Kejaksaan
Agung telah menetapkan PT Indosat Tbk dan anak perusahaannya PT
Indosat Mega Media (IM2) untuk dimintai pertanggungjawab pidana dalam
kasus penyalahgunaan jaringan frekuensi 2,1 GHz (3G), yaitu
mengembalikan uang yang telah menyebabkan kerugian negara Rp1,3
triliun.
Sebelumnya,
Kejaksaan Agung telah menetapkan tersangka direksi dari PT IM2.
Namun, dalam perkembangan penyidikan Kejagung, kedua korporasi itu
akan dimintai pertanggungjawaban pidana terkait dengan penyelahgunaan
frekuensi itu yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp1,3 triliun.
Demikian
“headline”
berbagai berita di media massa. (Penulis sengaja memberikan
penegasan “headline” untuk berita di atas sebagai gambaran,
berita ini menarik untuk didiskusikan dalam ranah pemberantasan
tindak pidana korupsi).
Ketika
Kejaksaan menetapkan PT. Indosat Tbk dan anak perusahaannya PT.
Indosat Mega Media (IM2) sebagai “pelaku (dader)” tindak
pidana (rechtpersoon) merupakan kemajuan pemberantasan tindak pidana
korupsi. Kemajuan ini harus diberi apresiasi.
Mengapa
?
Dalam
berbagai pemberantasan tindak pidana korupsi, hampir praktis para
pelaku “cuma” dibebankan kepada Manager (ingat kasus
pengemplang pajak Asian Agri), Direktur ataupun komisaris
perusahaan. Sedikit sekali catatan yang bisa ditemukan, badan hukum
menjadi “pelaku (dader)” tindak pidana korupsi.
Menggunakan
norma yang terkandung didalam UU No. 31 Tahun 1999, perbuatan korupsi
sering diwujudkan tindak pidana “perbuatan melawan hukum”,
“kewenangan”, “memperkaya diri sendiri…” dan “merugikan
keuangan negara”.
Padahal
didalam tindak pidana korupsi, selain membicarakan norma yang
terkandung didalam UU No. 31 Tahun 1999 juga mengatur tentang
“pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara,
gugatan terhadap kerugian negara dan penyitaan terhadap aset-aset
yang didapatkan dari tindak pidana korupsi”. Bahkan berbagai UU
juga “mengamanatkan” apabila korporasi terlibat dalam
kejahatan, maka pengadilan “dapat” menyatakan untuk
“membubarkan” korporasi yang telah melakukan kejahatan
korupsi.
Namun
hampir praktis, sama sekali tidak menjadi perhatian penegak hukum.
Dengan demikian, maka tujuan pemidanaan korupsi semata-mata berkaitan
dengan pemenjaraan ataupun kerugian negara dan denda.
Hampir
praktis dalam praktek, hal yang berkaitan dengan tentang
pertanggungjawaban korporasi, pengembalian kerugian negara, gugatan
terhadap kerugian negara dan penyitaan terhadap aset-aset yang
didapatkan dari tindak pidana korupsi kurang mendapatkan perhatian
publik. Baik dalam wacana ilmiah maupun didalam berbagai dakwaan dan
putusan hakim.
Apabila
meninjau pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang
dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan
dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person).
Selain itu, KUHP juga masih menganut asas “sociates delinquere
non potest” dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak
dapat melakukan tindak pidana (walaupun diluar KUHP sudah mengatur
tentang pertanggungjawaban korporasi dan pertanggungjawaban komando)
Melihat
rumusan pasal 1 ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah memberikan
rumusan “korporasi” dan berbagai tindak pidana yang
berkaitan dengan “korporasi” (baca pasal 2 ayat 1) maka
terhadap korporasi dapat dipertanggungjawabkan (rechtpersoon) dan
diseret dimuka persidangan. Atau dengan kata lain, para pelaku tindak
pidana (dader) tidak hanya manusia sebagai pelaku tindak pidana
korupsi ( naturlijkee person), tapi
badan hukum juga harus menjadi pelaku tindak pidana korupsi
(rechtpersoon).
Dalam
berbagai literatur disebutkan “pertanggungjawaban korporasi
harusnya mempunyai kesalahan, dan juga perbuatan itu diatur didalam
perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, maka terhadap
tindak pidana korupsi harus diterapkan terhadap pertanggungjawaban
korporasi. Tidak tepatnya menerapkan pertanggungjawaban korporasi
selain mengakibatkan terdakwa haruslah dibebaskan (vrijpraak),
maka justru akan mengakibatkan beban tanggung jawab korporasi hanya
dialihkan kepada tanggung jawab individu (naturlijkee person).
Dalam
praktek, terhadap terdakwa hanya disebutkan sebagai Direktur suatu
Korporasi. Namun tidak diterangkan, perbuatan terdakwa sebagai
korporat yang bertindak untuk dan atas nama korporasi mewakili
korporasi.
Ketidaktepatan
menempatkan dan mencampurkanadukkan antara pertanggungjawaban
korporasi dan pertanggungjawaban pribadi (naturlijkee person)
mengakibatkan, didalam sistem hukum menjadi rancu. Apakah kesalahan
yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan pidana sebagai
pribadi (naturlijkee person) atau perbuatan pidana yang
dilakukan oleh korporasi.
Ketidaktepatan
dan kerancuan yang tidak tepat menempatkan perbuatan pidana sebagai
pribadi (naturlijkee person) ataupun perbuatan pidana sebagai
pertanggungjawaban korporasi selain akan menyulitkan pembuktian juga
mengakibatkan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pelaku (dadaer)
sebagai naturlijkee person atau
Recht person. Dan dalam proses penjatuhan pemidanaan.
Dari
ranah ini, kemudian berbagai putusan pengadilan (vonis) tidak
memberikan tafsiran yang jelas dan cenderung mengikuti surat tuntutan
jaksa penuntut umum (requisitooir). Padahal menurut hukum, perbuatan
pidana sebagai pribadi (naturlijkee person) dan
pertanggungjawaban korporasi (rechtperson) merupakan dua hal yang
terpisah dan tidak dapat dicambur baur.
Kesalahan
dan ketidakcermatan didalam merumuskannya selain membuat kasus ini
tidak menjadi jelas (obsuur libels) juga tidak pantas apabila
kesalahan korporasi harus dibebankan kepada terdakwa sebagai
perbuatan pidana pribadi (naturlijkee person)
UU
No. 40 tahun 2009 juga telah menggariskan bahwa yang dapat bertindak
dimuka hukum adalah Direksi. Namun menempatkan terdakwa sebagai
pribadi (naturlijkee person) tanpa melihat perbuatan korporasi
(rechtperson) juga menyesatkan dan tidak menguraikan ketentuan pasal
2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Sehingga, hampir praktis,
pertanggungjawaban korporasi (rechtperson) tidak pernah diterapkan.
Oleh
karena itu, sudah saatnya, apabila didalam berbagai fakta
persidangan, selain melihat kesalahan dan pertanggungjawaban terdakwa
sebagai pribadi (naturlijkee person)
juga harus melihat bagaimana
kesalahan dan pertanggungjawaban korporasi (rechtpersoon).
Pertanggungjawaban korporasi (rechtpersoon) mutlak harus dibuktikan.
Dengan demikian, tujuan daripada UU No. 31 Tahun 1999
“penanggulangan tindak pidana korupsi”
tercapai.
Kita
menunggu bagaimana perkembangan persidangan dan putusan terhadap
kasus ini.