Selesai sudah penetapan nama-nama peserta Konvensi Calon Presiden 2014 versi Partai Demokrat. Dalam berbagai media massa, nama-nama seperti Dahlan Iskan, Anis Baswedan, Marzuki Ali, Ali Maskur Musa, Dino Patti Djalal, Endriartono Sutarto, Gita Wirjawan, Hayono Isman, Irman Gusman, Pramono Edhie Wibowo, Sinyo Harry Sarundajang kemudian menjadi peserta konvensi Capres Presiden 2014 versi Partai Demokrat.
Issu konvensi Calon Presiden 2014 Partai Demokrat sempat “disandingkan” dengan Jokowi, tokoh paling populer berbagai media massa untuk Presiden 2014. Tim Konvensi Partai Demokrat “konon” kabarnya “melamar” Jokowi mengikuti Konvensi. Dengan santai Jokowi menolak secara halus dengan berujar “Saya kader PDI-P. Saya mengikuti instruksi Partai”. Gema Konvensipun kemudian sempat meredup.
Belum lagi ditambah mundurnya “Mahfud, MD”, tokoh hukum cerdas, mantan Ketua MK. Kemudian tidak “bersedia” Jusuf Kalla, mundurnya Rutningsih, kemudian tidak bersedianya Rusdi Kirana. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego mengungkapkan, mundurnya tiga peserta Konvensi Partai Demokrat membuat konvensi itu kehilangan wibawa.
Lantas ke arah mana bandul politik yang hendak digagas Partai Demokrat.
Pertama. Publik sudah bisa membaca, ide konvensi Partai Demokrat didasarkan kepada “tidak bisa dicalonkan SBY” untuk Piplres 2014. Dengan demikian, maka konvensi merupakan “skenario” alternatif Partai Demokrat untuk Pilpres 2014.
Kedua. Terlalu tingginya Ekspetasi partai kepada SBY cukup dominan. Hampir semua jabatan tinggi di Partai Demokrat “tersentral” dalam satu tangan SBY. SBY memegang empat jabatan sekaligus di partai. Ketua Umum, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan. Walaupun kemudian meletakkan dua jabatannya di partai itu yakni sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Dewan Kehormatan.
Ketiga. Gagalnya kaderisasi partai demokrat. Ketika SBY menakhodakan Partai Demokrat, hampir praktis setiap keputusan politik penting di Partai Demokrat selalu ditangan SBY. Seluruh energi Partai Demokrat dikerahkan baik untuk memenangkan SBY tahun 2004 maupun di tahun 2009. Partai tidak mempersiapkan kader-kader terbaiknya untuk mengisi posisi-posisi penting di Partai.
Keempat. Lambatnya respon partai mempersiapkan “pangeran” untuk menjadi Presiden. Sebelum “meledaknya” kasus Hembalang yang “menyeret” Ketua Umum Partai Anas Urbaningrum, partai Demokrat begitu berharap kepada Anas Urbaninungrum. Muda, cerdas, mempunyai track record politik yang baik dan mumpuni.
Begitu kasus Hembalang “meledak” dan menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka, Partai tidak mempersiapkan mekanisme dan alternatif untuk menggantikan Anas Urbaningrum. Namun justru kembali menjadi “tersentralisasi” ke tangan SBY. Sehingga badai prahara politik tidak diselesaikan dengan baik.
Momentum inipun kemudian tidak menjadikan partai Demokrat “selamat” melewati krisis.
Kelima. Cara konvensi yang “kurang disusun” dengan baik kemudian mendapatkan “serangan balik” dari Mahfud, MD. Berbagai pertanyaan dari Mahfud, MD yang “tidak mampu” dijawab dengan baik oleh Tim Konvensi Partai Demokrat membuat “greget” Konvensi Partai Demokrat menjadi “kurang menarik” dan menjadi hambar.
Keenam. Tidak ada kejelasan “kriteria” penetapan peserta Konvensi Pilpres 2014. Berbeda dengan konvensi Partai Golkar 2004 yang disusun dan dipaparkan dihadapan publik, tahapan dan indikator yang jelas membuat konvensi Partai Golkar “menarik” dan menjadi langkah cerdas Partai Golkar 2004. Hampir selama setahun, baik dimulai dari penjaringan, hingga konvensi Partai Golkar yang kemudian menetapkan Cappres Partai Golkar tidak sepi dari gegap gempita politik dan liputan media massa. Publik selain mendapatkan pemberitaan yang lengkap dari Konvensi, pendidikan politik dari Partai Golkar, langkah cerdas ini kemudian memberikan catatan perjalanan demokrasi di Indonesia.
Namun dari Konvensi Calon Presiden 2014 Partai Demokrat, tim Konvensi “hanya” mendatangi para kandidate yang “mengajak” mengikuti konvensi. Tidak ada kriteria yang bisa ditarik publik mengapa tim konvensi “mendatangi” kandidate mengikuti konvensi sebagai pembelajaran demokrasi. Sehingga kehilangan “gregetan”nya.
Ketujuh. Keputusan terakhir di tangan SBY. Berbeda dengan konvensi Partai Golkar dimana peserta konvensi Presiden “diberi” kesempatan mendatangi pemilik suara partai Golkar dan “berkampanye” di Partai Golkar dan keputusan terakhir di tangan pemilik suara di Partai Golkar, penentuan Calon Presiden Konvensi Partai Demokrat “ditentukan” di tangan SBY sebagai “majelis tinggi Partai'. Cara ini selain “mengurangi partisipasi” dan mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat, cara-cara ini “dapat” disalip oleh kepentingan SBY. Hasil Konvensi bisa saja “dianulir” oleh SBY.
Dengan melihat bandul politik yang hendak dibangun oleh Partai Demokrat, cara-cara cerdas Partai Demokrat harus dibuktikan untuk menjawab berbagai keraguan publik. Apabila cara-cara cerdas tidak ditempuh oleh Partai Demokrat, maka konvensi hanya menjadi “ajang idol” yang harus sesuai dengan kepentingan SBY sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Partai Demokrat (Sebagai Ketua Umum Partai dan Ketua Majelis Tinggi)