Wanita
di Lhokseumawe akan dilarang duduk mengangkang di Motor. Demikian
judul sebuah media online mengabarkan.
Entah
serius atau memang “belum memahami hukum”, yang pasti, Walikota
menjelaskan dengan serius. Walikota Lhokseumawe, Suaidi
Yahya, menyatakan akan mengeluarkan peraturan tentang larangan
perempuan mengangkang saat berada di sepeda motor. Perempuan
disarankan duduk menyamping.. "Untuk tahap pertama, akan
mengeluarkan ada surat edaran terlebih dahulu. Setelah itu, kita akan
keluarkan peraturan, sehingga apabila ada yang melanggar akan kita
tindak sesuai dengan aturan yang akan kita berlakukan," kata
Suaidi.
Dari
“kesan” yang ditangkap, upaya yang sedang digalang
Pemerintah Lhokseumawe dipandang “cukup serius”. Ditandai
dengan akan dikeluarkannya surat edaran dan kemudian akan diatur
didalam Peraturan.
Terlepas
dari “materi yang akan diatur”, secara substansi, hukum
yang “harus diatur” harus bersifat universal. Didalam
berbagai asas-asas lahirnya peraturan, sifat hukum harus ditentukan
“universal”, “logis”, “melambangkan” rasionalitas dan
tentu saja dapat diterima dengan akal sehat (common sense).
Hukum
tidak boleh hanya “melambangkan” segelintir kaum/kelompok.
Hukum harus diatas semua kepentingan golongan, agama, ras, jenis
kelamin, kebangsaan. Hukum harus bisa “menyelesaikan”
segala perbedaan dan mampu “menciptakan ketertiban”. Hukum
harus utuh dan hukum tidak boleh ditafsirkan segelintir orang.
Dengan
menggunakan berbagai indikator yang telah disebutkan, entah sebagai
asas atau prinsip, maka ada baiknya kita sedikit menoleh bagaimana
hukum kemudian diterapkan.
NILAI
DAN NORMA
Didalam
literatur hukum, sering dijelaskan, nilai adalah suatu ukuran,
patokan yang diwujudkan melalui perilaku. Sedangkan Norma
adalah aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan yang
bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang aman dan tertib.
Norma terdiri dari Norma kesusilaan/norma kesopanan, norma
kebiasaan/adat, norma agama dan norma hukum.
Norma
kesusilaan, norma adat dan norma agama hanya berlaku dalam kalangan
tertentu. Hanya dapat diterapkan dalam komunitas tertentu. Norma
kesopanan antara daerah satu dengan daerah lain berbeda-beda. Sopan
antara satu daerah “belum tentu” dianggap sopan di daerah lain.
Misalnya, penghormatan terhadap perempuan (lady first) dalam norma
sama. Perempuan harus dihargai, dihormati, didahulukan, diutamakan.
Namun dalam praktek bisa saja berbeda-beda wujudnya. Orang Barat
selalu “mendahulukan” perempuan untuk berjalan didepan.
Sedangkan orang Timur selalu “mendahulukan” laki-laki berjalan
didepan. Banyak sekali contoh-contoh yang bisa diterangkan. Semuanya
berangkat dari nilai yang sama. “Penghormatan” terhadap perempuan
(lady first). Namun dalam wujudnya berbeda antara satu dengan daerah
yang lain. Dengan demikian, maka tidak bersifat universal.
Perbedaan
tafsiran dan menimbulkan persoalan di tengah masyarakat mengakibatkan
hukum tidak dapat menjangkau pelaku yang diduga dan dituduh sebagian
kalangan melakukan perbuatan “duduk ngangkang”.
Dengan
kata lain, hukum menjadi tidak pasti. Hukum hanyalah asumsi-asumsi
sepihak. Hukum adalah praduga-praduga yang tidak mendasar.
Maka
dengan demikian, tujuan hukum pidana tidak tercapai. Selain tidak
terpenuhinya asas kepastian hukum, tidak tercapainya keadilan, maka
hukum pidana sulit didalam pembuktian terpenuhinya unsur yang
dituduhkan.
Sehingga
tidak boleh diterapkan dalam norma hukum karena tidak bersifat
universal.
Begitu
juga norma agama. Perdebatan tentang adanya “hilal”
merupakan tema yang memang “termasuk” wilayah agama.
