26 Juni 2014

opini musri nauli : KONFLIK DAN KEARIFAN LOKAL


KONFLIK DAN KEARIFAN LOKAL[1]
Musri Nauli[2]


Akhir-akhir ini kita disuguhkan konflik[3] yang disebabkan “salah urus” pengelolaan sumber daya alam. Konflik yang disebabkan “salah urus” negara didalam mengelola sumber daya alam meninggalkan persoalan yang menganga dan jurang yang semakin dalam.

Salah urus di Jambi disebabkan adanya ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Kebijakan negara didalam menetapkan kawasan merupakan muara pertama dari ketimpangan penguasaan sumber dayalam.

Pertama. Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan[4] adalah 2.179.440 Ha dengan rincian sebagai berikut :

No
Fungsi
Luas (Ha)
1.
Kawasan Hutan Konservasi
676.120
2.
Kawasan Hutan Lindung
191.130
3.
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
340.700
4.
Kawasan Hutan Produksi (HP)
971.49
Total
2.179.440
Sumber : Dari Berbagai Sumber (WALHI Jambi, 2013)

Namun penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.

Rencana “pengusiran masyarakat di Desa Tanjung Kasri dan Renah Kemumu adalah sekedar fakta yang membuktikan masyarakat harus berhadapaan dengan negara didalam mengelola kehutanan.

Belum lagi “persoalan Lembah masurai” yang meninggalkan persoalan antara masyarakat yang menjaga hutan dan masyarakat yang dituduh merambah.

Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan hutan. Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan rawa gambut.

Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat dilihat 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI[5].

Ketimpangan lahan di sektor Tambang seluas satu juta hektar[6] dan 515 ribu untuk sawit[7].

Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan timbulnya konflik. Catatan Walhi Jambi[8] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[9].

Data-data konflik inilah kemudian dilakukan penggambaran secara umum sehingga bisa menggambarkan dan pandangan multistakeholder untuk membaca konflik.

Dengan data-data yang telah terhimpun, kemudian dikomparasikan dengan data-data dari APHI dan Dinas Kehutanan, Walhi Jambi kemudian atas dukungan dari UNDP melakukan pemetaan.

Dari hasil bacaan pemetaan yang telah dilakukan oleh Walhi Jambi atas dukungan dari UNDP, maka tipologi konflik dapat diketahui.

Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik.

Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu (kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah (kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir (Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).

Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai[10], PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[11]. Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten.

Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama batubara[12].
Kedua. Konflik yang semakin meluas. Hasil data-data yang berhasil dihimpun oleh Walhi Jambi yang kemudian diolah bersama-sama dengan UNDP menunjukkan Sarolangun menunjukkan konflik lebih dari 10 konflik disusul Kabupaten Muara jambi dan Kabupaten Batanghari.

Sarolangun juga menunjukkan angka 30 ribu areal yang berkonflik.

Sarolangun menunjukkan perhatian dari tim inventarisasi dan resolusi konflik disampaikan beberapa kasus yang berkaitan dengan perkebunan merupakan kewenangan dari kabupaten. Dinas Perkebunan mendapatkan perkembangan (up to date) dari Kabupaten.

Dari Karang Mendalo, para pihak sudah menyampaikan perkembangan dari penyelesaiannya. Begitu juga antara PT. JAW dan PT EMAL yang belum ada perkembangan berarti.

Sedangkan kasus PT. Asiatic Persada, mulai dapat diselesaikan verifikasi dan validasi terhadap penempatan SAD. Luas wilayah 2 ribu hektar termasuk kedalam 17 kelompok. Masih ada 65 kk atau 1 kelompok yang masih belum diselesaikan. Semuanya ditempatkan didalam kawasan izin PT. Jamer Tulen.

Sedangkan data-data Walhi Jambi menunjukkan sektor sawit, salah satu menyumbang berbagai konflik di Jambi.

