12 Oktober 2012

opini musri nauli : MEMANDANG KORUPSI DARI SUDUT PANDANG HUKUM

Sudah banyak produk hukum yang dihasilkan untuk “menangkis” korupsi. UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun 2001 merupakan sikap politik bangsa Indonesia “melawan” korupsi (goodwill). Sudah banyak lembaga negara yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya. Timtastipikor, Kejaksaan, kepolisian dan KPK. Semuanya diberi wewenang yang “bertugas” untuk “melawan” korupsi.


Belum lagi begitu banyak anggaran negara yang diberikan kepada penegak hukum untuk “melawan” korupsi.
Namun itu belum cukup. Perlawanan korupsi harus dimulai dari pendidikan, pandangan, stigma sosial yang masih “toleran” terhadap pelaku korupsi.

Pelaku korupsi masih “gagah” untuk menghadiri kegiatan sosial, mengikuti agenda politik dan masih “nyaman” bergaul. Bahkan dalam berbagai strata sosial, mereka masih mudah diterima dan menjadi bagian dari kehidupan sosial.

Dengan modal “membantu” pembangunan mesjid, “mengikuti” kegiatan keagamaan, “menjadi” pembicara dalam forum resmi merupakan peristiwa yang biasa dan menjadi indikasi mereka sudah bagian yang tidak terpisahkan.

Lantas apakah ada yang salah. Secara hukum, harus diakui mereka “berhak” kembali kedalam kehidupan masyarakat. Selain karena mereka “berhak”, mereka tidak boleh dijadikan “stigmatisasi” terhadap perbuatan yang yang telah mereka “tebus” dalam proses hukum.

Selain itu juga putusan pengadilan tentu saja telah “menghukum” mereka, menjalani proses hukum dan menjalani hukuman, putusan pengadilan tentu saja tidak “mencabut” hak untuk dipilih dan hak untuk memilik. Termasuk berprestasi dalam kegiatan apapun.

Pemidanaan telah selesai. Fungsi hukum sebagai alat yang “menghukum” mereka yang bersalah, fungsi hukum mengembalikan ketertiban, fungsi hukum yang menetapkan siapa yang bersalah dimuka pengadilan, telah selesai. Fungsi hukum telah selesai dengan telah dijatuhinya pidana.

Pemidanaan tidak dapat dikategorikan sebagai balas dendam. Eye for eye. Fungsi pemidanaan hanyalah “membina”, menyadarkan bahkan membuat manusia kembali ke fitrah yang “pernah” keliru dan pernah berbuat salah. Dari ranah ini, sebenarnya fungsi hukum telah bekerja dengan baik.

Dari pendekatan itu sebenarnya sudah selesai.

Tapi mengapa terhadap berbagai fungsi hukum ternyata tidak mengurangi kasus korupsi ?

Peristiwa diangkatnya Azirwan yang telah divonis 2 tahun 6 bulan menjadi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau mengusik nurani publik. Azirwan yang telah “berkongkalikong” dengan Al Amin Nasution dalam pembahasan proyek alih fungsi hutan lindung Bintan tahun 2006 “nyata-nyata” telah dianggap bersih.

Sementara pernyataan Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna mengungkap soal pemberantasan korupsi yang sulit dilakukan. Salah satu persoalannya soal kebutuhan gaji yang belum memadai. Tak heran kalau perjuangan menolak gratifikasi adalah hal yang sulit dilakukan.

"Jadi kita nggak usah munafik, termasuk saya. Kalau hanya dari gaji nggak akan cukup. Yang jelas bagaimana caranya kita tidak boleh menerima gratifikasi apapun bentuknya. Komitmen ini yang berat," jelas Nanan dalam diskusi Komisi Kejaksaan di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (11/10/2012) (http://news.detik.com/read/2012/10/11/143856/2060231/10/?992204topnews)

Peristiwa Azirwan diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan perikanan Provinsi Kepri dan pernyataan Waka Polri merupakan menjawab sementara “bagaimana korupsi” hanya sekedar peristiwa “ritual” proses hukum yang sudah kehilangan makna. Korupsi hanya “sekedar” peristiwa yang harus dijalani para pelaku.

Makna perlawanan korupsi sudah hilang. Korupsi hanyalah dipandang sebagai “kesialan”. Berkorupsi harus “hati-hati”, jangan terjatuh, canggih, rapi dan harus dibagi kepada yang lain.

Korupsi tidak menjadi perlawanan yang sistematis. Korupsi tidak dipandang sebagai musuh negara yang harus diwaspadai. Sama bahayanya dengan narkotika dan terorisme. Korupsi hanyalah 'slogan” terhadap mereka yang sudah “tertangkap” namun disaat bersamaan tidak “bersuara” apabila terjadi dalam keluarga. Seakan-akan mereka “koor' dan berteriak bersamaan. “Kami sedang mengalami musibah. Kita harus prihatin”.

Peristiwa diangkatnya Azirwan dan pernyataan Waka Polri sudah menjawab berbagai pertanyaan hukum. Mengapa hukum tidak juga mampu juga memberikan effek jera kepada para pelaku agar tidak menjadi pelaku korupsi.

Baca : 

MEMANDANG PENGADILAN TIPIKOR DARI SUDUT PANDANG YANG BERBEDA