11 Oktober 2012

opini musri nauli : KUHP dalam perkembangan


Sebuah situs hukumonline mengabarkan berita yang membuat miris. Perkembangan KUHP dalam praktek hukum pidana tertinggal, adanya paradigma ideologi yang masih berorientasi kepada “kepastian hukum” dan meninggalkan makna “keadilan”. Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung lebih tegas menyatakan “Nilai-nilai dasar hak asasi manusia, substansi hukum dan asas persamaan di hadapan hukum dalam konsep UUD 1945 pasca amandemen dinilai Artidjo belum sepenuhnya ditransformasikan ke ranah penegakan hukum. Sehingga ideologi hukum yang termuat dalam KUHP dan KUHAP mengandung beberapa kendala untuk pencapaian keadilan (http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50764c855aa72/kuhp-dan-kuhap-belum-ikuti-paradigma-konstitusi)
Mahkamah Agung telah “mengklaim” berbagai pandangan terhadap revisi KUHP dengan mengeluarkan berbagai putusan yang nyata-nyata mengenyampingkan penerapan KUHP. PERMA No. 2 Tahun 2012 yang telah memberikan rumusan yang tegas terhadap nilai rupiah dalam berbagai tindak pidana merupakan salah satu pandangna MA terhadap KUHP.

Belum lagi begitu banyak berbagai pasal-pasal KUHP yang sering digugat di MK.

Sebenarnya berita ini tidaklah menjadi berita yang baru. Berbagai pasal-pasal KUHP sudah banyak dibahas dan diputuskan oleh MK. Dalam kolom opini posmetro tanggal 20 Juni 2012 yang berjudul “PERKEMBANGAN PASAL KUHP”, penulis sudah menyampaikan berbagai perkembangan pasal-pasal KUHP. Misalnya Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP yang berdasarkan putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006 menyatakan  pasal Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Begitu juga Pasal yang digunakan Pasal 154, Pasal 155 ayat (1), Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal ini juga telah dicabut dan nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

Berangkat dari keprihatinan kita, masih banyak pasal-pasal KUHP yang sebenarnya tidak sesuai dengna perkembangan zaman. Pasal yang berkaitan dengan “perzinahan” merupakan salah satu pasal yang paling kontroversial. Makna “zinah” dalam rumusan didalam pasal KUHP lebih menitikberatkan kepada hubungan antara pria dengan wanita yang “salah satu terikat” perkawinan. Penulis sengaja memberikan tanda kutip terhadap kata “salah satu terikat” perkawinan. Lantas bagaimana terhadap hubungan yang terjadi dimana keduanya tidak dalam perkawinan. Apabila pertanyaan itu sengaja kita gugat kepada rumusan di dalam KUHP, maka secara hukum, hakim harus membebaskan (vrijpaark). Karena unsur yang paling penting, rumusan kalimat “salah satu terikat” perkawinan, tidak terbukti.

Sementara di tengah masyarakat Indonesia baik berangkat dari nilai-nilai sosial maupun nilai-nilai agama, unsur yang essensial daripada perzinahan lebih tepat dikategorikan hubungan yang dilakukan “bukan suami istri” yang sah. Nilai sosial maupun nilai agama tidak memandang apakah dia masih belum berkeluarga maupun yang sudah bekeluarga. Rumusan ini nyata-nyata bertentangan dengan unsur didalam KUHP.

Benturan antara kalimat “salah satu terikat” perkawinan berhadapan dengan nilai sosial dan agama “bukan suami istri” yang sah yang sering menimbulkan perdebatan dan membuat KUHP (hukum nasional) menjadi senjang dengan paradigma pemikiran dan nilai yang terjadi di tengah masyarakat.

Pengadilan salah satu “sasaran” para teriakkan “ketidakadilan”. Pengadilan kemudian “dipersalahkan” karena tidak memihak kepada keadilan di tengah masyarakat. Pengadilan kemudian menjadi “sasaran” tembak teriakkan para demonstran.

Tentu saja, rumusan dan nilai-nilai yang universal di tengah masyarakat menjadi bahan untuk perumus UU (legal drafter) didalam membuat dan menyusun KUHP. KUHP diharapkan dapat menjawab berbagai kegelisahan di tengah masyarakat.

Tentu saja berbagai perkembangan dan dinamika di tengah masyarakat harus diakui kurang diikuti dengan perkembangan ilmu hukum. Berbagai perkembangan di tengah masyarakat sering membuat hukum nasional “tertatih-tatih”. Hukum nasional menjadi tercecer. Hukum nasional lebih menjadi kitab tanpa “makna”. Hukum nasional yang menjadi “mercu suar” yang diharapkan dapat menjadi pedoman didalam melangkah. Namun para pelaut tidak dapat melihat dengan jelas selain terlalu banyaknya rambu-rambu di dekat panel kapal, juga banyaknya berbagai rambu-rambu yang melarang untuk melihat mercu suar.