Akhir-akhir ini dunia Musik dihebohkan dengan pernyataan pentolan salah satu group Band papan atas yang menyatakan “Lagu ciptaannya” tidak dibenarkan dinyanyikan oleh musisi.
Kisruh Bermula ketika sang vokalis keluar dari group band. Kemudian bersolo Karir dan manggung yang terpisah dari group Band semula.
Ditengah-tengah konser atau kadangkala disela-sela konser, sang Musisi menyanyikan Lagu yang sempat hits pada masanya. Menyanyikan lagu dari band semula.
Sang pencipta keberatan Lagunya dinyanyikan oleh sang Musisi. Dengan tegas sang pencipta lagu menyatakan Lagu ciptaannya tidak boleh dinyanyikan oleh sang Musisi.
Tema ini sempat memantik polemik. Sang Musisi yang kebetulan berlatar Belakang hukum menyampaikan bantahannya.
Dengan tenang sang Musisi menyatakan, “selama lagu” dinyanyikan disebutkan sang pencipta, maka lagu yang dinyanyikan tidaklah plagiat. Sang pencipta lagu tidak dibenarkan melarangnya untuk dinyanyikannya.
Persoalan ini cukup rumit. Selain sang pencipta mendasarkan argumentasi “alasan moral” Lagunya tidak dibenarkan sang penyanyi. Sedangkan sang Musisi mendasarkan kepada ketentuan.
Lagu yang sudah beredar ditengah masyarakat boleh dinyanyikan. Dengan tetap selalu membayar royalti kepada sang pencipta lagu.
Secara sekilas, keduanya mempunyai argumentasi yang logis. Namun untuk menjernihkan persoalan diatas alangkah baiknya kita sejenak melihat bagaimana regulasi mengaturnya.
Sebagai lagu, maka dikategorikan sebagai karya Cipta. Bersama-sama dengan buku, terjemahan ataupun berbagai karya Cipta diletakkan di UU Hak Cipta. UU No. 28 Tahun 2014 mencabut UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
Didalam Pasal 4 disebutkan hak Cipta merupakan hak ekslusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral yang dimaksudkan adalah hak tetap dicantumkan didalam karya ciptanya.
Apabila kita menilik kategori hak moral didalam UU Hak Cipta, maka kewajiban siapapun mencantumkan sang pencipta.
Bukan hak dari sang pencipta lagu untuk “melarang” atau membolehkan karyanya dinyanyikan.
Alasan sang pencipta lagu menggunakan hak moralnya untuk melarang sama sekali tidak tepat. Atau dengan kata lain tidak relevan kategori “hak moral” menurut UU Hak Cipta.
Argumentasi ini sekaligus membantah alasan hak moral dari sang pencipta lagu untuk melarang Lagunya dinyanyikan.
Dalam hal ini sang penyanyi sama sekali tidak keliru menjelaskan kategori “hak moral”. Bukan sang pencipta lagu.
Selain hak moral juga terdapat hak ekonomi terdapat diri dari sang pencipta lagu.
Hak Ekonomi diantaranya mendapatkan royalty ataupun hak ekonomi lain ketika karyanya kemudian menghasilkan ekonomi.
Lalu bagaimana mekanismenya ? Apakah tepat, ketika sang penyanyi menyanyikan lagunya kemudian langsung membayar royalti dari ciptaannya.
Apabila melihat pasal 9 ayat (2) maka terhadap pelaksanaan hak ekonomi wajib mendapatkan izin dari pencipta atau pemegang hak Cipta.
Namun terhadap penggunaan secara komersial diatur didalam Pasal 23 ayat (5). Dimana sang penyelenggara pertunjukan kemudian membayar imbalan kepada pencipta melalui lembaga manajemen kolektif. Bukan langsung kepada sang pencipta lagu.
Didalam penjelasan Pasal 23 ayat (5) malah ditegaskan “ 'imbalan kepada Pencipta' adalah Royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif.
Bahkan didalam pasal 87 dijelaskan “untuk Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.
Lagi-lagi sang pencipta keliru.
Dengan demikian maka terhadap karya Cipta yang Sudah beredar ditengah masyarakat, maka sang pencipta lagu mempunyai hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral adalah dicantumkan sang pencipta. Namun apabila ternyata sama sekali tidak dicantumkan maka mempunyai konsekwensi pidana.
Sedangkan hak ekonomi, sang pencipta lagu berhak mendapatkan royalty.
Namun royalty tidak serta merta ditentukan oleh sang pencipta lagu. Tapi nilainya telah ditetapkan secara standar oleh lembaga yang bernama Lembaga Manajemen Kolektif.
Advokat. Tinggal di Jambi