28 Agustus 2023

opini musri nauli : Waktu berlaku Peraturan perundang-undangan

 


Akhir-akhir ini tema berlakunya suatu peraturan perundang-undangan seringkali “ditunda keberlakuanya (sering juga disebutkan tidak langsung berlaku seketika). Baik berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi maupun berlakunya undang-undang. 


Namun yang paling anyar adalah Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Pemberhentian Syarif Fasha sebagai Wali Kota Jambi dan penunjukan pelaksana tugas Wali Kota Jambi Provinsi Jambi.


Menurut pemberitaan, Syarif Fasha baru akan diberhentikan secara resmi pada saat penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) untuk pemilihan umum legislatif. 

Dengan memperhatikan kalender Pemilu, maka Fasya diberhentikan saat penetapan DCT pada 3-4 November 2023. 


Berbagai tema berlakunya peraturan perundang-undangan yang memerlukan waktu juga terjadi di  berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi. Lihatlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU- IV/2006, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XV/2017, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 yang kemudian menetapkan jangka waktu selama 3 tahun diputuskan. 


MK juga pernah menetapkan jangka waktu selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan setelah putusan 

Undang-Undang tentang usaha perasuransian yang berbentuk usaha bersama (mutual) (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU- XI/2013. 


Atau juga menentukan sendiri awal berlakunya konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013). 


Pemerintah juga pernah menunda berlakunya Undang-undang seperti UU Lalulintas (UU No. 14 Tahun 1992) melalui Perppu Nomor 1 Tahun 1992. Perppu ini kemudian dikuatkan UU No. 22 Tahun 1992. 


Begitu juga UU Ketenagakerjaan (UU No 25 Tahun 1997) mengalami penundaan (UU No 11 Tahun 1998 dan Perppu UU No. 3 Tahun 2000). 


Atau UU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang juga mengalami penundaan. 


Bahkan yang paling Anyar berlakunya 3 tahun undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 


Namun yang belum dimengerti oleh penulis adalah ketentuan turunan KUHP berupa peraturan pelaksanaan yang ditetapkan paling lama 2 tahun. 


Undang-undang termasuk putusan MK yang mengatur materi yang bersifat umum yang kemudian dikenal sebagai regeling.  


Sehingga “penundaan keberlakuanya” (regeling) sudah lazim. Baik didalam Putusan MK maupun undang-undang. 


Berbeda dengan ditundanya pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi atau penundaan berlakunya UU, keputusan pejabat tatausaha negara (Beschikking)  menimbulkan implikasi dari pendekatan hukum administrasi negara. 


Sebagaimana yang telah menjadi “maqom’ dari hukum administrasi negara, sifat keputusan pejabat tata usaha telah dirumuskan didalam definisi keputusan pejabata tata usaha negara. 


Menurut UU No. 5 Tahun 1986 (termasuk berbagai perubahannya), UU administrasi Pemerintahan, definisi keputusan Pejabat tata usaha negara yang bersifat “final” sebagaimana definisi yang dijelaskan “ suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”


Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. 


Dengan melihat kata “final” maka terbitnya Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang mengeluarkan Surat Keterangan (SK) Pemberhentian Syarif Fasha sebagai Wali Kota Jambi Sudah “final”.


Sehingga Keputusan Kemendagri yang memberhentikan Fasha sebagai Walikota Jambi yang kemudian “Menunda” keberlakuannya tidak dikenal didalam hukum administrasi negara. Terutama dilihat dari sifat keputusan pejabat tata usaha negara. 


Mekanisme yang tidak pernah didalam Keputusan Kemendagri (Beschikking)


Bahkan Keputusan (Kemendagri)  harus ditempatkan sebagai Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechmatigheid praesumptio iustae cause). 


Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap benar atau rechmatiq sampai ada pembatalannya,


Lalu mengapa diterbitkan Keputusan Kemendagri kemudian setelah itu “ditunda keberlakuannya”. 


Padahal dengan diterbitkannya keputusan Kemendagri maka kemudian keputusan Kemendagri kemudian dilekatkan Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechmatigheid praesumptio iustae cause). 


Sehingga disaat Keputusan Kemendagri kemudian “menunda keberlakuannya” justru bertentangan dengan asas kepentingan umum dan asas pelayanan baik.  Kedua asas ini termasuk kedalam Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB). 


Justru dengan sikap Kemendagri yang “Menunda keberlakuannya” menempatkan Keputusan Kemendagri menjadi “tidak profesional”. Salah satu materi yang menjadi bahan Kajian di Pengadilan Tata usaha negara. 


Advokat. Tinggal di Jambi