04 Mei 2016

opini musri nauli : MAKNA SENSUS EKONOMI 2016 DI JAMBI



Dalam suasana “Sensus Ekonomi 2016”, saya mengotak-atik data-data lama. Selain ingin mengetahui perkembangan terkini, juga didasarkan rasa penasaran setelah beberapa waktu 2 bulan terakhir saya mobile ke berbagai daerah.
Kekagetan saya juga didasarkan “semakin” terbukanya berbagai tempat yang sebelumnya disebutkan sebagai daerah penyangga berbagai taman nasional (Jambi mempunyai 4 taman nasional. Dari dataran tinggi yaitu Taman Nasional Kerinci Sebelat, tataran rendah seperti Taman Nasional Bukit 12 dan Taman Nasional Bukit 30 serta di areal Gambut yaitu Taman Nasional Berbak). Rasa penasaran juga ditambahnya semakin sering diberitakan daerah-daerah yang sebelumnya tidak pernah mengalami banjir, namun sering kemudian dihinggapi banjir.

Dalam “pengembaraan” menggali data-data, sumber kredibel merupakan salah satu syarat. Sumber Pemerintah salah rujukan yang menjadi tulisan ini dapat menggambarkan “kekuatan” dari data. Selain itu juga, berbagai riset ataupun hasil pemaparan dari organisasi yang peduli dengan sector SDA juga menjadi pembanding sekaligus “menjadi pengunci” data dari Pemerintah. Sehingga hasil yang diharapkan dapat memotret secara utuh tulisan ini.

Setelah saya “mengembara” dari lapangan dan kemudian melanjutkan “mengembara” dari dunia data, Saya kemudian menemukan angka cukup mengerikan.

Dengan jumlah penduduk Jambi 1,06 juta (1971), melonjak terus mencapai 2,02 juta jiwa (1990). Terus naik mencapai 2,4 juta jiwa (2000) dan mencapai 3,09 juta jiwa (2013) dan mencapai 3,3 juta jiwa (2015). BPS menyebutkan lonjakan penduduk hingga 3 x lipat selama 39 tahun.

Angka laju penduduk selain asset pembangunan juga “berpotensi” menimbulkan morfologi penduduk yang justru menimbulkan ledakan. BKKBN sendiri sudah mengingatkan dengan angka pertumbuhan penduduk Indonesia mencapai 1,49 %/tahun, maka penduduk Indonesia mencapai hampir setengah Milyar penduduk (2050).

Tingkat pertumbuhan penduduk ternyata tidak diimbangi dengan hasil produksi pertanian. Dari hasil padi 607 ribu ton (1993) berkurang tinggal 541 ribu ha (2015).

Angka terbalik juga terjadi dengan semakin berkurangnya luas sawah. 120 ribu ha (2003) menurun menjadi 113 ribu ha (2013). Angka ini belum ditambah 12 ribu ha yang dikonversi ke lahan tambang emas.

Berkurangnya luas sawah disebabkan semakin bertambahnya luas kebun sawit yang sudah mencapai 657 ribu ha (2013). Walaupun BPN sendiri sudah mensinyalir mencapai 1,2 juta ha. namun baru 487 ribu ha yang sudah menjadi HGU.

Sawit juga menggerus tanaman karet dari 450 ribu ha (2003) berkurang menjadi 384 ribu ha (2013).

Angka ini belum seberapa ditambah dengan luas pertambangan batubara yang mencapai 1,09 juta ha. Ditambah dengan “kerumitan” kawasan hutan dengan luas 2,1 juta ha yang sulit diakses dan digunakan untuk pertanian. Sehingga praktis, areal pertambangan dan kawasan hutan yang tidak bisa dijadikan lahan pertanian akan mengurangi areal pertanian dari luas wilayah Jambi daratan 4,8 juta ha.

Dengan kalkulasi sederhana 2,1 juta ha kawasan hutan ditambah 1,09 juta areal pertambangan batubara dan 1,2 juta ha sawit, praktis tinggal menyisakan 800 ribu ha yang dapat digunakan.

Padahal dengan kalkulasi rumus konsumsi beras/orang = 0,5 kg/tahun atau (menurut Menteri Pertanian, 2010) konsumsi beras perkapita/ton = 140 kg, maka konsumsi beras yang harus dipenuhi dari Jambi 0,46 juta ton.

Dengan kalkulasi penduduk Jambi 3,3 juta jiwa dengan kalkulasi areal untuk pertanian tinggal 800 ribu dan produksi padi cuma 541 ribu ton/tahun, maka ancaman terhadap pangan sudah didepan mata.

Sehingga “kekayaan” sumber daya alam yang sering “disuarakan” pemangku kepentingan dengan menyebutkan potensi kekayaan Jambi tidak relevan untuk memenuhi pangan rakyat Jambi.