Wilayah sakral yang “negara” tidak boleh intervensi untuk
“menentukan” siapa yang benar atau yang salah. Dengan
demikian, maka tidak dapat dikatakan bersifat universal.
Maka
norma-norma yang termasuk Norma kesusilaan/norma kesopanan, norma
kebiasaan/adat, norma agama tidak bersifat universal sehingga tidak
dapat dikategorikan sebagai norma hukum sehingga tidak dapat
diterapkan secara universal.
Norma
yang kemudian dijadikan norma hukum “memang harus universal”.
Tidak bisa diterapkan pada “segelintir” kelompok atau
golongan tertentu. Tidak boleh diskriminasi.
Dalam
berbagai literatur, pengertian hukum merupakan salah satu ranah
perdebatan yang paling seru. Para ahli cuma bisa merumuskan, apa saja
yang termasuk kedalam “kriteria” dari hukum, syarat-syarat
yang dapat dikatakan hukum hingga standar minimal apakah norma itu
dapat dikategorikan sebagai hukum.
Plato,
melukiskan, Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan
tersusun baik yang mengikat masyarakat. Aristoteles, hukum hanya
sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat
tetapi juga hakim.
Austin,
hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan
kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa
atasnya. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur
tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada
masyarakat. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang
mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku
manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa
negara dalam melakukan tugasnya.
Immanuel
Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak
dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari
orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan. Van Kant,
hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang
diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam
masyarakat.
Dengan
mengikuti berbagai pemikiran ahli hukum didalam merumuskan pengertian
hukum maka hukum dapat dirumuskan Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman
atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau
diharapkan, Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses
diskresi yang menyangkut keputusan penguasa. Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang siagap baik dan buruk. Hukum sebagai sarana sistem
pengandalian sosial
Sekarang
tinggal kita, apakah materi “duduk ngangkang” dapat
dijadikan materi harus diatur oleh peraturan perundang-undangan ?
Kebangkitan
fundamentalis
Di
Indonesia, harus diakui definisi hukum berdasarkan kepada Hukum
sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau
perikelakuan yang pantas atau diharapkan. Hukum sebagai jalinan
nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak
tentang apa yang baik dan buruk.
Definisi
ini berangkat dari proses yang panjang perjalanan bangsa Indonesia.
Indonesia mengalami proses sejarah perjalanan kebangsaan yang
panjang. Baik zaman sebelum masuknya berbagai agama besar dunia
(Islam, Kristen, Hindu, Budha) maupun interaksi berbagai budaya
lainnya (Arab, India, China, Eropa). Berbagai interaksi antara satu
agama dengan agama lain, interaksi budaya yang kemudian meninggalkan
sejarah dan khas dari masing-masing komunitas. Sehingga berbagai
agama dan budaya juga turut membantu berbagai pemikiran didalam
merumuskan definisi hukum.
Kasus
Bupati Garut, persoalan “keperawanan”,
kasus Ariel Peterpan berangkat dari perspektif moral. Dari
sudut pandang sosiologi, memang memantik diskusi panjang dan
menggugat nurani kita terhadap berbagai perkembangan sosial yang
kurang disikapi secara arif oleh negara. Harus disadari, adanya
pergeseran sosial di tengah masyarakat.
Dalam
kajian sosiologi, pergeseran sosial di tengah masyarakat berhadapan
dengna sikap fundamentalis kelompok islam disisi lain.
Persepsi
porno
Nah,
setelah kita melihat berbagai literatur yang jelas memisahkan antara
norma kesusilaan/norma kesopanan, norma kebiasaan/adat, norma agama
dengan norma hukum, maka kita dapat melihat berbagai persoalan ketika
wacana “tidak boleh duduk ngangkang” kemudian diterapkan
didalam peraturan.
Pertanyaan
pertama. Harus dibuktikan apakah “duduk
ngangkang”
dapat dijadikan norma hukum ?.
Apabila
kita perhatikan rumusan ini, maka kata-kata yang penting dan menjadi
sorotan penulis adalah frase kata-kata “duduk
ngangkang”
adalah perbuatan melawan hukum. Apakah “duduk
ngangkang”
dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Padahal tujuan
peraturan yang digagas oleh Walikota Lhokseumawe tentang “duduk
ngangkang”, perempuan
yang duduk mengangkang saat di sepeda motor berefek ketat sehingga
membentuk tubuh. "Pakaian yang membentuk tubuh belum memenuhi
kriteria dari nilai nilai syariat Islam”
Dengan
demikian, maka “duduk
ngangkang” memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan. Duduk ngangkang yang dianggap
sebagai perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan “belum
memenuhi kriteria dari nilai-nilai syariat Islam maka sebenarnya
“masih ada dalam pikiran manusia”.
