04 Mei 2010

opini musri nauli : BUNUH DIRI, KEKERASAN DAN WAJAH GENERASI KITA


Jambi dikagetkan dua peristiwa besar. Seorang siswi SMK 3 Muarojambi nekat mengakhiri hidupnya dengan minum racun, lantaran tak lulus UN. 

Padahal, almarhumah hanya tak lulus satu mata pelajaran (Jambi Ekspress, 28 April 2010). 

Peristiwa kedua aksi mahasiswa IAIN yang menolak uang praktikum di kampusnya yang kemudian berakhir dengan kerusuhan di kampus(penulis sengaja menggunakan istilah “kerusuhan” untuk menilai aksi yang berakhir dengan pemecahan kaca-kaca kantor di rektorat). 

 Dua peristiwa yang akhir-akhir ini mengagetkan. Bunuh diri dan kekerasan sudah menjadi wabah nasional yang kemudian masuk ke Jambi. Bunuh diri dan kekerasan yang mewarnai wacana di Indonesia sudah masuk ke dalam sendi-sendi setiap kehidupan. 

Didalam tayangan televisi, secara vulgar ditayangkan trend bunuh diri. Mulai dari persoalan sepele seperti dimarahi orang tua, tidak dikasih uang jajan, persoalan rumah tangga, penyakit yang tidak tersembuhkan. Tempat bunuh diri dilakukan mulai di kamar dengan minum racun, menggantung leher, tempat publik seperti mall dengan cara melompat pagar atau ditabrak kereta api. 

 BUNUH DIRI 

 Bunuh diri Dalam kajian Max Weber, dilihat dari jenis tuntutan moral merupakan salah satu indikator didalam melihat dan mengkaji nilai-nilai religius dalam masyarakat. 

Namun kajian ini kemudian dibantah oleh Tawey yang menyatakan muatan yang sama dari nilai-nilai religius dan ekonomi bukanlah bukti tentang pengaruh dari bidang tersebut, namun merupakan indikator perubahan itu sendiri yang mengubah sistem nilai religius. 

 Oleh Emile Durhem menyatakan sebagai teoritisi frustasi yang berarti bahwa bunuh diri merupakan tindakan ekspresif yang timbul dari kondisi psikologi yang disebabkan oleh hubungan seseorang dengan lingkungan sosialnya. 

Sedangkan analisi Weber mempertajam bahwa orang yang bertindak purposif untuk suatu tujuan dengan tujuan yang dibentuk oleh nilai-nilai atau preferensi diakibatkan pengaruh terhadap nilai-nilai yang relevan dengan tindakan ekonomi. (Timlahan berasalan “atau bisa dipakai” atau rasional. 

 KEKERASAN 

 Sedangkan kekerasan merupakan wajah Indonesia pasca lengsernya orde baru. Rasanya masih ingat dalam ingatan kita, ketika kekerasan fisik di salah satu sekolah tinggi di Jakarta. Sekolah tinggi yang mengaku akan mendidik Pamong ternyata menggunakan cara-cara kekerasan yang diluar batas kemanusiaan. 

Cara-cara ini sebenarnya mengulangi cara-cara sebelumnya yang mengakibatkan kematian terhadap mahasiswa. 

Catatan kelam ini kemudian berulang dan diliput media massa. 

Belum juga lepas dari ingatan kita, Indonesia kemudian diliput sebagai negara yang paling brutal dalam pertandingan sepakbola. Kerusuhan penonton disebabkan karena tim kesayangan gagal memenangkan pertandingan kemudian berdampak terhadap kekerasan massal. Pelemparan botol air mineral terhadap sesama penonton, perkelahian antara pendukung satu dengan yang lain, pemukulan pemain tamu, perusakan stadion, merusak kota, pelemparan kereta api dan berbagai macam bentuk kekerasan lain. 

 Kita juga melihat bagaimana pedagang kaki lima diuber-uber “persis” anjing mengejar mangsanya. Televisi dengan gamblang menayangkan seorang ibu pedagang bakso yang panik diuber Satpol PP yang kemudian menyebabkan air panas tumpah dan menyebabkan anak balita kemudian tewas. Kita juga menyaksikan hampir setiap daerah peran Satpol PP yang bertindak “over” dan bertindak kekerasan. 

