KONFLIK
DAN KEARIFAN LOKAL[1]
Musri Nauli[2]
Akhir-akhir ini kita disuguhkan konflik[3]
yang disebabkan “salah urus” pengelolaan sumber daya alam. Konflik yang
disebabkan “salah urus” negara didalam mengelola sumber daya alam meninggalkan
persoalan yang menganga dan jurang yang semakin dalam.
Salah urus di Jambi disebabkan adanya ketimpangan
penguasaan sumber daya alam. Kebijakan negara didalam menetapkan kawasan
merupakan muara pertama dari ketimpangan penguasaan sumber dayalam.
Pertama. Luas kawasan hutan Jambi berdasarkan SK
Menteri Kehutanan dan Perkebunan[4]
adalah 2.179.440 Ha dengan rincian sebagai berikut :
No
|
Fungsi
|
Luas
(Ha)
|
1.
|
Kawasan Hutan Konservasi
|
676.120
|
2.
|
Kawasan Hutan Lindung
|
191.130
|
3.
|
Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT)
|
340.700
|
4.
|
Kawasan Hutan Produksi (HP)
|
971.49
|
Total
|
2.179.440
|
Sumber : Dari Berbagai Sumber (WALHI Jambi, 2013)
Namun penguasaan kawasan hutan sekitar 40 % dari
wilayah Propinsi Jambi ternyata tidak diimbangi dengan pemberian izin kepada
masyarakat. Masyarakat yang telah berada dan sekitar hutan ternyata mengalami
persoalan terhadap “ruang kelola rakyat”.
Rencana “pengusiran masyarakat di Desa
Tanjung Kasri dan Renah Kemumu adalah sekedar fakta yang membuktikan masyarakat
harus berhadapaan dengan negara didalam mengelola kehutanan.
Belum lagi “persoalan Lembah masurai” yang
meninggalkan persoalan antara masyarakat yang menjaga hutan dan masyarakat yang
dituduh merambah.
Selain itu negara tidak mampu menjaga kawasan
hutan. Penurunan luasan tutupan lahan hutan Jambi selama
kurun waktu 10 tahun berkurang sebesar 1 juta hektar. Dari 2,4 juta hektar pada
tahun 1990 menjadi 1,4 juta hektar pada tahun 2000 atau sebesar 29,66 persen
dari total luas wilayah Jambi. Pengurangan tutupan lahan hutan ini terjadi di
dataran rendah dan pegunungan, yaitu 435 ribu hektar. Sisanya terjadi di lahan
rawa gambut.
Belum lagi ketimpangan penguasaan lahan dapat
dilihat 818 ribu hektar sudah ditetapkan untuk HTI[5].
Ketimpangan penguasaan lahan menyebabkan
timbulnya konflik. Catatan Walhi Jambi[8]
menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data
menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan
dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[9].
Data-data konflik inilah kemudian dilakukan
penggambaran secara umum sehingga bisa menggambarkan dan pandangan
multistakeholder untuk membaca konflik.
Dengan data-data yang telah terhimpun, kemudian
dikomparasikan dengan data-data dari APHI dan Dinas Kehutanan, Walhi Jambi
kemudian atas dukungan dari UNDP melakukan pemetaan.
Dari hasil bacaan pemetaan yang telah dilakukan
oleh Walhi Jambi atas dukungan dari UNDP, maka tipologi konflik dapat
diketahui.
Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya
konflik.
Merata di berbagai daerah. Baik dimulai dari hulu
(kabupaten Sarolangun dan kabupaten Merangin) kemudian di daerah tengah
(kabuaten Bungo, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Batanghari) dan di daerah hilir
(Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjabtim dan tanjabbar).
Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan
seperti tapal batas yang belum selesai[10],
PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan
model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[11].
Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5
kabupaten.
Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan
terutama batubara[12].
