Di
Indonesia yang memiliki beragam budaya dan beraneka suku, pengadilan
bisa mengesampingkan KUHP dan menguatkan hukuman dengan hukum adat
yang berlaku di tempat tersebut.
"Mahkamah
Agung (MA) tetap menghormati putusan Kepala Adat yang memberikan
sanksi adat terhadap pelanggar norma hukum adat," kata Wakil
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara (Waka PN Jakut), Dr Lilik
Mulyadi, Jumat (12/10/2012). Hal ini tertuang dalam buku karya
terbarunya 'Bunga Rampai Hukum Pidana Umum dan Khusus' yang
diterbitkan Penerbit Alumni.
(http://news.detik.com/read/2012/10/12/064014/2060783/10/ma-setuju-pemerkosa-tidak-dipenjara-tapi-bayar-seekor-kerbau?n991101605
Berita
ini cukup menarik. Pandangan Mahkamah Agung yang “mengenyampingkan”
dan mengakui adanya keberagaman budaya merupakan sebuah sikap
pemikiran yang “menabrak”
aliran positivisme.
Ada
beberapa catatan yang menarik untuk kita telusuri berita diatas.
Pertama. Pengakuan Mahkamah Agung yang “memberikan”
ruang kepada hukum adat. Sebuah lompatan besar (walaupun
dalam berbagai putusan MA telah banyak menjawabnya),
yang tetap mengakui berbagai komunitas adat yang masih hidup dan
berkembang. Kedua. MA “memberikan”
ruang kepada pemikiran diluar dari asas hukum nasional. Aliran
positivisme dalam berbagai dimensi dapat “dikesampingkan”.
Ketiga. Adanya persinggungan antara diterapkan hukum nasional vis
hukum lokal/hukum adat.
Asas
Kepastian Hukum
Pasal
1 ayat (1) KUHP menurut rumusannya dalam bahasa belanda berbunyi
““Geen
feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane
wettelijke strafbepaling” yang
artinya “tidak
ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut UU yang telah ada terlebih dahulu daripada
perbuatannya itu sendiri”
Maka Terdapat 3
(tiga) asas- bahwa hukum pidana yang berlaku di negara kita itu merupakan suatu hukum yang tertulis;
- bahwa undang-undang pidana yang berlaku di negara kita itu tidak dapat berlaku surut
- bahwa penafsiran secara analogis itu tidak boleh dipergunakan dalam menafsirkan UU pidana.
Dengan
demikian lahirlah adagium “nullum
delictum, nulla poena sine lege praevia poenali”.
Hanya hukum yang tertulis sajalah yang dapat menentukan apakah suatu
norma hukum itu telah dikaitkan dengan suatu ancaman hukuman menurut
hukum
pidana
atau tidak.
Asasnya
adalah nullum delictum sine praevia lege poenali yang artinya “tidak
dapat dihukum seseorang, apabila tidak ada undang-undang yang
mengaturnya”.
Roh
yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht
merupakan asas yang bersifat universal adalah asas non retroaktif
adalah sesuatu yang bersifat mutlak. Asas ini mendalilkan tentang
adanya kepastian hukum (rechts
zekerheid) (“bagi saja larangan berlaku surut ini adalah memenuhi
rasa keadilan, sesuai dengan sikap saja pada umumnya terhaap hukum”.
Wirjono
Prdjodikoro, Asas-asas
Hukum Pidana di Indonesia,
Jakarta, PT. Eresco, 1967, Hal. 32.)
Nah,
setelah rumusan pasal 1 KUHP yang selalu menjadi pegangan hakim, maka
dalam peristiwa yang telah digambarkan oleh Dr. Lilik Mulyani,
ternyata Mahkamah Agung telah “mengenyampingkan”
dan menggunakan putusan Kepala Adat sebagai jalan keluar peristiwa
hukum itu. Hukum adat telah diberi ruang. Sehingga peristiwa ini
haruslah dapat dibaca, MA sudah memainkan fungsinya sebagai “muara”
para pencari keadilan (justikelen).
