Sudah
banyak produk hukum yang dihasilkan untuk “menangkis”
korupsi. UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 20 Tahun
2001 merupakan sikap politik bangsa Indonesia “melawan”
korupsi (goodwill). Sudah banyak lembaga negara yang diberi
tanggung jawab untuk melaksanakan tugasnya. Timtastipikor, Kejaksaan,
kepolisian dan KPK. Semuanya diberi wewenang yang “bertugas”
untuk “melawan” korupsi.
Belum
lagi begitu banyak anggaran negara yang diberikan kepada penegak
hukum untuk “melawan” korupsi.
Namun
itu belum cukup. Perlawanan korupsi harus dimulai dari pendidikan,
pandangan, stigma sosial yang masih “toleran” terhadap
pelaku korupsi.
Pelaku
korupsi masih “gagah” untuk menghadiri kegiatan sosial,
mengikuti agenda politik dan masih “nyaman” bergaul.
Bahkan dalam berbagai strata sosial, mereka masih mudah diterima dan
menjadi bagian dari kehidupan sosial.
Dengan
modal “membantu” pembangunan mesjid, “mengikuti”
kegiatan keagamaan, “menjadi” pembicara dalam forum resmi
merupakan peristiwa yang biasa dan menjadi indikasi mereka sudah
bagian yang tidak terpisahkan.
Lantas
apakah ada yang salah. Secara hukum, harus diakui mereka “berhak”
kembali kedalam kehidupan masyarakat. Selain karena mereka “berhak”,
mereka tidak boleh dijadikan “stigmatisasi” terhadap
perbuatan yang yang telah mereka “tebus” dalam proses
hukum.
Selain
itu juga putusan pengadilan tentu saja telah “menghukum”
mereka, menjalani proses hukum dan menjalani hukuman, putusan
pengadilan tentu saja tidak “mencabut” hak untuk dipilih
dan hak untuk memilik. Termasuk berprestasi dalam kegiatan apapun.
Pemidanaan
telah selesai. Fungsi hukum sebagai alat yang “menghukum”
mereka yang bersalah, fungsi hukum mengembalikan ketertiban, fungsi
hukum yang menetapkan siapa yang bersalah dimuka pengadilan, telah
selesai. Fungsi hukum telah selesai dengan telah dijatuhinya pidana.
Pemidanaan
tidak dapat dikategorikan sebagai balas dendam. Eye for eye.
Fungsi pemidanaan hanyalah “membina”, menyadarkan bahkan
membuat manusia kembali ke fitrah yang “pernah” keliru dan
pernah berbuat salah. Dari ranah ini, sebenarnya fungsi hukum telah
bekerja dengan baik.
Dari
pendekatan itu sebenarnya sudah selesai.
Tapi
mengapa terhadap berbagai fungsi hukum ternyata tidak mengurangi
kasus korupsi ?
Peristiwa
diangkatnya Azirwan yang telah divonis 2 tahun 6 bulan menjadi Kepala
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau mengusik nurani
publik. Azirwan yang telah “berkongkalikong” dengan Al
Amin Nasution dalam pembahasan proyek alih fungsi hutan lindung
Bintan tahun 2006 “nyata-nyata” telah dianggap bersih.
Sementara
pernyataan Wakapolri Komjen Pol Nanan Sukarna
mengungkap soal pemberantasan korupsi yang sulit dilakukan. Salah
satu persoalannya soal kebutuhan gaji yang belum memadai. Tak heran
kalau perjuangan menolak gratifikasi adalah hal yang sulit dilakukan.
"Jadi
kita nggak usah munafik, termasuk saya. Kalau hanya dari gaji nggak
akan cukup. Yang jelas bagaimana caranya kita tidak boleh menerima
gratifikasi apapun bentuknya. Komitmen ini yang berat," jelas
Nanan dalam diskusi Komisi Kejaksaan di Hotel Atlet Century, Jakarta,
Kamis (11/10/2012)
(http://news.detik.com/read/2012/10/11/143856/2060231/10/?992204topnews)
Peristiwa
Azirwan diangkat menjadi Kepala Dinas Kelautan dan perikanan Provinsi
Kepri dan pernyataan Waka Polri merupakan menjawab sementara
“bagaimana korupsi” hanya sekedar peristiwa “ritual”
proses hukum yang sudah kehilangan makna. Korupsi hanya “sekedar”
peristiwa yang harus dijalani para pelaku.
Makna
perlawanan korupsi sudah hilang. Korupsi hanyalah dipandang sebagai
“kesialan”. Berkorupsi harus “hati-hati”,
jangan terjatuh, canggih, rapi dan harus dibagi kepada yang lain.
Korupsi
tidak menjadi perlawanan yang sistematis. Korupsi tidak dipandang
sebagai musuh negara yang harus diwaspadai. Sama bahayanya dengan
narkotika dan terorisme. Korupsi hanyalah 'slogan” terhadap
mereka yang sudah “tertangkap” namun disaat bersamaan
tidak “bersuara” apabila terjadi dalam keluarga.
Seakan-akan mereka “koor' dan berteriak bersamaan. “Kami
sedang mengalami musibah. Kita harus prihatin”.
Peristiwa
diangkatnya Azirwan dan pernyataan Waka Polri sudah menjawab berbagai
pertanyaan hukum. Mengapa hukum tidak juga mampu juga memberikan
effek jera kepada para pelaku agar tidak menjadi pelaku korupsi.
Baca :