Kedua. Konflik yang semakin meluas. Hasil
data-data yang berhasil dihimpun oleh Walhi Jambi yang kemudian diolah
bersama-sama dengan UNDP menunjukkan Sarolangun menunjukkan konflik lebih dari
10 konflik disusul Kabupaten Muara jambi dan Kabupaten Batanghari.
Sarolangun juga menunjukkan angka 30 ribu areal
yang berkonflik.
Sarolangun menunjukkan perhatian dari tim
inventarisasi dan resolusi konflik disampaikan beberapa kasus yang berkaitan
dengan perkebunan merupakan kewenangan dari kabupaten. Dinas Perkebunan
mendapatkan perkembangan (up to date) dari Kabupaten.
Dari Karang Mendalo, para pihak sudah
menyampaikan perkembangan dari penyelesaiannya. Begitu juga antara PT. JAW dan
PT EMAL yang belum ada perkembangan berarti.
Sedangkan kasus PT. Asiatic Persada, mulai dapat
diselesaikan verifikasi dan validasi terhadap penempatan SAD. Luas wilayah 2
ribu hektar termasuk kedalam 17 kelompok. Masih ada 65 kk atau 1 kelompok yang
masih belum diselesaikan. Semuanya ditempatkan didalam kawasan izin PT. Jamer
Tulen.
Sedangkan data-data Walhi Jambi menunjukkan
sektor sawit, salah satu menyumbang berbagai konflik di Jambi.
TABEL 1. KERUSUHAN MASSAL DI SEKTOR SUMBER DAYA
ALAM
NO
|
TAHUN
|
KASUS
|
KETERANGAN
|
1
|
November 1998 di
Tungkal Ulu di Kab. Tanjab |
Pembakaran PT. DAS
|
Akibat pembakaran, 1 orang petani dijadikan
tersangka.
|
2
|
April 1999 di Tanah Tumbuh Kab. Bute
|
Pembakaran PT. TEBORA
|
Kota Bungo mencekam karena adanya issu
masyarakat akan melakukan penyerangan. Jumlah data masyarakat yang dijadikan
tersangka tidak tersedia
|
3
|
September 1999 di
Empang Benao Kab. Bangko |
Pembakaran PT. KDA
|
13 orang dijadikan tersangka dengna pasal 170,
363, dan 218 KUIIP
|
4
|
Januari 2000 di
Tanah Tumbuh Kab. Bute |
Pembakaran PT. Jainika Raya
|
13 orang dijadikan tersangka dengan pasal yang
berlapis seperti pasal 170, 187,406,412,164KUHP
|
5
|
Juni 1999 di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Gubernur
|
4 orang mahasiswa sebagai terdakwa dengan pasal
170 KUHP
|
6
|
Juni 2001 di Jambi
|
Pengrusakan Kantor Polda Jambi
|
13 orang mahasiswa sebagai tersangka dan 4
orang kemudian dijadikan terdakwa di pengadilan Negeri Jambi dengan tuduhari
pasal 160, 170, 187 KUHP dan pasal 2 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1951.
|
7
|
September 2002 di Bungo
|
Pengrusakan PTPN VI
|
18 Orang dijadikan tersangka dengan tuduhari
pasal 170 KUHP
|
8
|
Agustus 2006 di Jambi
|
Pengrusakan kantor
BKSA |
2 orang dijadikan tersangka dengan pasal
17, 18 UU No. 9 Tahun 1998 dan Pasai 406 |
9
|
Desember 2005 di
Sungai Penuh Kabupaten Kerinci |
Kerusuhan di Sungai Penuh
|
8 orang dijadikan tersangka dengan 8 berkas
pidana terpisah
|
10
|
Desember 2006 di
Singkut Kabupaten Sarolangun |
Pembakaran PT. DIPP
|
_______________________________
27 orang dijadikan tersangka dengan 5 berkas terpisah |
11
|
Desember 2007 di
Lubuk Madrasah Kabupaten Tebo |
Pembakaran alat-alat berat di PT. WKS
|
9 orang dijadikan tersangka dengan 2 berkas
terpisah.
|
|
|
|
|
Melihat konflik di
sektor perkebunan kelapa sawit, penulis menyoroti arsitektur yang melingkupinya[13].
