Akhir-akhir ini dengan banyaknya lahir UU (belum lagi peraturan pelaksanaannya), berbagai istilah kemudian lahir didalam norma UU.
Berbagai istilah yang diatur terutama UU diluar KUHP selain tidak mempunyai asas ataupun prinsip yang telah diatur didalam KUHP justru menimbulkan problema baru (benturan norma/conflct norm).
Lihatlah definisi UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang memuat istilah “terorganisir”.
Menurut Pasal 1 angka (6) UU P3H disebutkan “Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama- sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial.
Padahal tujuan dibentuknya UU P3H ditinjau dari makna Filosofi dijelaskan “perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat…”
Sedangkan makna Yuridis dilatarbelakangi “bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif…”
Secara sekilas upaya untuk memberantas kejahatan kehutanan selain UU Kehutanan dianggap belum mampu untuk memberantasnya juga melihat adanya upaya kejahatan “terorganisir”.
Secara kasatmata, problema yuridis yang disebabkan UU Kehutanan belum mampu menyelesaikannya juga dilihat persoalan sosiologi dan kriminologi yang menempatkan sekaligus menghasilkan istilah “terorganisir”.
Apabila merujuk definisi “terorganisir” yang memuat adanya kata-kata “kegiatan yang dilakukan”, “terstruktur”, “dua orang atau lebih”, “bersama-sama” dan seterusnya lalu apabila dihubungkan dengan pasal 55 KUHP maka menimbulkan problematika hukum.
Secara umum pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP menyebutkan “Dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
Sedangkan Pasal 55 ayat (1) ke 2 KUHP “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Pasal 55 kemudian dikenal sebagai teori penyertaan (deelneming).
Terlepas dari UU P3H adalah pengecualian dari Pasal-pasal yang diatur didalam KUHP yang kemudian dikenal sebagai asas Lex specialis derogat lex generalis, namun makna asas Lex specialis derogat lex generalis kurang tepat disandingkan.
Melihat unsur-unsur dari “terorganisir” sebagaimana diatur didalam UU P3H yang kemudian dihubungkan Pasal 55 KUHP dengan teori penyertaan (deelneming) maka tidak ada perbedaan dilihat dari pendekatan teori penyertaan.
Setiap unsur daripada “terorganisir” adalah pengejawantahan dari makna Pasal 55 KUHP.
Justru dengan menghadirkan istilah dan kemudian menjadi norma unsur “terorganisir” padahal secara prinsip telah diatur teori penyertaan (deelneming) sebagaimana diatur didalam Pasal 55 KUHP menjadi benturan norma (conflict norm).
Menggunakan berbagai teori, asas, kaidah hukum pidana harus tetap mendasarkan kepada ketentuan Buku I KUHP. Sehingga “irisan” sekaligus teori penyertaan (deelneming) yang telah diatur didalam Pasal 55 KUHP sudah jelas untuk menggambarkan “terorganisir”.
Padahal teori penyertaan adalah teori klasik yang Masih digunakan didalam literatur hukum pidana. Teori ini terus menemukan momentum seperti diatur didalam Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor.
Kata terorganisir” apabila dilihat didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sama sekali tidak ditemukan. Baik Melihat kata “terorganisir” dari pendekatan adjektiva, adverbia, konjungsi, nomina, numeralia, partikel atau verba.
Kata dan makna “terorganisir” adalah sebuah istilah yang kemudian tiba-tiba masuk kedalam UU P3H.
Penulis juga belum menemukan literatur hukum yang ditinjau dari teori penyertaan, asas, kaidah yang menggambarkan istilah “terorganisir”. Sehingga istilah dan norma “terorganisir” tidak mempunyai akar atau dasar hukum yang kuat.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, istilah “terorganisir” sama sekali tidak dijelaskan didalam UU P3H. Makna dan arti kata “terorganisir” hanya “Nempel” didalam Pasal 1 angka 6 UU P3H.
Melihat upaya dan semangat memberantas kejahatan kehutanan yang harus diapresiasi namun penggunaan istilah ataupun kata yang tiba-tiba masuk dan tidak bersandarkan kepada Buku ke 1 KUHP selain menyesatkan justru menimbulkan kerancuan.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, tanpa akar yang jelas atau dasar hukum yang kuat yang berasal dari teori penyertaan ataupun teori pemidanaan yang telah diatur didalam Buku 1 KUHP selain menimbulkan istilah terorganisir berada diawang-awang. Tanpa adanya tali yang menjadi pengikatnya.
Sudah saatnya didalam merumuskan berbagai peraturan perundang-undangan, berbagai asas, teori, prinsip, kaidah didalam hukum pidana yang begitu ketat menguncinya tetap harus dijadikan pedoman.
Sehingga didalam memotret persoalan kejahatan kehutanan tetap disiplin mengikuti kaidah-kaidah dasar hukum pidana.
Dengan demikian selain kaidah-kaidah baku, teori penyertaan dan teori pemidanaan yang telah tegas diatur didalam KUHP sebagai Sandaran juga akan menciptakan kepastian hukum didalam upaya penegakkan hukum.
Advokat. Tinggal di Jambi