05 Oktober 2012

opini musri nauli : SUARA NURANI MENGALAHKAN BIROKRASI


SUARA NURANI MENGALAHKAN BIROKRASI


28 Penyidik Kepolisian Jadi Pegawai KPK. Judul bombastis yang dimuat di situs kompas.com menggelitik penulis. Judul ini sengaja dipajang besar-besar untuk “menguji” pemikiran kita. Judul itu kemudian dapat ditafsirkan berbagai makna. (http://nasional.kompas.com/read/2012/10/04/15265767/28.Penyidik.Kepolisian.Jadi.Pegawai.KPKfb_action_ids=3800346526941&fb_action_types=og.likes&fb_source=aggregation&fb_aggregation_id=288381481237582)


Makna pertama dapat saja “ditafsirkan” 28 penyidik kemudian memilih pekerjaan menjadi pegawai KPK daripada menjadi penyidik di Kepolisian. Dalam pemikiran ini tidak salah apabila “pilihan” pekerjaan merupakan “hak asasi” sebagaimana didalam rumusan pasal 28 konstitusi yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Makna “setiap orang berhak untuk bekerja” sedang digagas para penyidik dalam peristiwa ini.

Makna kedua dapat saja ditafsirkan sebagai sikap “mbalelo”. Melawan perintah atasan. Tidak tahu diri, tidak berterima kasih dan berbagai umpatan yang sebenarnya “kesal” melihat 28 orang penyidik Polisi tidak mau kembali ke Mabes.

Makna ketiga dapat saja ditafsirkan “senjata makan tuan”. Tidak pernah terpikir dalam benak petinggi Polri bahwa “kekuasaan” mengembalikan penyidik ke Kepolisian ternyata berdampak buruk. Dengan kewenangan sebagai “petinggi” Polri, mereka “seakan-akan” begitu angkuh “meminta” kepada penyidik agar kembali ke Mabes. Mereka salah berhitung. Dengan tujuan mengembalikan penyidik ke kepolisian, mereka berharap KPK akan lumpuh dan terganggu dalam proses penyidikan. KPK akan terganggu dan sibuk berbenah untuk mencari penyidik terhadap berbagai kasus di KPK. Sehingga jalan dan langkah KPK tertatih-tatih mengikuti dinamika kerja di KPK.

Makna keempat dapat saja ditafsirkan sebagai sikap “suara nurani” yang sudah muak terhadap berbagai penyimpangan di tubuh kepolisian. Bagaimanapun 28 orang penyidik yang sudah bekerja di KPK sudah “merasakan” bagaimana perlawanan anti korupsi dan sudah “merasakan” nuansa “bersih” di KPK.

Interaksi terus menerus, perlawanan terhadap penyimpangan dan dukungan dari berbagai kalangan merupakan “energi” baru yang terus menerus mereka rasakan. Energi itu seperti “Virus” yang mampu melawan rintangan dan hambatan psikologis. Sementara jaminan masa depan dan berbagai fasilitas di KPK hanyalah sekedar “reward” akan sikap yang mereka tempuh.

Terlepas dari berbagai problema yang akan mereka terima, apakah sikap mereka yang dapat saja diproses dengan alasan “desersi”, melawan perintah atasan dan menimbulkan berbagai kerumitan terhadap “nasib” mereka, sikap yang mereka tunjukkan sudah membuktikan, bahwa perlawanan terhadap “berbagai praktek” ketidakadilan sudah menjadi bagian dari tidak terpisahkan.


PERLAWANAN ANTI KORUPSI

Harus diakui, perlawanan korupsi sudah menjadi agenda nasional. Terlepas itu sudah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan dengan lahirnya UU No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan UU No. 20 Tahun 2001, lahirnya lembaga KPK berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, dukungan dari berbagai lapisan masyarakat sudah membuktikan, musuh korupsi merupakan agenda bersama. Negara yang tidak mampu mengikuti perkembangan dinamika masyarakat melawan korupsi akan “tercecer” dan berhadapan langsung. DPR yang “pernah” menggagas “membonzai” kewenangan dari KPK langsung berhadapan dengan publik. Wacana seperti “menghapus” kewenangan “penyadapan”, “penuntutan” bahkan mewacanakan membentuk Badan Pengawas KPK kemudian terantuk batu. Langsung berhadapan dengan publik.