Arsitektur pertama
adalah pembakaran perusahaan oleh masyarakat. Pembakaran PT. DAS bulan November
1998 di Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung jabung (kemudian setelah daerah
pemekaran bernama Tanjung jabung barat). Kemudian disusul pembakaran PT. Tebora
januari 1999 di Muara Bungo. September 1999 pembakaran PT. KDA di Bangko dan
Januari 2000 pembakaran PT. Jamika Raya di Muara Bungo. Bahkan
pada April 2002 juga terjadi pembakaran PTPN VI di Bungo dan pembakaran PT.
DIPP Desember 2006 di Sarolangun.
Dari data-data yang dipaparkan, maka didapatkan
beberapa peristiwa yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kita. Yang pertama,
bahwa hampir praktis tiap daerah telah terjadi pembakaran. Baik itu di Tanjung
Jabung, Bungo, Bangko dan sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah
terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan
perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap
tahun. Artinya, konflik yang terjadi tidak diantisipasi di daerah lain. Yang
ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif
dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Artinya. Pemerintah setelah
reformasi tidak berusaha menyelesaikan sengketa tanah dan cenderung membiarkan
sehingga terjadi terus menerus antara daerah satu dengan daerah lain. Dengan
demikian, daerah-daerah yang telah terjadi pembakaran perusahaan tidak
diselesaikan dngan masyarakat sekitar pembangunan tersebut.
Arsitektur yang kedua adalah pengalihan issu.
Penulis sengaja memberikan definisi ini, karena ada kecendrungan secara
sistematis untuk mengalihkan issu dari semula persoalan tanah menjadi persoalan
kriminal. Yang penulis maksudkan adalah persoalan tanah antara pemilik tanah
dengan perusahaan menjadi persoalan kriminal dan cenderung menggunakan hukum
untuk dijadikan sebagai alat untuk membungkam perjuangan masyarakat.
Masyarakatpun tersita pemikiran dan energi untuk mengurusi persoalan yang
berkaitan dengan hukum. Peristiwa pembakaran perusahaan perkebunan kelapa sawit
kemudian mengakibatkan masyarakat tidak lagi mau memperjuangkan kepntingan
semula. Selain karena sudah tersitanya kasus semula menjadi kasus hukum, teror
dan ketakutan proses hukum akan terjadi lagi apabila mereka masih mau
memperjuangkan kepentingannya membuat masyarakat. Cara-cara ini kemudian
effektif dan berhasil untuk menggeser itu.
Arsitektur ketiga adalah kriminalisasi terhadap
masyarakat yang memperjuangkan tanahnya. Cara-cara menggunakan hukum kepada
para pejuang dan masyarakat lebih sering digunakan sehingga konsentrasi
masyarakat untuk memperjuangkan tanahnya kemudian berkonsentrasi kepada
persoalan persidangan dan berbagai hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Dalam
putusan terhadap terdakwa pembakaran PT. KDA, PT. Jamika Raya dan PT. DIPP,
semua pelaku diterapkan pasal 170 KUHP. Namun dalam menjatuhkan putusannya, sudut
pandang hakim berbeda. Apabila dalam didalam pembakaran PT. Jamika dan PT. KDA,
pelaku haruslah dibuktikan kesalahannya. Apabila pelaku tidak melakukan
perbuatan, maka pelaku haruslah dibebaskan. Sedangkan apabila pelaku melakukan
perbuatan maka pelaku haruslah dijatuhi hukuman. Namun berbeda dengan terdakwa
dalam pembakaran PT. DIPP. Pengadilan Negeri Bangko ternyata melihat dari sudut
pandang yang berbeda. Walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan sebagaimana
diatur didalam pasal 170 KUHP, namun pelaku mempunyai niat untuk melakukan dan
tidak selesai karena bukan kehendak pelaku. Dengan demikian maka pelaku dapat
dikenakan perbuatan percobaan sebagaimana diatur didalam pasal 53 KUHP.
