Akhir-akhir
ini, kita dikejutkan “mewabahnya” kejahatan kesusilaan (saya menggunakan istilah Hukum menggunakan kata “kesusilaan’ untuk
merangkum seluruh kejahatan terhadap kesusilan. Kejahatan kesusilaan juga
termasuk istilah “pemerkosaan” yang marak terjadi) yang semakin marak di
sekitar kita.
Sebagai
praktisi hukum yang menggeluti dunia hukum, berbagai argumentasi dan “alasan”
pemerkosa melakukan perbuatan “tidak dapat dibenarkan” secara hukum. Logika
yang hendak dibangun juga bertentangan dengan logika manusia pada umumnya (akal
sehat). Untuk memudahkan pembahasan logika, saya kemudian mencoba menganalisis
sehingga kita menjadi paham terhadap kasus yang terjadi.
PAKAIAN
Dengan
alasan pakaian yang dikenakan oleh korban, maka menimbulkan rangsangan kepada
pelaku. Pakaian yang dikenakan oleh korban bisa dideskripsikan menampakkan
aurat tubuh, seksi dan menimbulkan birahi kepada pelaku.
Apabila
logika pakaian yang dikenakan korban menimbulkan birahi kepada pelaku untuk
melakukan kejahatan, maka kejahatan “kesusilaan” tidak terjadi di Negara yang
menutup “aurat” seluruh tubuhnya”. Berbagai pemberitaan di Negara-negara timur
tengah justru menampakkan kejahatan yang tinggi terhadap korban perempuan. Termasuk
“perlakuan sadis” kepada TKW yang bekerja di rumah tangga.
Atau
sebaliknya. Negara-negara Eropa yang tidak mengatur tentang berpakaian,
penduduknya “sering berpakaian seksi” karena cuaca musim panas justru “lebih
sedikit” kejahatan kesusilaan dibandingkan dengan berbagai Negara timur.
Dalam terminologi logika,
cara ini biasa disebut dengan Argumentum
ad hominen. Argumentasi yang disusun ditangkis dengan menyodorkan logika
yang bertentangan.
Apa relevansi antara
“perbuatan” pelaku dengan pakaian yang dikenakan “sang korban”.
Didalam pembuktian hukum
pidana, apa hubungan dari “perbuatan sang korban” yang menyebabkan “sang
pelaku” berbuat untuk “kejahatan kesusilaan” ?
Apakah karena “sang korban”
berpakaian sehingga “menyebabkan” pelaku “berbuat “kejahatan” (hubungan sebab
akibat/causalitet). Darimana nalar (logika) sehingga dengan “berpakaian” dari
sang korban kemudian “menyebabkan terjadinya kejahatan kesusilaan.
Ya. Logika “sang pelaku” tidak dapat dibenarkan
didalam logika pada umumnya akal sehat (common sense) dari masyarakat lain.
MABUK
Alasan
mabuk sering digunakan sebagai alasan untuk “melepaskan tanggungjawab” dari
sang pelaku.
Dalam
terminologi hukum pidana, istilah “mabuk” atau “kentara” mabuk didefinisikan
secara jelas oleh R. Soesilo didalam bukunya “KUHP serta komentar-komentar”. Sedangkan perbuatan pidana mengenai
mabuk dapat ditemukan didalam pasal 492 KUHP. Perbuatan seperti “merintangi
jalan umum, mengganggu ketertiban, mengancam keamanan orang lain” merupakan
tindak pidana dengan pidana kurungan.
R.
Soesilo bahkan menyebutkan definisi mabuk dengan “kentara mabuk”. Mabuk berlainan
dengan “kentara mabuk” seperti yang juga diatur dalam Pasal 536 KUHP. Mabuk
berarti kebanyakan minum minuman keras sehingga tidak dapat menguasai lagi
salah satu panca indera atau anggota badannya. Sedangkan kentara mabuk berarti
mabuk sekali sehingga kelihatan jelas dan menimbulkan gaduh pada sekitarnya.
Dalam ilmu
kesehatan, mabuk diartikan sebagai “kehilangan kesadaran”, kehilangan control terhadap
perbuatannya. Sang Pemabuk kemudian
tidak mampu berjalan dengan baik (sempoyongan), jalan tertatih-tatih sehingg
harus dipapah.
Sehingga KUHP
dengan tegas memisahkan definisi antara mabuk dengan “kentara mabuk”. Mabuk menyebabkan
‘sang pelaku” tidak dapat melakukan perbuatan “Kejahatan kesusilaan” yang
memerlukan energi besar yang tidak dapat dilakukan orang yang sedang mabuk.
Selain
itu juga, lagi-lagi, apabila “mabuk
atau kentara mabuk” menyebabkan terjadinya kejahatan kesusilaan, maka Negara-negara
Eropa dipastikan “sering terjadinya “kejahatan kesusilaan”.
Padahal
fakta-fakta yang sering disampaikan oleh berbagai media massa, baik dalam
pemberitaan dunia maupun di berbagai daerah di Indonesia, kejahataan kesusilaan
justru juga sering dilakukan oleh pelaku yang berlatar belakang alim, pendiam, bahkan
sering tidak diduga oleh masyarakat sekitarnya.
Sehingga
tidak salah kemudian maka kita berkepentingan untuk menangkis
logika yang disampaikan oleh pelaku. Kesesatan ini akan mudah ditandai dari
kepentingan jangka pendek (vested interested).
Tinggal kita dengan jernih melihat bagaimana
“logika” yang telah disusun kemudian ditangkis dengan “kesesatan”. Cara ini
justru menjadi kita tetap merawat cara berfikir yang sehat didalam melawan
sikap “pembiaran logika “sang pelaku.
Baca : Logika dan Argumentasi