05 Maret 2024

opini musri nauli : Paradigma Perdagangan Karbon Indonesia

 


Akhir-akhir ini, tema target penurunan emisi dunia terutama di Indonesia menjadi tema yang banyak menarik perhatian. 


Berbagai regulasi seperti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Framework Convention On Climate Change (Ratifikasi Paris Agreement), Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 Tentang INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP (PP No. 46 Tahun 2017), Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpes No 98 Tahun 2021), PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIANOMOR 21 TAHUN 2022 TENTANG TATA LAKSANA PENERAPAN NILAI EKONOMI KARBON (Permen KLHK No 21 Tahun 2022), Surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK/168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 Tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) NET SINK 2030 (Folu Net SINK 2030). 


Pemerintah Indonesia telah menetapkan pencapaian target untuk membatasi kenaikan suhu global di bawah 2'C dari tingkat pra-industrialisasi dan melakukan upaya membatasinya hingga di bawah 1,5"C. (Ratifikasi Paris Agreement).  Dalam rangka mencapai tujuan persetujuan paris, kontribusi nasional terhadap upaya global yang dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional, semua Negara pihak melaksanakan dan mengomunikasikan upaya ambisiusnya dan menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu, yang terkait dengan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (mitigasi), adaptasi, dan dukungan pendanaan, teknologi dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang oleh negara maju. 


Dengan demikian maka Mekanisme yang digunakan adalah Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi dan adaptasi. Sejalan dengan ketentuan Persetujuan Paris, NDC Indonesia kiranya perlu ditetapkan secara berkala. Pada periode pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29 o/o dengan upaya sendiri dan menjadi 4l o/o jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain mela.lui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian. Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian kinerja dan harus menunjukkan peningkatan dari periode selanjutnya. Kewajiban ini kemudian dipertegas didalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. 

Dengan demikian regulasi sudah memastikan posisi Indonesia didalam upaya pencapaian target rendah emisi. 


Lalu bagaimana paradigma yang masih membuka ruang diluar aturan (mekanisme carbon trade) yang sering menjadi pembicaraan ? 


Paradigma yang harus ditempatkan adalah penguasaan negara atas sumber daya alam harus dilakukan demi kepentingan dan  kemakmuran rakyat. Sehingga pasar karbon Indonesia harus diatur pemerintah. 


Dan tentu saja, target Indonesia dan kemudian pandangan sikap politik luar Indonesia yang telah meratifikasi Paris Agreement (UU No. 16 Tahun 2016) kemudian menyerahkan kepada negara masing-masing untuk mengatur perdagangan internasional. Termasuk untuk memenuhi kewajiban pemenuhan NDC negara yang telah menjadi komitmennya.


Didalam melihat konteks ini, salah satu irisan yang paling mudah dilihat adalah didalam Perpres No 98 Tahun 2021 dan Permen KLHK No 21 Tahun 2022. 


Didalam Perpres 98 Tahun 2021 dan PermenLHK 21/2022, telah diatur tata cara pelaksanaan perdagangan karbon antara lain Pelaku usaha/kegiatan mendaftarkan kegiatan/aksi mitigasi penurunan emisi GRK ke dalam Sistem Registri Nasional (SRN), Pelaku usaha/kegiatan dalam menghitung penurunan emisi GRK harus sesuai dengan prinsip MRV (Measurable, Reportable, Verifiable) cara penghitungan yang sesuai dengan standard nasional dalam sistem dan metoda Indonesia (SNI) merujuk kepada metodologi IPCC serta sudah disepakati secara nasional melalui Panel Metodologi di KLHK. Kompatibilitas terhadap perdagangan yang sudah terjadi sejak lama bisa dilakukan dengan penyesuaian dalam prosedur yang sederhana sehingga tidak akan menyulitkan pihak-pihak pelaku perdagangan karbon, Apabila penurunan emisi GRK yang telah dihitung akan diperdagangkan maka harus diubah ke dalam bentuk Sertifikat Penurunan Emisi (SPE) melalui proses sertifikasi. SPE menjadi alat tukar yang bernilai moneter dan Untuk melakukan perdagangan karbon luar negeri, perlu dilakukan otorisasi sehingga dapat diketahui seberapa besar karbon yang diperdagangkan, ke mana karbon tersebut akan ditujukan, termasuk berapa harga atau nilai karbon dimaksud. Otorisasi tersebut dilakukan juga untuk menghindari terjadinya kontrak karbon yang tidak terkendali yang selain dapat mengakibatkan hilang potensi negara juga mempengaruhi tata kelola pengelolaan hutan.


Dengan demikian maka “siapapun” termasuk entitas bisnis yang termasuk kedalam ruang lingkup hutan sebagai pemegang Persetujuan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), yang hendak melakukan perdagangan karbon kemudian harus mengikuti ketentuan. 


Sehingga pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia dilakukan melalui perdagangan dalam negeri dan perdagangan luar negeri. 


Regulasi ini kemudian memberikan peluang siapapun (termasuk entitas bisnis) agar dapat terlibat aktif didalam pencapaian rendah emisi. Atau dengan kata lain Perpres No 98 Tahun 2021 dan Permen LHK No 21 Tahun 2022 sama sekali tidak menutup siapapun. Atau Terbuka dengan pihak manapun. 


Namun harus tetap dilakukan dengan melakukan “registrasi” didalam sistem Hukum Indonesia. Sehingga dapat dilakukan penilaian dan otorisasi dari Pemerintah. 


Lalu bagaimana entitas bisnis yang kemudian melakukan “carbon trade” yang telah dilakukan diluar regulasi negara ? 


Tentu saja Pemerintah tegas menegakkan aturan. Perpres No 98 Tahun 2021 dan Permen KLHK No 21 Tahun 2022 yang menjadi “panduan” harus dilaksanakan. Tentu saja dapat menggunakan pembekuan dan pencabutan izin konsesi kehutanan oleh KLHK. 


Menurut pemberitaan, upaya tegas ini telah dilakukan KLHK. Contohnya pencabutan SK Menteri Kehutanan Nomor SK.146/Menhut-II/2013 tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam kepada PT. RRC atas Areal Hutan Produksi seluas + 36.331 hektare di Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah.


PT. RRC selaku pemegang PBPH antara lain telah melakukan pemindahtanganan perizinan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan dari Menteri LHK, melakukan transaksi perdagangan karbon lebih luas dari areal perizinan (PBPH) yang dimiliki, melanggar perjanjian kerja sama dengan Taman Nasional Tanjung Puting, serta dinilai tidak membayarkan PNBP sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.


Dengan demikian maka paradigma “carbon trade” yang pernah menjadi hingar bingar para peminat isu “perubahan iklim”, “rendah emisi”, telah bergeser menjadi target nasional (NDC). 


Mekanisme yang harus ditempuh tetap dalam satu folder. Capaian nasional. Bukan target masing-masing stake holder yang kemudian dapat diklaim menjadi agenda negara-negara lain. 


Sayapun teringat Seloko masyarakat Melayu Jambi. “Menggaji diatas kitab. Menangis diatas bangkai”. 


Paradigma “carbon trade” Sudah usai. Sudah lama berlalu. 


Sejak 2016, Indonesia menunjukkan kedaulatan terhadap pengelolaan sumber daya Alamnya. 



Advokat. Tinggal di Jambi