Dan kekerasan itu menjadi terekam dalam ingatan publik. Dalam sektor keagamaan, kekerasan berdimensi yang tidak terpisahkan. Kasus Monas yang dilakukan oleh kelompok agama melakukan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap “murtad”. Kekerasan atas nama agama kemudian mengingatkan kita terhadap kekerasan dalam sejarah islam dalam “kudeta Kafilah” pasca Nabi Muhammad. Bahkan pada masa pasca Umar bin Khatab, dilanda kemelut kecemburuan sosial atas Kebijakan-kebijakan Usman sendiri yang dipandang lebih menguntungkan kerabat-kerabatnya. 

Akibat berlarut-larutnya konflik di tengah umat, Usman bernasib malang. Ia terbunuh oleh seorang yang tidak diketahui identatisnya dalam sejarah islam. (Didin Saefuddin Buchari, Sejarah Politik Islam). 

Inilah pembunuhan bermotif politik pertama dalam sejarah islam. Penggantinya, Ali bin Abi Thalib, ternyata tidak mampu memadamkan kemelut politik yang makin menyeruak hingga berakhir pada tragedi berdarah, yakni pembunuhan atas dirinya sendiri. 

 Sejarah teologi Islam memang penuh dengna perbedaan dan perpecahan. Bahkan tak segan-segan para teolog itu saling menuduh kafir, murtad dan zindiq (ateis) terhadap lawannya. 

Persoalan kafir mengafirkan atau caci maki itu berlanjut dengan pertumpahan darah (Aliran-aliran dalam Islam, Ahmad Sahidin, 2009). Kekerasan juga masuk kedalam sektor privat (baca rumah tangga). Matinya istri dari petinggi PSSI akibat dipukul menambah panjang kekerasan di Indonesia. (walaupun secara normatif, Indonesia mempunyai UU perlindungan KDRT, namun tidak banyak membantu menurunkan tingkat kekerasan dalam rumah tangga). Sebelum Kerusuhan Tanjung Priok, “over akting” dari Satpol PP yang akan menggusur pemukiman China di Tangerang membikin kita berdegup. Pemukiman yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberadaan China dan mempunyai sejarah panjang dengan akar China menemukan hipotesa yang tepat. 

Bahwa persoalan penting yang berkaitan dengan identitas Indonesia haruslah dikalahkan kepada hal-hal yang berkaitan semata-mata motif ekonomi. Hampir setiap sektor kehidupan di Indonesia tidak terlepas dari kekerasan. Kita mencatat kekerasan oleh negara dalam menyelesaikan perbedaan pendapat dengan Pemerintahan. 

 Dua peristiwa yang telah penulis uraikan menampakkan wajah generasi kita. Generasi yang frustasi dilihat dari jenis tuntutan moral merupakan salah satu indikator menurunnya moral didalam melihat dan mengkaji nilai-nilai religius dalam masyarakat. 

 Namun, isu potong generasi pada masa itu terlalu abstrak dan tidak operasional. Tak ada musuh bersama yang spesifik untuk dilustrasi (cut off generation). Hampir setiap forum yang mendiskusikan kemungkinan potong generasi selalu dipungkasi dengan pesimisme sebab sumirnya jawaban atas pertanyaan: apa kriteria generasi yang mau kita potong dan terhadap wilayah/level pemerintahan mana pemotongan akan dilakukan. 

 Kini musuh bersama itu jelas: kekerasan yang merajalela dan satu sama lain saling menguatkan. Selama ini, ketidakmungkinan menyelesaikan cara-cara nonviolent melalui instrumen hukum menguat terutama karena sistem penghukuman berefek jera apa pun tidak bisa bekerja tanpa aparat hukum yang bersih. 

 Advokat, tinggal di Jambi 


 http://www.jambiekspres.co.id/index.php/opini/12352-bunuh-diri-kekerasan-dan-wajah-generasi-kita.html