Selain itu juga, terhadap masyarakat yang
memperjuangkan tanahnya bisa saja dikenakan berbagai ketentuan lain seperti
tuduhan membawa senjata tajam, penggelapan dan berbagai skenario untuk menjerat
masyarakat dan mengkriminalisasi pelaku.
Selain daripada arsitektur yang telah dijelaskan
sebelumnya, arsitektur selanjutnya adalah pendudukan lahan dengan mengambil
alih tanah yang kemudian tidak dibangun oleh perusahaan perkebunanan kelapa
sawit. Cara-cara ini yang paling banyak dijumpai. Faktor yang mempengaruhi
digunakan cara ini antara lain. Pertama, perundingan antara masyarakat pemilik
tanah dengan pihak perusahaan berlangsung alot dan tidak tercapai kesepakatan.
Masyarakatpun jenuh dan mengambil kembali tanahnya. Kedua. Pihak perusahaan
menelantarkan perkebunan sawit. Baik karena memang ditelantarkan (pergantian
manajement atau pergantian saham) juga karena perusahaan tidak terlibat lagi
dalam pembangunan kelapa sawit. Baik karena sudah dicairkannya kredit perbankan
ataupaun hanya mengejar komoditas kayu semata dalam tahap land clearing.
Cara-cara ini yang masih trend dan digunakan pemilik tanah yang tanahnya
dijadikan perkebunan kelapa sawit.
Model Penyelesaian konflik
Namun asa untuk melihat konflik tidak serta merta
pandangan pesimis kita terhadap konflik. Walhi Jambi sendiri mencatat
model-model penyelesaian konflik tetap diperlukan berangkat dari pengalaman
empiris di tengah masyarakat.
Sebelum mencari model yang tepat didalam menata
dan menyelesaikan, maka berangkat dari 3 pondasi penting. Pertama melihat
pandangan masyarakat itu sendiri melihat konflik. Kedua. Memperhatikan
nilai-nilai yang telah diketahui masyarakat. Dan ketiga menggunakan perangkat
yang telah dikenal masyarakat.
Cara menyelesaikan
Tata Cara menyelesaikan persoalan yang biasa dikenal dengan istilah Bertangkap
naik, Berjenjang turun. Setiap proses dimulai dari Tuo Tengganai. Barulah diselesaikan
di tingkat Desa.
Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga
Tali Sepilin. Merupakan mekanisme dan tahap “betangkap naik, bertangga turun didalam
upaya menyelesaikan perselisihan, dimana adanya pemangku Desa, pegawai syara'
dan lembaga adat. Di Margo Sungai Tenang dikenal “Yang berhak untuk memutih
menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak,
diduri jangan menginjek, menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Hidup bersuku,
Mati Baindu, Suku Tengganai, Menti, Kadus, Kepala Desa/Kepala Adat, Lembaga
adat.
Iman Sudiyat menyebutkan sanksi berfungi untuk
mengembalikan keseimbangan kosmis. Dalam hubungan sosial sanksi terhadap delik
adat adalah upaya untuk mengembalikan kohesi sosial yang ditimbulkan oleh
pelanggaran atau kesalahan yang dilakukan oleh anggota komunitas itu. Sebab,
jika kesalahan seseorang yang melakukan delik adat dan tidak dilakukan tindakan
reaksi dengan cara memberi sanksi kepadanya, maka akan melahirkan saling curiga,
saling dendam, saling cemburu dan saling membandingkan, sehingga berdampak pada
kerenggangan hubungan antar induvidu dalam komunitas itu. Jika hal ini terjadi,
maka situasi dan kondisi ini akan merusak kohesi sosial, kerenggangan sosial
dan jika berlarut- larut, dikhawatirkan akan melahirkan benturan terbuka[14]
Tumbuh diatas Tumbuh
Kata-kata “Tumbuh diatas tumbuh” merupakan
nilai-nilai filosofis yang agung.
