetap memperhatikan Peraturan Desa / Peraturan perundang – undangan yang telah ditetapkan. 


Dengan tetap masyarakat berkewajiban berkewajiban menjaga, mengawasi dan memelihara kelestarian perairan di wilayah Desa. 


Termasuk juga berkewajiban menegur atau melaporkan apabila terdapat orang yang melanggar Ketentuan Larangan.