03 Oktober 2012

opini musri nauli : Hukuman mati dari sudut pandang hakim



Beberapa waktu yang lalu, Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis mati bagi pemilik pabrik narkotika Henky Gunawan. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK), Hengky hanya dihukum 15 tahun penjara dengan alasan hukuman mati melanggar konstitusi. Putusan ini dijatuhkan oleh Imron Anwari selaku ketua majelis dengan Achmad Yamanie dan Prof Dr Hakim Nyak Pha selaku anggota.

Perkara bernomor 39 K/Pid.Sus/2011 menganulir putusan kasasi MA sebelumnya yang menghukum mati Henky. "Hukuman mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal 4 UU No 39/1999 tentang HAM," demikian bunyi PK dari website MA, Selasa (2/10/2012).
Persoalan ini kemudian menimbulkan Kontroversi.

MK kemudian menyatakan, putusan anulir vonis hukuman mati Mahkamah Agung (MA) atas pemilik pabrik narkotika Henky Gunawan tidak mengikat. Pasalnya, putusan MA berbeda dengan MK yang bersifat mengikat. Ucapan yang sama juga disampaikan Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Djoko Sarwoko menegaskan bahwa anulir hukuman mati Hengky Gunawan tidak dapat diartikan hukuman mati itu melanggar konstitusi. Ia mengatakan bahwa MA masih mempertahankan hukuman mati.

Harus diakui, di kalangan ahli hukum, masih banyak yang berbeda melihat hukum mati. Hukuman mati salah satu polemik yang tidak berkesudahan. Yang mendukung dan menolak hukuman mati cukup seimbang.

Bahkan didalam pembahasan pengajuan hukuman mati di MK, Mahkamah Konstitusi didalam putusannya Nomor Nomor 15/PUU-X/2012 “lagi-lagi” menolak permohonan para pihak yang menghendaki “pencabutan” hukuman mati”. Putusan ini sebenarnya kembali “menegaskan” pandangan konstitusi terhadap hukuman mati. Dimana MK sebelumnya telah menolak permohonan pencabutan hukuman mati yang disampaikan oleh Para Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Edith Yunita Sianturi dkk dan Scott Anthony Rush dalam perkara Nomor 3/PUU-VI/2007

Didalam putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. “lagi-lagi” Hakim Konstitusi yang berkomposisi 9 orang terbelah.  Empat orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinions). Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon Warga Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan hukum (legal standing) maupun Pokok Permohonan.

Pembahasan yang hendak penulis sampaikan bukan berkaitan tentang hukuman mati. Karena tema ini pernah penulis sampaikan dalam kolom opini yang berjudul HUKUMAN MATI DALAM POLEMIK Jambi Ekspress, 21 Juli 2012, HUKUMAN MATI DARI PERSPEKTIF HAM, Jambi Ekspres, 12 Oktober 2006, KEKELIRUAN PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik Terhadap Hukuman Mati) Jambi Ekspres, 9 November 2006.

Namun yang menarik adalah Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini berangkat dari pendekatan dan analisis hukum yang menarik.

KEADILAN SUBSTANSI

Pertimbangan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini secara terang-terangan, terbuka sudah menyatakan adanya produk hukum yang tidak adil. Sebuah kemajuan besar dari paradigma aliran positivisme yang dianut di kalangan hakim.

Padahal sebagai negara hukum (rechtstaat) harus berangkat dari kepastian hukum. Montesqueiu didalam bukunya “L’Esprit des Lois telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan kata-kata dari undang-undang.

Maka fungsi hakim adalah corong UU (la bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like loudspeaker of the law/subsumptie automaat), hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das sollen) namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius constitutum). Hukum adalah yang tertulis (law as it is written in the book), yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan.

Semuanya berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias Politica” dalam ajaran “separation of power” yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative power. Dengan demikian, maka yang berwenang menciptakan hukum adalah “legislative power”.

Namun Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman).

Dengan menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusan.

Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim. Hukum baru menjadi   hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.

Berangkat dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum baru menjadi hukum” yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum” dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik der Reinen Vernunfft (kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori (lepas dari pengalaman) dan a posteriori (berdasarkan pengalaman).
Maka dikenal dengan istilah judge made laws.

Dengan penjelasan yang telah penulis sampaikan, maka putusan MA No. 39 K/Pid.Sus/2011 selain menjadi tarik menarik antara aliran positivisme dan keadilan substansi, putusan ini menegaskan, MA sebagai “muara” dan benteng terakhir pencari keadilan (justikelen) telah menemukan “rohnya”. MA berfungsi judex jurist- sebagai yang sering disampaikan dalam berbagai yurisprudensi. Tempat para pencari keadilan yang percaya, di benteng ini “keadilan” tercapai tanpa harus terjebak dengan berbagai peraturan yang nyata-nyata tidak memihak. Di benteng inilah, kesempatan kita menemukan dan memperjuangkan keadilan. 

Baca HUKUMAN MATI DARI PERSPEKTIF HAM

Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 5 Oktober 2012