SUARA
NURANI MENGALAHKAN BIROKRASI
28
Penyidik Kepolisian Jadi Pegawai KPK. Judul bombastis yang dimuat di
situs kompas.com menggelitik penulis. Judul ini sengaja dipajang
besar-besar untuk “menguji” pemikiran kita. Judul itu kemudian
dapat ditafsirkan berbagai makna.
(http://nasional.kompas.com/read/2012/10/04/15265767/28.Penyidik.Kepolisian.Jadi.Pegawai.KPKfb_action_ids=3800346526941&fb_action_types=og.likes&fb_source=aggregation&fb_aggregation_id=288381481237582)
Makna
pertama dapat saja “ditafsirkan”
28 penyidik kemudian memilih pekerjaan menjadi pegawai KPK daripada
menjadi penyidik di Kepolisian. Dalam pemikiran ini tidak salah
apabila “pilihan”
pekerjaan merupakan “hak asasi”
sebagaimana didalam rumusan pasal 28 konstitusi yang berbunyi “Setiap
orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang
adil dan layak dalam hubungan kerja. Makna “setiap
orang berhak untuk bekerja” sedang digagas para penyidik dalam
peristiwa ini.
Makna
kedua dapat saja ditafsirkan sebagai sikap “mbalelo”.
Melawan perintah atasan. Tidak tahu
diri, tidak berterima kasih dan berbagai umpatan yang
sebenarnya “kesal” melihat 28 orang penyidik Polisi tidak
mau kembali ke Mabes.
Makna
ketiga dapat saja ditafsirkan “senjata makan tuan”. Tidak
pernah terpikir dalam benak petinggi Polri bahwa “kekuasaan”
mengembalikan penyidik ke Kepolisian ternyata berdampak buruk. Dengan
kewenangan sebagai “petinggi” Polri, mereka “seakan-akan”
begitu angkuh “meminta” kepada penyidik agar kembali ke
Mabes. Mereka salah berhitung. Dengan tujuan mengembalikan penyidik
ke kepolisian, mereka berharap KPK akan lumpuh dan terganggu dalam
proses penyidikan. KPK akan terganggu dan sibuk berbenah untuk
mencari penyidik terhadap berbagai kasus di KPK. Sehingga jalan dan
langkah KPK tertatih-tatih mengikuti dinamika kerja di KPK.
Makna
keempat dapat saja ditafsirkan sebagai sikap “suara nurani”
yang sudah muak terhadap berbagai penyimpangan di tubuh kepolisian.
Bagaimanapun 28 orang penyidik yang sudah bekerja di KPK sudah
“merasakan” bagaimana perlawanan anti korupsi dan sudah
“merasakan” nuansa “bersih” di KPK.
Interaksi
terus menerus, perlawanan terhadap penyimpangan dan dukungan dari
berbagai kalangan merupakan “energi” baru yang terus
menerus mereka rasakan. Energi itu seperti “Virus” yang
mampu melawan rintangan dan hambatan psikologis. Sementara jaminan
masa depan dan berbagai fasilitas di KPK hanyalah sekedar “reward”
akan sikap yang mereka tempuh.
Terlepas
dari berbagai problema yang akan mereka terima, apakah sikap mereka
yang dapat saja diproses dengan alasan “desersi”, melawan
perintah atasan dan menimbulkan berbagai kerumitan terhadap “nasib”
mereka, sikap yang mereka tunjukkan sudah membuktikan, bahwa
perlawanan terhadap “berbagai praktek” ketidakadilan sudah
menjadi bagian dari tidak terpisahkan.
PERLAWANAN
ANTI KORUPSI
Harus
diakui, perlawanan korupsi sudah menjadi agenda nasional. Terlepas
itu sudah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan dengan
lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No.
20 Tahun 2001, lahirnya lembaga KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002,
dukungan dari berbagai lapisan masyarakat sudah membuktikan, musuh
korupsi merupakan agenda bersama. Negara yang tidak mampu mengikuti
perkembangan dinamika masyarakat melawan korupsi akan “tercecer”
dan berhadapan langsung. DPR yang “pernah” menggagas
“membonzai” kewenangan dari KPK langsung berhadapan dengan
publik. Wacana seperti “menghapus” kewenangan
“penyadapan”, “penuntutan” bahkan mewacanakan
membentuk Badan Pengawas KPK kemudian terantuk batu. Langsung
berhadapan dengan publik.