TABEL 1. KERUSUHAN MASSAL DI SEKTOR SUMBER DAYA ALAM

NO
TAHUN
KASUS
KETERANGAN
1
November 1998 di
Tungkal Ulu di
Kab. Tanjab
Pembakaran PT. DAS
Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan tersangka.
2
April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
Pembakaran PT. TEBORA
Kota Bungo mencekam karena adanya issu masyarakat akan melakukan penyerangan. Jumlah data masyarakat yang dijadikan tersangka tidak tersedia
3
September 1999 di
Empang Benao Kab.
Bangko
Pembakaran PT. KDA
13 orang dijadikan tersangka dengna pasal 170, 363, dan 218 KUIIP
4
Januari 2000 di
Tanah Tumbuh Kab.
Bute
Pembakaran PT. Jainika Raya
13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang berlapis seperti pasal 170, 187,406,412,164KUHP
5
Juni 1999 di Jambi
Pengrusakan Kantor Gubernur
4 orang mahasiswa sebagai terdakwa dengan pasal 170 KUHP
6
Juni 2001 di Jambi
Pengrusakan Kantor Polda Jambi
13 orang mahasiswa sebagai tersangka dan 4 orang kemudian dijadikan terdakwa di pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhari pasal 160, 170, 187 KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951.
7
September 2002 di Bungo
Pengrusakan PTPN VI
18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhari pasal 170 KUHP
8
Agustus 2006 di Jambi
Pengrusakan kantor
BKSA
2 orang dijadikan tersangka dengan pasal
17, 18 UU No. 9 Tahun 1998 dan Pasai
406
9
Desember 2005 di
Sungai Penuh
Kabupaten Kerinci
Kerusuhan di Sungai Penuh
8 orang dijadikan tersangka dengan 8 berkas pidana terpisah
10
Desember 2006 di
Singkut Kabupaten
Sarolangun
Pembakaran PT. DIPP
_______________________________
27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah
11
Desember 2007 di
Lubuk Madrasah
Kabupaten Tebo
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS
9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas terpisah.






Melihat konflik di sektor perkebunan kelapa sawit, penulis menyoroti arsitektur yang melingkupinya[13].

Arsitektur pertama adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November 1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah pemekaran bernama Tanjung jabung barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora januari 1999 di Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT. DIPP Desember 2006 di Sarolangun.

Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama, bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.

Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu. Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat. Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian effektif dan berhasil untuk menggeser itu.

Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum kepada para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Dalam putusan terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP, semua pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan PT. KDA, pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Apabila pelaku tidak melakukan perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku melakukan perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. Namun berbeda dengan terdakwa dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat dari sudut pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan sebagaimana diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukan dan tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. Dengan demikian maka pelaku dapat dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP.

Selain itu juga, terhadap masyarakat yang memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku.

Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan. Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan menelantarkan perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi dalam pembangunan kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing. Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Model Penyelesaian konflik

Namun asa untuk melihat konflik tidak serta merta pandangan pesimis kita terhadap konflik. Walhi Jambi sendiri mencatat model-model penyelesaian konflik tetap diperlukan berangkat dari pengalaman empiris di tengah masyarakat.

Sebelum mencari model yang tepat didalam menata dan menyelesaikan, maka berangkat dari 3 pondasi penting. Pertama melihat pandangan masyarakat itu sendiri melihat konflik. Kedua. Memperhatikan nilai-nilai yang telah diketahui masyarakat. Dan ketiga menggunakan perangkat yang telah dikenal masyarakat.

Cara menyelesaikan Tata Cara menyelesaikan persoalan yang biasa dikenal dengan istilah Bertangkap naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan di tingkat Desa.
Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap naik, bertangga turun didalam upaya menyelesaikan perselisihan, dimana adanya pemangku Desa, pegawai syara' dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang dikenal “Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku, Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga adat.
Iman Sudiyat menyebutkan sanksi berfungi untuk mengembalikan keseimbangan kosmis. Dalam hubungan sosial sanksi terhadap delik adat adalah upaya untuk mengembalikan kohesi sosial yang ditimbulkan oleh pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh anggota komunitas itu. Sebab, jika kesalahan seseorang yang melakukan delik adat dan tidak dilakukan tindakan reaksi dengan cara memberi sanksi kepadanya, maka akan melahirkan saling curiga, saling dendam, saling cemburu dan saling membandingkan, sehingga berdampak pada kerenggangan hubungan antar induvidu dalam komunitas itu. Jika hal ini terjadi, maka situasi dan kondisi ini akan merusak kohesi sosial, kerenggangan sosial dan jika berlarut- larut, dikhawatirkan akan melahirkan benturan terbuka[14]

Tumbuh diatas Tumbuh

Kata-kata “Tumbuh diatas tumbuh” merupakan nilai-nilai filosofis yang agung.

