03 Oktober 2012

opini musri nauli : KETIKA HUKUM "MEMERLUKAN' IZIN




MK berdasarkan Putusan No. Nomor 73/PUU-IX/2011 telah mengabulkan permohonan pemohon dan kemudian membatalkan Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. MK juga menegaskan selain membatalkan juga menyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Pasal 36 UU Pemda merupakan salah pasal “sakti” dimana Kepala Daerah belum dapat diperiksa “sebelum” ada izin dari Presiden. Pasal ini kemudian menjadi pintu “penutup” untuk dilakukan proses hukum

Dalam praktek, banyak kepala Daerah yang “belum” dapat diperiksa sebelum adanya izin dari presiden. Pasal ini kemudian menjadi “pelindung” dan “mantra” ajaib sehingga pasal ini merupakan salah satu pasal yang “berhasil” melindungi pelaku tindak pidana degnan jabatan politik.

Padahal Kemendagri mencatat, 173 pimpinan daerah terlibat kejahatan kerah pu­tih sejak tahun 2004-2012. Nah, dari jumlah ter­sebut 70 persen telah diputus bersalah dan di­berhentikan dari jabatannya

Dalam sejarah Indonesia, kita juga mengenal “perlindungan” terhadap berbagai jabatan politik. UU Kejaksaan juga mengamanatkan agar “jaksa Penuntut umum” tidak dapat diperiksa sebelum ada izin tertulis dari Jaksa Agung. Begitu juga hakim belum dapat diperiksa sebelum adanya izin dari ketua Mahkamah Agung.

Suasana politik dan keinginan politik (goodwill) yang memberikan “perlindungan” kepada jabatan-jabatan politik disadari berangkat dari kesewenang-wenangan dari penegak hukum yang seringkali “mempermainkan” hukum. Proses hukum sering dipaksa (apalagi berkaitan dengan pilkada). Sehingga suasana kebathinan memang disadari sehingga goodwill memang menghendaki.

Namun suasana kebathinan sudah tidak cocok dengan perkembangan zaman. Semangat nasional anti korupsi ternyata harus juga diimbangi berbagai peraturan untuk mendukung upaya pemberantasan.
Sebenarnya Pasal 36 UU Pemda telah memberikan garis tegas agar jabatan politik Kepala Daerah diberi perlindungan dari kesewang-wenangan sehingga tidak mengalami proses hukum yang jauh dari persoalan Sebenarnya.

Pasal 36 kemudian diberi kemudian sebagaimana didalam pasal 36 ayat (2) yang menegaskan, apabila waktu 90 hari pengajuan tertulis tidak diberi jawaban, maka “sebenarnya” Presiden dianggap menyetujui. Dalam ilmu hukum, biasa dikenal, pengakuan diam-diam yang sebenarnya “menyetujui.

Namun dengan alasan berkedok “belum ada izin” dari Presiden, maka pemeriksaan terhadap Kepala Daerah memang tidak dilakukan. Dalam ranah ini, kemudian sebenarnya, Pasal 36 UU Pemda lebih berangkat dari “penerapan norma”. Apabila menggunakan “penerapan norma” seharusnya MK tidak membatalkan pasal 36 UU Pemda tapi harusnya menolak permohonan dari pemohon.

Putusan MK haruslah dibaca sebagai “upaya serius” dari MK agar tidak ada alasan dan argumentasi hukum yang digunakan oleh penegak hukum yang tidak bisa memeriksa kepala daerah. Putusan MK merupakan jawaban dari berbagai keberatan dari berbagai pihak yang melihat penegak hukum seringkali “mempermainkan” dan “memperlambat” proses hukum.


Advokat, Tinggal di Jambi