Tanpa dipengaruhi oleh hikayat, mitos ataupun
cerita yang diterima dari nenek moyang, harus diakui, didalam melihat segala
sesuatu dilatar belakang dengna pemikiran mistis dan rasional. Dikatakan mistis
karena ada beberapa jawaban yang masih memerlukan kajian yang mendalam.
Sedangkan apabila dikatakan rasional apabila jawaban diberikan, dapat diterima
dengan akal pikiran yang rasional.
Tumbuh diatas tumbuh adalah nilai filosofis yang
fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground
norm) dalam pemikiran Hans Kelsen yang kemudian dapat ditarik menjadi
norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.
Tumbuh diatas tumbuh apabila dilihat dari makna
harfiahnya berarti “setiap persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu
terjadi”. Sebagai contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus
didengarkan dari keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum
dijatuhkan pidana adat (delik adat) seperti “menguak daging. Merencong
tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu terjadi.
Pemikiran ini sebenarnya berangkat dari teori
yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab
akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio
sine qua non)[15]
Teori conditio sine qua non disebut juga teori
equivalen (equivalent theorie), karena tiap factor yang tidak dapat dhilangkan
diberi nilai sama dan sederajat. Maka teori Von Buri ini menerima beberapa
sebab (meervoudige causa)
Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs
theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara
syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan
Dengan melihat teori yang disampaikan oleh Von
Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh diatas tumbuh” berangkat dari
setiap perbuatan yang ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Tumbuh diatas tumbuh merupakan salah satu nilai
fundamental penting yang masih tetap kukuh dipertahankan masyarakat. Berangkat
dari Tumbuh diatas tumbuh, mereka dapat menyelesaikan masalah yang timbul tanpa
harus menghakimi dan memberikan putusan yang keliru. Sehingga teori von Buri
ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat digunakan
masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Dalam proses penyelesaian dikenal dengan istilah
“jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga turun. Dalam masyarakat Desa
Semambu dikenal dengan hukum mendaki, hukum menurun dan hukum mendatar.
Hukum mendaki contohnya “mencecak telur, menikam bumi”.
Di Desa Pemayungan dimulai dari saksi melaporkan
kepada Kepala Dusun dan kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang
mengumpulkan anggota lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim
ulama dan cerdik pandai. Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa
melaksanakan putusan adat.
Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh
diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan
bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”. Dimulai dari ninik mamak
kemudian ke Mangku. Mangku kemudian ke Depati. Depati kemudian mengundang dalam
rapat adat dan ditentukan siapa yang bersalah dan sanksi diberikan. Depati yang
melaksanakan putusan adat dan menyampaikannya.
Ninik mamak diselesaikan. Setelah putus runding,
maka hasil rindungan kemudian Barulah keputusan diserahkan kepada Kepala Desa.
Namun di Desa Suo-suo setiap persoalan dapat
diputuskan dalam tingkatan ninik mamak.
Dalam penjelasan lain disebutkan, bahwa hukum
mendaki adalah hukum yang putusannya harus diselesaikan oleh Depati. Terhadap
hukum yang harus diselesaikan oleh Depati termasuk kesalahan “mencecak telur.
Menikam bumi.
Dengan demikian, maka hukum mendaki sebenarnya
adalah hukum yang dijatuhkan oleh Depati. Bukan kategori dari “mencecak telur.
Menikam bumi.
Sedangkan hukum mendatar adalah hukum yang
diputuskan oleh ninik mamak. Hukum ini adalah sengketa para pihak dimana, tidak
dapat diselesaikan di tingkat keluarga.