Tanpa dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun cerita yang diterima dari nenek moyang, harus diakui, didalam melihat segala sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran mistis dan rasional. Dikatakan mistis karena ada beberapa jawaban yang masih memerlukan kajian yang mendalam. Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila jawaban diberikan, dapat diterima dengan akal pikiran yang rasional.

Tumbuh diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Tumbuh diatas tumbuh apabila dilihat dari makna harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”. Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.

Pemikiran ini sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non)[15]

Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige causa)

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan

Dengan melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.

Tumbuh diatas tumbuh merupakan salah satu nilai fundamental penting yang masih tetap kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa harus menghakimi dan memberikan putusan yang keliru. Sehingga teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.

Dalam proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Dalam masyarakat Desa Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum mendatar. Hukum mendaki contohnya “mencecak telur, menikam bumi”.

Di Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.

Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”. Dimulai dari ninik mamak kemudian ke Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang dalam rapat adat dan ditentukan siapa yang bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang melaksanakan putusan adat dan menyampaikannya.

Ninik mamak diselesaikan. Setelah putus runding, maka hasil rindungan kemudian Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.
Namun di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.

Dalam penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum mendaki adalah hukum yang putusannya harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap hukum yang harus diselesaikan oleh Depati termasuk kesalahan “mencecak telur. Menikam bumi.

Dengan demikian, maka hukum mendaki sebenarnya adalah hukum yang dijatuhkan oleh Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur. Menikam bumi.

Sedangkan hukum mendatar adalah hukum yang diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah sengketa para pihak dimana, tidak dapat diselesaikan di tingkat keluarga.

Sedangkan hukum menurun adalah hukum yang diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para pihak yang berselisih dapat menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular tau dibiso. Rimau tau di belang”
Apabila dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka tidak dapat dimajukan ke ninik mamak atau kepada Depati. Sebagaimana didalam ujarannya “Berunding sudah tetap. Kato pertamo ditepati. Kato kedua dicari-cari”.

Secara filosofi dapat dilihat dari nilai “tumbuh diatas tumbuh”. Hubungan sebab akibat. Misalnya “meruak daging, merencong tulang”. “Meruak daging” adalah perkelahian yang menyebabkan luka. Sedangkan “merencong tulang” adalah perkelahian yang menyebabkan patah tulang. Para pihak yan bersengketa kemudian berunding untuk menyelesaikannya. Tahap ini kemudian dikenal dengan istilah “akad dulur”.








[1]  Disampaikan dalam Semiloka “Mengembangkan Model Penyelesaian Konflik Sumber daya alam berbasis kearifan lokal”, Walhi Jambi, Jambi, 23 Juni 2014
[2]  Direktur Walhi Jambi
[3]  Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara). Term ini sedikit lebih luas yang telah disampaikan oleh Sawit watch “Pelatihan Negosiasi dalam Konflik Sumber daya alam”, Sawit watch – Scale up, Bogor, 2011, Hal. 1.
[4]  SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 421/Kpts-II/1999 Tanggal 15/06/1999
[5]  Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei 2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800 ribu hektar telah diberikan kepada konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk kawasan yang harus dijaga. Dengan model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi yang telah diberikan kepada PT. REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan dicanangkan untuk masyarakat melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis masyarakat, yang biasa dikenal dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan tanaman rakyat).
[6]  Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan sekitar 406 konsensi tambang (22%) wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan dengan luas 1,092 juta hektar. Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April 2014
[7]  Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah eksisting sampai tahun 2012. Dari rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari berbagai sumber.
[8]  Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi
[9]  Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[10]       Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui tapal batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[11]       Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[12]       Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[13]       Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 30-31 Maret 2008. Dapat juga dilihat di sawit watch online.
[14]        Domikus Rato, Hermeneutika Hukum Adat
57. [15]   Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa  tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor- faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.