MK
berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah
mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat
(1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga
menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
mengikat.
Pasal
36 UU Pemda merupakan salah pasal “sakti” dimana Kepala
Daerah belum dapat diperiksa “sebelum” ada izin dari
Presiden. Pasal ini kemudian menjadi pintu “penutup” untuk
dilakukan proses hukum
Dalam
praktek, banyak kepala Daerah yang “belum” dapat diperiksa
sebelum adanya izin dari presiden. Pasal ini kemudian menjadi
“pelindung” dan “mantra” ajaib sehingga pasal
ini merupakan salah satu pasal yang “berhasil” melindungi
pelaku tindak pidana degnan jabatan politik.
Padahal
Kemendagri mencatat, 173 pimpinan daerah
terlibat kejahatan kerah putih sejak tahun 2004-2012. Nah, dari
jumlah tersebut 70 persen telah diputus bersalah dan
diberhentikan dari jabatannya
Dalam
sejarah Indonesia, kita juga mengenal “perlindungan”
terhadap berbagai jabatan politik. UU Kejaksaan juga mengamanatkan
agar “jaksa Penuntut umum” tidak dapat diperiksa sebelum
ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Begitu juga hakim belum dapat
diperiksa sebelum adanya izin dari ketua Mahkamah Agung.
Suasana
politik dan keinginan politik (goodwill) yang memberikan
“perlindungan” kepada jabatan-jabatan politik disadari
berangkat dari kesewenang-wenangan dari penegak hukum yang seringkali
“mempermainkan” hukum. Proses hukum sering dipaksa
(apalagi berkaitan dengan pilkada). Sehingga suasana
kebathinan memang disadari sehingga goodwill memang menghendaki.
Namun
suasana kebathinan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman.
Semangat nasional anti korupsi ternyata harus juga diimbangi berbagai
peraturan untuk mendukung upaya pemberantasan.
Sebenarnya
Pasal 36 UU Pemda telah memberikan garis tegas agar jabatan politik
Kepala Daerah diberi perlindungan dari kesewang-wenangan sehingga
tidak mengalami proses hukum yang jauh dari persoalan Sebenarnya.
Pasal
36 kemudian diberi kemudian sebagaimana didalam pasal 36 ayat (2)
yang menegaskan, apabila waktu 90 hari pengajuan tertulis tidak
diberi jawaban, maka “sebenarnya” Presiden dianggap
menyetujui. Dalam ilmu hukum, biasa dikenal, pengakuan diam-diam yang
sebenarnya “menyetujui.
Namun
dengan alasan berkedok “belum ada izin” dari Presiden,
maka pemeriksaan terhadap Kepala Daerah memang tidak dilakukan. Dalam
ranah ini, kemudian sebenarnya, Pasal 36 UU Pemda lebih berangkat
dari “penerapan norma”. Apabila menggunakan “penerapan
norma” seharusnya MK tidak membatalkan pasal 36 UU Pemda tapi
harusnya menolak permohonan dari pemohon.
Putusan
MK haruslah dibaca sebagai “upaya serius” dari MK agar
tidak ada alasan dan argumentasi hukum yang digunakan oleh penegak
hukum yang tidak bisa memeriksa kepala daerah. Putusan MK merupakan
jawaban dari berbagai keberatan dari berbagai pihak yang melihat
penegak hukum seringkali “mempermainkan” dan
“memperlambat” proses hukum.
Advokat,
Tinggal di Jambi