Tidak diwujudkan. Belum pasti akan menimbulkan persoalan.
Hukum
tidak boleh mengadili apalagi menghakimi “pikiran
manusia”.
Apabila
kita perhatikan dengan frase kata-kata “duduk
ngangkang”,
dengna tujuan peraturan digagas, maka menjadi tidak sinkron. Tidak
jelas, tidak fokus, bias, sumir dan justru mengaburkan tujuan
peraturan itu sendiri.
Pertanyaan
Kedua. Apakah “duduk
ngangkang”
kemudian dapat dikonotasikan sebagai perbuatan “yang belum memenuhi
kriteria dari nilai-nilai syariat Islam”.
Dari
ranah, ini maka pembuktian inilah yang harus dilakukan penyidik
sebagai bahan untuk melakukan pekerjaan untuk menjawab pertanyataan
yang penulis maksudkan.
Dan
apabila kemudian hasil penyidikan, kemudian “duduk
ngangkang”
yang kemudian tidak bermasalah dengan kriteria dari nilai-nilai
syariat islam ? Lalu bagaimana ?
Pertanyaan
Ketiga. Siapa yang berwenang untuk menentukan “duduk
ngangkang” sebagai
perbuatan yang dianggap “ belum
memenuhi kriteria dari nilai-nilai syariat Islam”
Dengan
menggunakan berbagai indikator yang telah disampaikan, maka wacana
yang digagas oleh Walikota Lhokseumawe termasuk kedalam ranah “norma
agama”.
Masih menggunakan persepsi dalam pemikiran. Indikator lemah yang
tidak dapat diterapkan menjadi norma hukum. Dengan tidak terpenuhi
berbagai prasyarat yang harus dijadikan norma hukum, maka sudah jelas
jawabannya.
Menghubungkan
“duduk ngangkang” dengan “nilai-nilai syariah”
berangkat dari sistem sosial yang berakar dari sistem kekerabatan
Patrialisme.
Patrialisme
selama ini merupakan tipe legitimasi yang paling penting yang
didasarkan pada tradisi. Patriarkisme berarti kekuasaan seorang ayah,
suami, orang tertua dalam rumah, saudara yang lebih tua daripada
anggota keluarga dan saudara yang lain; penguasaan seorang majikan
atau tuan tanah terhadap para budak dan petani; penguasaan seorang
bangsawan terhadap pelayan-pelayan dan pegawai-pegawai rumah tangga;
penguasaan seorang pangeran terhadap pegawai negeri maupun
pengadilan, pejabat-pejabat pemerintahan, pedagang dan raja-raja
kecil; penguasaan bangsawan patrimonial dan raja berdaulat terhadap
“warga negaranya”.
Dengan
demikian, menghubungkan “duduk ngangkang” dengan “nilai-nilai
syariah” yang berangkat dari sistem sosial patriarkisme yang
menempatkan legitimasi kekuasaan laki-laki membuat persoalan “duduk
ngangkang” dengan “nilai-nilai syariah”” menyesatkan.
Dalam
perdebatan kaum feminisme, membicarakan perempuan dengan alat tubuh
menjadi wacana diskusi publik. Tubuh perempuan dikonotasikan dengan
persoalan seksualitas, pornografi. Tubuh perempuan dibicarakan di
ranah publik dengan pemikiran tubuh perempuan sebagai penyebab
terjadinya seksualitas dan pornografi.
Publik
dengan mudah mempersoalkan didalam pornografi dengan tubuh perempuan.
Padahal tubuh perempuan sebagai penyebab pornografi berangkat dari
konsepsi pemikiran “otak” kaum lelaki yang berfikir porno.
“otak porno” lelaki yang berfikir “porno”
kemudian menggeser menjadi tubuh perempuan sebagai “pornografi’.
Wacana pembahasan pornografi dalam wacana publik menjawab asumsi yang
sudah “porno”.
Persoalan
menghubungkan “duduk ngangkang” dengan “nilai-nilai syariah”
kemudian menjadi wacana yang salah kaprah.
Baca : RUU Pornografi