Sebuah
situs hukumonline mengabarkan berita yang membuat miris. Perkembangan
KUHP dalam praktek hukum pidana tertinggal, adanya paradigma ideologi
yang masih berorientasi kepada “kepastian hukum” dan meninggalkan
makna “keadilan”. Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung lebih
tegas menyatakan “Nilai-nilai dasar hak
asasi manusia, substansi hukum dan asas persamaan di hadapan hukum
dalam konsep UUD 1945 pasca amandemen dinilai Artidjo belum
sepenuhnya ditransformasikan ke ranah penegakan hukum. Sehingga
ideologi hukum yang termuat dalam KUHP dan KUHAP mengandung beberapa
kendala untuk pencapaian keadilan
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50764c855aa72/kuhp-dan-kuhap-belum-ikuti-paradigma-konstitusi)
Mahkamah
Agung telah “mengklaim” berbagai pandangan terhadap revisi
KUHP dengan mengeluarkan berbagai putusan yang nyata-nyata
mengenyampingkan penerapan KUHP. PERMA No. 2 Tahun 2012 yang telah
memberikan rumusan yang tegas terhadap nilai rupiah dalam berbagai
tindak pidana merupakan salah satu pandangna MA terhadap KUHP.
Belum
lagi begitu banyak berbagai pasal-pasal KUHP yang sering digugat di
MK.
Sebenarnya
berita ini tidaklah menjadi berita yang baru. Berbagai pasal-pasal
KUHP sudah banyak dibahas dan diputuskan oleh MK. Dalam kolom opini
posmetro tanggal 20 Juni 2012 yang berjudul “PERKEMBANGAN PASAL
KUHP”, penulis sudah menyampaikan berbagai perkembangan
pasal-pasal KUHP. Misalnya Pasal 134, Pasal 136
bis, dan
Pasal 137 KUHP yang berdasarkan putusan MK No 013-022/PUU-IV/2006
menyatakan pasal Pasal 134, Pasal 136 bis,
dan
Pasal 137 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Begitu
juga Pasal yang digunakan Pasal 154, Pasal 155 ayat (1), Pasal 157
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal-pasal ini juga telah
dicabut dan nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum
Berangkat
dari keprihatinan kita, masih banyak pasal-pasal KUHP yang sebenarnya
tidak sesuai dengna perkembangan zaman. Pasal yang berkaitan dengan
“perzinahan”
merupakan salah satu pasal yang paling kontroversial. Makna “zinah”
dalam rumusan didalam pasal KUHP lebih menitikberatkan kepada
hubungan antara pria dengan wanita yang “salah satu
terikat” perkawinan. Penulis
sengaja memberikan tanda kutip terhadap kata “salah satu terikat”
perkawinan. Lantas bagaimana terhadap hubungan yang terjadi dimana
keduanya tidak dalam perkawinan. Apabila pertanyaan itu sengaja kita
gugat kepada rumusan di dalam KUHP, maka secara hukum, hakim harus
membebaskan (vrijpaark).
Karena unsur yang paling penting, rumusan kalimat “salah
satu terikat” perkawinan,
tidak terbukti.
Sementara
di tengah masyarakat Indonesia baik berangkat dari nilai-nilai sosial
maupun nilai-nilai agama, unsur yang essensial daripada perzinahan
lebih tepat dikategorikan hubungan yang dilakukan “bukan suami
istri” yang sah. Nilai sosial maupun nilai agama tidak memandang
apakah dia masih belum berkeluarga maupun yang sudah bekeluarga.
Rumusan ini nyata-nyata bertentangan dengan unsur didalam KUHP.
Benturan
antara kalimat “salah satu terikat”
perkawinan berhadapan dengan nilai sosial dan agama “bukan
suami istri” yang sah yang
sering menimbulkan perdebatan dan membuat KUHP (hukum
nasional) menjadi senjang dengan
paradigma pemikiran dan nilai yang terjadi di tengah masyarakat.
Pengadilan
salah satu “sasaran”
para teriakkan “ketidakadilan”.
Pengadilan kemudian “dipersalahkan”
karena tidak memihak kepada keadilan di tengah masyarakat. Pengadilan
kemudian menjadi “sasaran” tembak teriakkan para demonstran.
Tentu
saja, rumusan dan nilai-nilai yang universal di tengah masyarakat
menjadi bahan untuk perumus UU (legal drafter)
didalam membuat dan menyusun KUHP. KUHP diharapkan dapat menjawab
berbagai kegelisahan di tengah masyarakat.
Tentu
saja berbagai perkembangan dan dinamika di tengah masyarakat harus
diakui kurang diikuti dengan perkembangan ilmu hukum. Berbagai
perkembangan di tengah masyarakat sering membuat hukum nasional
“tertatih-tatih”.
Hukum nasional menjadi tercecer. Hukum nasional lebih menjadi kitab
tanpa “makna”.
Hukum nasional yang menjadi “mercu suar”
yang diharapkan dapat menjadi pedoman didalam melangkah. Namun para
pelaut tidak dapat melihat dengan jelas selain terlalu banyaknya
rambu-rambu di dekat panel kapal, juga banyaknya berbagai rambu-rambu
yang melarang untuk melihat mercu suar.