Hukum
Adat dan Hukum Nasional
Apabila
kita melihat sejarah Indonesia yang pernah dijajah Belanda hanpir 350
tahun lamanya. Sistem
Hukum Belanda menganut system kodifikasi sebagaimana kita mengenalnya
dengan beberapa kitabnya. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi
hukum Napoleon. Tidak banyak perbedaan perbedaan antara system hukum
Indonesia dengan Belanda. (Ade
Maman Suherman,
PENGANTAR PERBANDINGAN SISTEM HUKUM,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 61)
Belanda
masih meninggalkan produk-produk hukum yang secara yuridis masih
berlaku. Baik itu di lapangan Hukum Pidana
(wetboek van strafrecht voor Indonesia),
Hukum Perdata (burgelijk
wetboek),
Hukum Dagang (wetboek
van kophandel),
Hukum Acara Perdata (reglement
op de rechsvordering),
Pidana maupun berbagai peraturan yang tersebar di berbagai peraturan
perundang-undangan.
Dalam
interaksi antara hukum adat dengna hukum nasional, bersinggungan
antara KUHP (dalam kajian tindak pidana) dengan hukum adat selalu
terjadi. (Soetanyo
Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional – Dinamika
Sosial – Politik dalam perkembangan Hukum di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, Hal. 40). Dalam
kesempatan itulah, kemudian hukum adat “banyak” mewarnai hukum
nasional. Bahkan dalam berbagai kesempatan, MA selalu “selalu”
melihat keberadaan hukum adat sebagai salah satu pilihan untuk
melihat dan menyelesaik berbagai persoalan hukum.
Peristiwa
yang telah dipaparkan oleh Dr. Lilik Mulyadi “sekedar”
mengonfirmasikan apa yang telah dipaparkan penulis.
Kepastian
hukum dan Keadilan Hukum
Sebagai
penganut negara hukum (rechtstaat) maka harus
berangkat dari kepastian hukum. Montesqueiu didalam bukunya “L’Esprit
des Lois
telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan
kata-kata dari undang-undang.
Maka
fungsi hakim adalah corong UU (la
bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like
loudspeaker of the law/subsumptie automaat),
hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das
sollen)
namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius
constitutum).
Hukum adalah yang tertulis (law
as it is written in the book),
yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan.
Semuanya
berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias
Politica”
dalam ajaran “separation
of power”
yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative
power. Dengan
demikian, maka yang berwenang menciptakan hukum adalah “legislative
power”.
Namun
dalam dimensi yang lain, MA telah “mengenyampingkan”
prinsip-prinsip negara hukum (rechtstaat) dan menggunakan pendekatan
“rule
of law”.
Fungsi MA sebagai benteng terakhir menggapai keadilan lebih
diutamakan. MK menggunakan istilah “pendekatan
keadilan yang substansif”
daripada “keadilan
prosedural”.
Ronald
Dworkin yang telah menegaskan “hukum
baru menjadi hukum”
yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan
kasus hukum”
dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang
berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik
der Reinen Vernunfft
(kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi
pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel
Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori
(lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Dengan
menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant
kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum
menjatuhkan putusan.
Ini
diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika
memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu
diterapkan oleh hakim.
Hukum baru menjadi hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk
menyelesaikan kasus hukum.
Berangkat
dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum
baru menjadi hukum”
yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan
kasus hukum”
dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang
berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik
der Reinen Vernunfft
(kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi
pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel
Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori
(lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Maka
dikenal dengan istilah judge made laws.
Dengan
penjelasan yang telah penulis sampaikan, maka disaat MA
“mengenyampingkan
kepastian
hukum”
selain menjadi tarik menarik antara aliran positivisme dan keadilan
substansi, putusan ini menegaskan, MA sebagai “muara”
dan benteng terakhir pencari keadilan (justikelen) telah menemukan
“rohnya”. MA berfungsi judex jurist- sebagai yang sering
disampaikan dalam berbagai yurisprudensi. Tempat para pencari
keadilan yang percaya, di benteng ini “keadilan” tercapai tanpa
harus terjebak dengan berbagai peraturan yang nyata-nyata tidak
memihak. Di benteng inilah, kesempatan kita menemukan dan
memperjuangkan keadilan.
Baca : Sistem Hukum