Sedangkan hukum menurun adalah hukum yang
diputuskan cukup kedua belah pihak semata. Para pihak yang berselisih dapat
menyelesaikan sendiri. Seperti dalam ujaran “Ular tau dibiso. Rimau tau di
belang”
Apabila dapat diselesaikan oleh kedua belah, maka
tidak dapat dimajukan ke ninik mamak atau kepada Depati. Sebagaimana didalam
ujarannya “Berunding sudah tetap. Kato pertamo ditepati. Kato kedua
dicari-cari”.
Secara filosofi dapat dilihat dari nilai “tumbuh
diatas tumbuh”. Hubungan sebab akibat. Misalnya “meruak daging, merencong
tulang”. “Meruak daging” adalah perkelahian yang menyebabkan luka. Sedangkan
“merencong tulang” adalah perkelahian yang menyebabkan patah tulang. Para pihak
yan bersengketa kemudian berunding untuk menyelesaikannya. Tahap ini kemudian
dikenal dengan istilah “akad dulur”.
[1] Disampaikan dalam Semiloka “Mengembangkan
Model Penyelesaian Konflik Sumber daya alam berbasis kearifan lokal”, Walhi
Jambi, Jambi, 23 Juni 2014
[2] Direktur Walhi Jambi
[3] Dalam term terminologi konflik, penulis
menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua
belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara
masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara).
Term ini sedikit lebih luas yang telah disampaikan oleh Sawit watch “Pelatihan
Negosiasi dalam Konflik Sumber daya alam”, Sawit watch – Scale up, Bogor, 2011,
Hal. 1.
[4] SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
421/Kpts-II/1999 Tanggal 15/06/1999
[5] Dalam diskusi konflik di Walh Jambi, 5 Mei
2014, Ir. Irmansyah, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Jambi menyebutkan
menyebutkan dari kawasan hutan 2,1 juta hektar, 1,2 juta telah ditetapkan. 800
ribu hektar telah diberikan kepada konsensi perusahaan. Sedangkan sisanya untuk
kawasan yang harus dijaga. Dengan model 300 ribu hektar untuk kawasan restorasi
yang telah diberikan kepada PT. REKI seluas 46 ribu hektar. Dan 400 ribu akan
dicanangkan untuk masyarakat melalui model PHBM (Pengelolaan hutan berbasis
masyarakat, yang biasa dikenal dengna model seperti hutan kemasyarakatan, hutan
desa dan hutan tanaman rakyat).
[6] Jaringan Advokasi Anti Tambang menyebutkan
sekitar 406 konsensi tambang (22%) wilayah Jambi telah diberi konsensi pertambangan
dengan luas 1,092 juta hektar. Diskusi Tambang, Walhi Jambi, Jambi, 5 April
2014
[7] Perkebunan Besar Kelapa Sawit yang sudah
eksisting sampai tahun 2012. Dari rencana sejuta hektar sawit. Data diolah dari
berbagai sumber.
[8] Catatan ini bersumber dari kliping media massa
lokal sejak tahun 1999 – 2012, Walhi Jambi
[9] Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi
Jambi, tahun 2010
[10] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi mengakui
tapal batas yang belum selesai. Masih sekitar 75% dari areal kawasan hutan.
[11] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei
2014
[12] Data-data menunjukkan, sektor
pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300
milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang
dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara.
Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
[13] Dimuat di Harian Jambi Ekspress, 30-31
Maret 2008. Dapat juga dilihat di sawit watch online.
[14] Domikus Rato, Hermeneutika Hukum
Adat
57. [15] Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun
1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu
akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor- faktor
yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat). Tiap faktor tidak
diberi nilai, jika dapat dihilangkan dari rangkaian faktor-faktor penyebab
serta tidak ada hubungan kausal dengan akibat yang timbul. Tiap factor diberi
nilai, jika tidak dapat dihilangkan (niet weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor
penyebab serta memiliki hubungan kausal dengan timbulnya akibat.