Entah
apa yang ada didalam pikiran “para perumus” UU (legal
drafter) yang berani menawarkan berbagai gagasan yang bertujuan untuk
“mengebiri” dan menghapuskan berbagai kewenangan. Entah
apa pula yang telah didesain untuk “menghancurkan KPK.
Semuanya “seakan-akan” dirundingkan di berbagai bilik
suara yang sambil berbisik-bisik. Mereka mendesaian dari tempat
sunyi. Tidak ada rasa kebanggaan mereka yang telah melahirkan KPK dan
terus menjaga dan merawat, melindungi KPK. Mereka menjadi makhluk
yang zombie yang terus “memata-matai” berbagai langkah
KPK. Apabila dianggap tidak cukup, mereka kemudian “menghentikan”
pembahasan anggaran, “memperlambat”, merusak”
anggaran agar KPK sedikit melunak. Mereka terus menerus mencari ruang
agar kesempatan “menghancurkan” KPK.
Namun
mereka lupa, bahwa KPK merupakan anak kandung dari buah reformasi.
KPK lahir di tengah masyarakat setelah semuanya menyadari berbagai
persoalan yang terjadi di negeri ini berangkat dari persoalan
korupsi. Pengalaman dan perjalanan orde baru meninggalkan “pekerjaan
rumah” yang kemudian dirasakan oleh rakyat. Kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan berbagai “hak”
yang seharusnya dinikmati kemudian “dirampok.
Akibatnya
berbagai “kesenjangan” muncul. Uang yang “dicuri”
kemudian dijadikan “kemewahan” bagi pejabat dan “pemegang
amanah”. Gaya hidup pejabat negara berbanding terbalik dengan
kehidupan rakyat. Pejabat negara kemudian berfoya-foya sambil
“menertawakan” kemiskinan.
Berbagai
pernyataan seperti “rakyat bodoh”, “miskin karena
nasib”, “rakyat memang pemalas” membuktikan antara
kehidupan rakyat dengan pengurus negara begitu timpang. Jangankan mau
mencari solusi terhadap berbagai problema di tengah rakyat, prihatin
saja tidak mau.
Pelajaran
panjang orde baru kemudian menyadarkan rakyat. Biang kerok berbagai
permasalahan yang terjadi “diakibatkan korupsi”. Berbagai
hak kemudian dicuri. Rakyat tidak menikmati “arti bernegara”.
Sehingga rakyat marah. Berbagai dukungan yang terus menerus mengalir
memberikan dukungan adalah proses yang panjang bagaimana dukungan
terus mengalir.
Entah
“pengurus” tidak menyadari putaran zaman dan mengikuti
perkembangan zaman, namun yang pasti “skenario” melemahkan
KPK tidak mereka perhitungan. Mereka teledor. Mereka kaget ketika
dukungan terus menerus ke KPK.
Pengalaman cicak – Buaya, perlawanan terhadap kriminalisasi Bibit Chandra adalah bentuk perlawanan yang sudah teratur rapi. Perlawanan kelas menengah kemudian “memaksa” mereka harus berhitung terhadap kekuatan itu.
Dan
kemudian selanjutnya bisa kita duga. Setelah dukungan yang terus
menerus kepada KPK, anggota DPR seakan-akan “koor”. Mulai
membantah. Mulai mencari pembenaran. Mulai mencari pencitraan. Mulai
sembunyi. Mulai “berpihak” kepada rakyat. Terlepas apakah
motif itu merupakan “bentuk dukungan” kepada rakyat atau
hanya mencari selamat, namun yang pasti, suara “koor”
anggota DPR sudah terlambat. Rakyat sudah mencatat. Rakyat sudah
mendengar. Rakyat tidak lupa.
Rakyat
kemudian memberikan “punisment” pada pemilu 2014. Rakyat
akan menjadi “raja” yang berdaulat. Rakyat menjadi juri
sekaligus “pemilik” suara yang akan memilih. Rakyat akan
mencatat itu.
Sekali
lagi, “suara nurani” mengalahkan tembok kokoh.