04 Mei 2016

opini musri nauli : LOGIKA SESAT SANG PEMERKOSA





Akhir-akhir ini, kita dikejutkan “mewabahnya” kejahatan kesusilaan (saya menggunakan istilah Hukum menggunakan kata “kesusilaan’ untuk merangkum seluruh kejahatan terhadap kesusilan. Kejahatan kesusilaan juga termasuk istilah “pemerkosaan” yang marak terjadi) yang semakin marak di sekitar kita.

Sebagai praktisi hukum yang menggeluti dunia hukum, berbagai argumentasi dan “alasan” pemerkosa melakukan perbuatan “tidak dapat dibenarkan” secara hukum. Logika yang hendak dibangun juga bertentangan dengan logika manusia pada umumnya (akal sehat). Untuk memudahkan pembahasan logika, saya kemudian mencoba menganalisis sehingga kita menjadi paham terhadap kasus yang terjadi.

PAKAIAN

Dengan alasan pakaian yang dikenakan oleh korban, maka menimbulkan rangsangan kepada pelaku. Pakaian yang dikenakan oleh korban bisa dideskripsikan menampakkan aurat tubuh, seksi dan menimbulkan birahi kepada pelaku.

Apabila logika pakaian yang dikenakan korban menimbulkan birahi kepada pelaku untuk melakukan kejahatan, maka kejahatan “kesusilaan” tidak terjadi di Negara yang menutup “aurat” seluruh tubuhnya”. Berbagai pemberitaan di Negara-negara timur tengah justru menampakkan kejahatan yang tinggi terhadap korban perempuan. Termasuk “perlakuan sadis” kepada TKW yang bekerja di rumah tangga.

Atau sebaliknya. Negara-negara Eropa yang tidak mengatur tentang berpakaian, penduduknya “sering berpakaian seksi” karena cuaca musim panas justru “lebih sedikit” kejahatan kesusilaan dibandingkan dengan berbagai Negara timur.

Dalam terminologi logika, cara ini biasa disebut dengan Argumentum ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika yang bertentangan.

Apa relevansi antara “perbuatan” pelaku dengan pakaian yang dikenakan “sang korban”.

Didalam pembuktian hukum pidana, apa hubungan dari “perbuatan sang korban” yang menyebabkan “sang pelaku” berbuat untuk “kejahatan kesusilaan” ?

Apakah karena “sang korban” berpakaian sehingga “menyebabkan” pelaku “berbuat “kejahatan” (hubungan sebab akibat/causalitet). Darimana nalar (logika) sehingga dengan “berpakaian” dari sang korban kemudian “menyebabkan terjadinya kejahatan kesusilaan.

Ya. Logika “sang pelaku” tidak dapat dibenarkan didalam logika pada umumnya akal sehat (common sense) dari masyarakat lain.

MABUK

Alasan mabuk sering digunakan sebagai alasan untuk “melepaskan tanggungjawab” dari sang pelaku.

Dalam terminologi hukum pidana, istilah “mabuk” atau “kentara” mabuk didefinisikan secara jelas oleh R. Soesilo didalam bukunya “KUHP serta komentar-komentar”. Sedangkan perbuatan pidana mengenai mabuk dapat ditemukan didalam pasal 492 KUHP. Perbuatan seperti “merintangi jalan umum, mengganggu ketertiban, mengancam keamanan orang lain” merupakan tindak pidana dengan pidana kurungan.

R. Soesilo bahkan menyebutkan definisi mabuk dengan “kentara mabuk”. Mabuk berlainan dengan “kentara mabuk” seperti yang juga diatur dalam Pasal 536 KUHP. Mabuk berarti kebanyakan minum minuman keras sehingga tidak dapat menguasai lagi salah satu panca indera atau anggota badannya. Sedangkan kentara mabuk berarti mabuk sekali sehingga kelihatan jelas dan menimbulkan gaduh pada sekitarnya.

Dalam ilmu kesehatan, mabuk diartikan sebagai “kehilangan kesadaran”, kehilangan control terhadap perbuatannya.  Sang Pemabuk kemudian tidak mampu berjalan dengan baik (sempoyongan), jalan tertatih-tatih sehingg harus dipapah.

Sehingga KUHP dengan tegas memisahkan definisi antara mabuk dengan “kentara mabuk”. Mabuk menyebabkan ‘sang pelaku” tidak dapat melakukan perbuatan “Kejahatan kesusilaan” yang memerlukan energi besar yang tidak dapat dilakukan orang yang sedang mabuk.

Selain itu juga, lagi-lagi, apabila “mabuk atau kentara mabuk” menyebabkan terjadinya kejahatan kesusilaan, maka Negara-negara Eropa dipastikan “sering terjadinya “kejahatan kesusilaan”.

Padahal fakta-fakta yang sering disampaikan oleh berbagai media massa, baik dalam pemberitaan dunia maupun di berbagai daerah di Indonesia, kejahataan kesusilaan justru juga sering dilakukan oleh pelaku yang berlatar belakang alim, pendiam, bahkan sering tidak diduga oleh masyarakat sekitarnya.

Sehingga tidak salah kemudian maka kita berkepentingan untuk menangkis logika yang disampaikan oleh pelaku. Kesesatan ini akan mudah ditandai dari kepentingan jangka pendek (vested interested).

Tinggal kita dengan jernih melihat bagaimana “logika” yang telah disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini justru menjadi kita tetap merawat cara berfikir yang sehat didalam melawan sikap “pembiaran logika “sang pelaku.