Setelah
Pidato Presiden SBY yang “memerintahkan” agar perkara
simulator diserahkan kepada KPK, Denny Indrayana dengan gampang
menjawab. "Seharusnya mudah, sesuai dengan
pasal 50 UU KPK," kata Wamenkum HAM Denny Indrayana saat ditanya
detikcom,
Rabu (10/10/2012), bagaimana cara legal yang ditempuh dalam
pelimpahan kasus itu dari Polri ke KPK.
(http://news.detik.com/read/2012/10/11/110821/2059960/10/pelimpahan-kasus-simulator-sim-dari-polri-ke-kpk-sangat-mudah
Namun
“sebenarnya” tidak semudah dalam bayangan. Tanpa
“bermaksud” untuk “memperkeruh” keadaan, harus
diakui, model penyelesaian kasus simulator menimbulkan konsekwensi
hukum. Apabila tidak hati-hati baik akan bertabrakan dengan peraturan
perundang-undangan, melanggar HAM (sudah ditahannya para pelaku,
tidak bisa diadili dengan perkara yang sama/ne bis in idem), juga
harus memperhatikan berbagai “waktu” dan materi perkara
itu sendiri.
Secara
faktual, Barreskrim Mabes Polri sudah menetapkan tiga orang tersangka
dan sudah menahannya sejak awal Agustus yang lalu. Artinya sejak
agustus, masa penahanan sudah berlaku terhadap tersangka. Berdasarkan
KUHAP, apabila waktu yang diberikan kepada penyidik untuk melakukan
penahanan telah lewat, maka tersangka haruslah dikeluarkan demi
hukum.
Pertanyaan
selanjutnya ? Apakah setelah dilimpahkan perkara ini kepada KPK,
penyidik KPK harus menggali keterangan untuk memperkuat agar
tersangka tidak lepas dimuka persidangan.
Terlepas
apakah didalam pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, waktu penahanan
akan tetap berlaku kepada tersangka walaupun sudah dilimpahkan kepada
KPK.
Dari
berbagai informasi yang telah dimuat diberbagai media massa, waktu
penahanan terhadap tersangka telah memakan waktu yang cukup lama.
Lebih kurang 2 bulan. Artinya, terhadap tersangka harus “dikebut”
untuk diperiksa oleh KPK.
Model
Pertama
Apabila
instruksi SBY dilaksanakan oleh Bareskrim Mabes Polri, maka walaupun
berkas belum diperbaiki untuk dikirim ke JPU, maka Bareskrim Mabes
Polri “dapat” saja mengirimkan berkas yang berkaitan
dengan simulator “langsung” ke KPK. Cara ini lebih mudah
sehingga dalam tahap “perbaikan” berkas dapat dikerjakan
oleh penyidik KPK. Selain itu, penyidik KPK dapat melihat berkas dan
dilakukan segera dilakukan perbaikan untuk memenuhi unsur alat bukti
sebagaimana didalam rumusan pasal 184 KUHAP.
Cara
ini lebih simpel, selain masih dalam tahap penyidikan, beban
pekerjaan penyidik KPK akan dapat “dikebut” untuk
perbaikan berkas perkara.
Namun,
dari berbagai media massa, “sepertinya” Bareskrim Mabes
Polri “enggan” untuk “segera” melimpahkan
berkas perkara kepada penyidik KPK. Selain daripada “ketakutan”
Bareskrim Mabes Polri terhadap berkas perkara “diketahui”
oleh Penyidik KPK, keinginan agar Bareskrim Mabes Polri yang
cenderung ”melokalisir” persoalan simulator yang hanya
berkaitan dengan “tenaga lapangan'. Berbagai informasi
penting seperti apakah “desain” perkara ini melibatkan
tokoh-tokoh perwira penting di Kepolisian, praktek korupsi yang
selama ini terjadi akan mudah diketahui oleh penyidik KPK. Cara ini
selain akan berdampak dan mengganggu berbagai “kepentingan”
di Polri, akan membongkar lebih jauh “praktek korupsi” di
Kepolisian.
Model
kedua.
Berkas
kemudian “dilimpahkan” Bareskrim Mabes Polri kepada JPU
dan telah dinyatakan “sudah lengkap”. Model ini akan
ditempuh selain akan menyelamatkan “muka” kepolisian.
Model ini akan membuktikan kepada publik, bahwa Bareskrim Mabes Polri
sudah bekerja maksimal didalam “membongkar” praktek
korupsi simulator. Cara ini lebih elegan bagi Bareskrim dan
“menyelamatkan” kinerja Baresskrim Mabes Polri yang
“dilihat cepat” membongkar kasus simulator (lihat
bagaimana langkah cepat yang ditempuh oleh Bareskrim mabes Polri
setelah “penggeledahan” Korlantas oleh KPK awal Agustus lalu).
Cara
ini juga membuktikan “bahwa” berkas perkara korupsi
simulator sudah masuk tahap penuntutan dan kemudian JPU “melimpahkan”
berkas perkara kepada KPK. Jaksa di KPK kemudian yang memeriksa dan
melihat berkas perkara sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
Tentu
saja menimbulkan persoalan dimuka hukum, apabila berkas perkara sudah
masuk tahap penuntutan, namun JPU di KPK menganggap berkas “belum
dapat dilimpahkan”.
Menimbulkan
persoalan bagi penerapan hukum (dan akan menjadi santapan lezat
bagi pengacara yang telah mendampingi proses hukum pelaku simulator
dalam tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri).
Dari
ranah ini, sebenarnya, dalam pembuktian dimuka persidangan, tentu
saja akan menjadikan “nyanyian” yang heboh.
Silang
sengkarut ini berangkat dari sikap ragu-ragu SBY yang terlambat
“merespon” persoalan antara KPK dan Polri. Walaupun
“telat” sikap yang ditempuh SBY namun tentu saja akan menimbulkan
persoalan dimuka hukum.
Tanpa
mengurangi sikap dan semangat kita “memberantas” korupsi
dan tidak pandang bulu (equality before the law), berbagai
praktek pemberantasan korupsi tetap “menjunjung” tinggi
HAM, memberikan ruang pembelaan kepada pelaku korupsi, tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum acara pidana, pemberantasan
korupsi juga berangkat “ingin” membenahi Indonesia. Tentu
saja kita tidak mau dikenal sebagai negara yang ingin memberantas
korupsi namun menggunakan cara-cara “justru” diluar
daripada ketentuan yang berlaku. Apabila cara-cara ini ditempuh, maka
kita sudah meninggalkan cara-cara elegan demi “Kepentingan”
yang justru jauh dari yang kita perjuangkan.