Entah apa yang ada didalam pikiran “para perumus” UU (legal drafter) yang berani menawarkan berbagai gagasan yang bertujuan untuk “mengebiri” dan menghapuskan berbagai kewenangan. Entah apa pula yang telah didesain untuk “menghancurkan KPK. Semuanya “seakan-akan” dirundingkan di berbagai bilik suara yang sambil berbisik-bisik. Mereka mendesaian dari tempat sunyi. Tidak ada rasa kebanggaan mereka yang telah melahirkan KPK dan terus menjaga dan merawat, melindungi KPK. Mereka menjadi makhluk yang zombie yang terus “memata-matai” berbagai langkah KPK. Apabila dianggap tidak cukup, mereka kemudian “menghentikan” pembahasan anggaran, “memperlambat”, merusak” anggaran agar KPK sedikit melunak. Mereka terus menerus mencari ruang agar kesempatan “menghancurkan” KPK.

Namun mereka lupa, bahwa KPK merupakan anak kandung dari buah reformasi. KPK lahir di tengah masyarakat setelah semuanya menyadari berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini berangkat dari persoalan korupsi. Pengalaman dan perjalanan orde baru meninggalkan “pekerjaan rumah” yang kemudian dirasakan oleh rakyat. Kemiskinan, pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan berbagai “hak” yang seharusnya dinikmati kemudian “dirampok.

Akibatnya berbagai “kesenjangan” muncul. Uang yang “dicuri” kemudian dijadikan “kemewahan” bagi pejabat dan “pemegang amanah”. Gaya hidup pejabat negara berbanding terbalik dengan kehidupan rakyat. Pejabat negara kemudian berfoya-foya sambil “menertawakan” kemiskinan.

Berbagai pernyataan seperti “rakyat bodoh”, “miskin karena nasib”, “rakyat memang pemalas” membuktikan antara kehidupan rakyat dengan pengurus negara begitu timpang. Jangankan mau mencari solusi terhadap berbagai problema di tengah rakyat, prihatin saja tidak mau.

Pelajaran panjang orde baru kemudian menyadarkan rakyat. Biang kerok berbagai permasalahan yang terjadi “diakibatkan korupsi”. Berbagai hak kemudian dicuri. Rakyat tidak menikmati “arti bernegara”. Sehingga rakyat marah. Berbagai dukungan yang terus menerus mengalir memberikan dukungan adalah proses yang panjang bagaimana dukungan terus mengalir.

Entah “pengurus” tidak menyadari putaran zaman dan mengikuti perkembangan zaman, namun yang pasti “skenario” melemahkan KPK tidak mereka perhitungan. Mereka teledor. Mereka kaget ketika dukungan terus menerus ke KPK.

Pengalaman cicak – Buaya, perlawanan terhadap kriminalisasi Bibit Chandra adalah bentuk perlawanan yang sudah teratur rapi. Perlawanan kelas menengah kemudian “memaksa” mereka harus berhitung terhadap kekuatan itu.

Dan kemudian selanjutnya bisa kita duga. Setelah dukungan yang terus menerus kepada KPK, anggota DPR seakan-akan “koor”. Mulai membantah. Mulai mencari pembenaran. Mulai mencari pencitraan. Mulai sembunyi. Mulai “berpihak” kepada rakyat. Terlepas apakah motif itu merupakan “bentuk dukungan” kepada rakyat atau hanya mencari selamat, namun yang pasti, suara “koor” anggota DPR sudah terlambat. Rakyat sudah mencatat. Rakyat sudah mendengar. Rakyat tidak lupa.

Rakyat kemudian memberikan “punisment” pada pemilu 2014. Rakyat akan menjadi “raja” yang berdaulat. Rakyat menjadi juri sekaligus “pemilik” suara yang akan memilih. Rakyat akan mencatat itu.
Sekali lagi, “suara nurani” mengalahkan tembok kokoh.