Beberapa
waktu yang lalu, Mahkamah Agung (MA) menganulir vonis mati bagi
pemilik pabrik narkotika Henky Gunawan. Dalam putusan Peninjauan
Kembali (PK), Hengky hanya dihukum 15 tahun penjara dengan alasan
hukuman mati melanggar konstitusi. Putusan ini dijatuhkan oleh Imron
Anwari selaku ketua majelis dengan Achmad Yamanie dan Prof Dr Hakim
Nyak Pha selaku anggota.
Perkara
bernomor 39 K/Pid.Sus/2011 menganulir putusan kasasi MA sebelumnya
yang menghukum mati Henky. "Hukuman
mati bertentangan dengan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 dan melanggar Pasal
4 UU No 39/1999 tentang HAM,"
demikian bunyi PK dari website MA, Selasa (2/10/2012).
Persoalan
ini kemudian menimbulkan Kontroversi.
MK
kemudian menyatakan, putusan anulir vonis hukuman mati Mahkamah Agung
(MA) atas pemilik pabrik narkotika Henky Gunawan tidak mengikat.
Pasalnya, putusan MA berbeda dengan MK yang bersifat mengikat. Ucapan
yang sama juga disampaikan Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Djoko
Sarwoko menegaskan bahwa anulir hukuman mati Hengky Gunawan tidak
dapat diartikan hukuman mati itu melanggar konstitusi. Ia mengatakan
bahwa MA masih mempertahankan hukuman mati.
Harus
diakui, di kalangan ahli hukum, masih banyak yang berbeda melihat
hukum mati. Hukuman mati salah satu polemik yang tidak berkesudahan.
Yang mendukung dan menolak hukuman mati cukup seimbang.
Bahkan
didalam pembahasan pengajuan hukuman mati di MK, Mahkamah Konstitusi
didalam putusannya Nomor Nomor 15/PUU-X/2012 “lagi-lagi”
menolak permohonan para pihak yang menghendaki “pencabutan”
hukuman mati”. Putusan ini sebenarnya kembali “menegaskan”
pandangan konstitusi terhadap hukuman mati. Dimana MK sebelumnya
telah menolak permohonan pencabutan hukuman mati yang disampaikan
oleh Para
Pemohon Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 Edith Yunita Sianturi dkk dan
Scott Anthony Rush
dalam perkara Nomor 3/PUU-VI/2007
Didalam
putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007. “lagi-lagi”
Hakim Konstitusi yang berkomposisi 9 orang terbelah. Empat
orang Hakim Konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting
opinions).
Hakim Konstitusi H. Harjono khusus mengenai kedudukan hukum (legal
standing)
Pemohon Warga Negara Asing. H. Achmad Roestandi mempunyai pendapat
berbeda mengenai Pokok Permohonan. Sedangkan H.M. Laica Marzuki, dan
Maruarar Siahaan mempunyai pendapat berbeda baik mengenai kedudukan
hukum (legal standing)
maupun Pokok Permohonan.
Pembahasan
yang hendak penulis sampaikan bukan berkaitan tentang hukuman mati.
Karena tema ini pernah penulis sampaikan dalam kolom opini yang
berjudul HUKUMAN
MATI DALAM POLEMIK Jambi
Ekspress, 21 Juli 2012,
HUKUMAN MATI DARI PERSPEKTIF HAM, Jambi
Ekspres, 12 Oktober 2006, KEKELIRUAN
PENAFSIRAN HUKUMAN MATI (Otokritik
Terhadap Hukuman Mati) Jambi Ekspres, 9 November 2006.
Namun
yang menarik adalah Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini
berangkat dari pendekatan dan analisis hukum yang menarik.
KEADILAN
SUBSTANSI
Pertimbangan
Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini secara
terang-terangan, terbuka sudah menyatakan adanya produk hukum yang
tidak adil. Sebuah kemajuan besar dari paradigma aliran positivisme
yang dianut di kalangan hakim.
Padahal
sebagai negara hukum (rechtstaat) harus berangkat dari kepastian
hukum. Montesqueiu didalam bukunya
“L’Esprit des Lois
telah menegaskan. Para hakim hanyalah mulut yang mengucapkan
kata-kata dari undang-undang.
Maka
fungsi hakim adalah corong UU (la
bouche de la loi/mouthpiece of the law/the machine – like
loudspeaker of the law/subsumptie automaat),
hakim tidak perlu memperjuangkan “yang seharusnya (Das
sollen)
namun hanya menerapkan hukum yang berlaku (ius
constitutum).
Hukum adalah yang tertulis (law
as it is written in the book),
yang mengakibatkan hukum sebagai norma tanpa mempersoalkan keadilan.
Semuanya
berangkat dari teori Montesqueieu yang terkenal “Trias
Politica”
dalam ajaran “separation of
power”
yang terdiri dari legislative power, eksekutif power dan judikative
power. Dengan
demikian, maka yang berwenang menciptakan hukum adalah “legislative
power”.
Namun
Berangkat
dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum
baru menjadi hukum”
yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan
kasus hukum”
dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang
berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik
der Reinen Vernunfft
(kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi
pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel
Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori
(lepas
dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Dengan
menggunakan pendekatan Ronald Dworkin dan pernyataan Immanuel Kant
kemudian dapat dirumuskan bagaimana pemikiran hakim sebelum
menjatuhkan putusan.
Ini
diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika
memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu
diterapkan oleh hakim.
Hukum baru menjadi hukum yang sebenarnya ketika digunakan
hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.
Berangkat
dari pernyataan Ronald Dworkin yang telah menegaskan “hukum
baru menjadi hukum”
yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan
kasus hukum”
dan pertikaian teoritis antara rasionalitas dan Empirisisme yang
berhasil didamaikan oleh Immanuel Kant dalam bukunya “Kritik
der Reinen Vernunfft
(kritik atas rasio murni), maka kita akan dapat mengidentifikasi
pemikiran hakim sebelum menjatuhkan putusannya. Menurut Immanuel
Kant, pengetahuan kita merupakan sintesis antara unsur-unsur a priori
(lepas dari pengalaman)
dan a posteriori (berdasarkan
pengalaman).
Maka
dikenal dengan istilah judge made laws.
Dengan
penjelasan yang telah penulis sampaikan, maka putusan MA No. 39
K/Pid.Sus/2011 selain menjadi tarik menarik antara aliran positivisme
dan keadilan substansi, putusan ini menegaskan, MA sebagai “muara”
dan benteng terakhir pencari keadilan (justikelen) telah menemukan
“rohnya”. MA berfungsi judex jurist- sebagai yang sering
disampaikan dalam berbagai yurisprudensi. Tempat para pencari
keadilan yang percaya, di benteng ini “keadilan” tercapai tanpa
harus terjebak dengan berbagai peraturan yang nyata-nyata tidak
memihak. Di benteng inilah, kesempatan kita menemukan dan
memperjuangkan keadilan.
Baca HUKUMAN MATI DARI PERSPEKTIF HAM
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 5 Oktober 2012
Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 5 Oktober 2012