Konsentrasi
public terhadap Ahok memasuki babak baru. Setelah setahun lebih, issu RS Sumber
Waras, KPK kemudian “menentukan” sikap terhadap kasus ini. KPK sudah menyatakan
“tidak ada unsur perbuatan melawan hukum”.
Sikap
ini merupakan rangkaian sikap sebelumnya, yang menyatakan dengna tegas, tidak
ada unsur “niat jahat (mens rea)” dari pembelian tanah untuk RS Sumber Waras.
Konsentrasi
public kemudian beralih untuk melihat bagaimana hasil audit investigasi dari
BPK yang telah menyatakan “adanya perbuatan melawan hukum” didalam pembelian
tanah. Dengan selisih mencapai Rp 190 milyar, Ahok kemudian dinyatakan
“korupsi” dan hasil audit BPK kemudian dapat digunakan oleh KPK untuk memeriksa
Ahok.
Gonjang
ganjing politik memasuki prahara baru. Setelah gagal menyeret Ahok ke KPK,
konsentrasi public kemudian bergeser ke BPK. BPK kemudian mulai “diragukan”
integritas dan independensinya didalam melihat melakukan “audit” terhadap issu
RS Sumber Waras.
Sebelum
melakukan penilaian terhadap integritas dan independensi BPK, ada baiknya kita
melihat secara utuh terhadap kekuatan hasil audit investigasi BPK terhadap issu
RS Sumber Waras.
Pertama.
Didalam hukum acara pidana, alat bukti terdiri dari saksi, saksi ahli, surat,
petunjuk dan keterangan tersangka. Lalu dimana posisi terhadap hasil audit BPK
?
Didalam
UU BPK, secara tegas dinyatakan “BPK adalah lembaga Negara” yang melakukan
audit terhadap keuangan Negara. Tentu saja BPK dapat diminta untuk menjadi ahli
didalam penghitungan kerugian Negara baik melalui pemeriksaan rutin maupun
pemeriksaan tertentu seperti audit investigasi.
BPK
dapat melakukan penghitungan kerugian Negara. Namun BPK sama sekali tidak
berwenang untuk menentukan apakah “kerugian Negara” dikualifikasikan sebagai
perbuatan pidana, perbuatan perdata ataupun masalah administrasi semata.
Penyidik
kemudian melakukan pemeriksaan untuk menentukan ranah apa yang tepat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku.
Apabila
hasil audit dari BPK kemudian didukung oleh alat bukti lain kemudian dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana, maka penyidik kemudian meneruskannya ke
tingkat penyidikan. Namun apabila ditemukan adanya “perbuatan melawan hukum”
namun masuk kedalam ranah perbuatan perdata, maka penyidik dapat
merekomendasikan Negara untuk “menggugat perdata” kepada tergugat melalui
gugatan perdata biasa. Sedangkan apabila ditemukan “kerugian Negara” dalam
ranah administrasi, misalnya “kelebihan bayar”, atau tertunggak pembayaran,
maka didalam UU Korupsi sendiri memberikan kesempatan kepada pelaku untuk
menyelesaikan secara administrasi.
Makna
ini sudah ditegaskan didalam UU Korupsi. Namun heroic dan “kebablasan” memaknai
UU Korupsi sehingga gegap gempita terhadap UU Korupsi lebih menitikberatkan terhadap
penegakkan hukum di ranah pidana.
Nah.
Kembali terhadap “hasil audit BPK”. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya,
penyidik mempunyai kewenangna untuk melakukan penelusuran lebih dalam (dalam
tingkat penyidikan), apakah hasil audit BPK kemudian didukung oleh alat bukti
lain kemudian dapat menetapkan hasil audit ini sebagai salah satu alat bukti
untuk menetapkan tersangka ?
Nah
melihat kekuatan pembuktian, maka terhadap hasil audit BPK kemudian harus
diletakkan pada alat bukti “ahli” dan surat”. Keterangan ahli dari BPK untuk
menghitung kerugian Negara kemudian harus didukung dengan alat bukti lain,
seperti saksi, petunjuk dan keterangan tersangka.
Dalam
peristiwa ini, KPK kemudian melakukan pendalaman terhadap hasil investigasi
BPK. Namun kemudian KPK tidak terpatok terhadap hasil audit investigasi dari
BPK. Dengan dokumen yang disodorkan oleh Pemprov DKI, KPK kemudian melakukan
penilaian terhdap dokumen dan hasil audit BPK.
Tentu
saja dengan penilaian dokumen tahun 2012 oleh BPK dengan dokumen yang
dipaparkan oleh Ditjen Pajak Jakarta tahun 2014 akan ditemukan jauhnya selisih
harga. Dalam hal ini Pemprov DKI melakukan pembayaran “berdasarkan” penetapan
NJOP tahun 2014. Sehingga pembayaran yang dilakukan Pemprov “dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum” dan ini yang disampaikan oleh KPK. “tidak
ada unsur “niat jahat (mens rea)”, sebagai salah satu unsur penting untuk
melihat rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Lalu
bagaimana dengna kekuatan dari “hasil audit BPK”.
Nah
melihat dari kekuatan alat bukti didalam hukum acara pidana, maka hasil audit
BPK kemudian dikategorikan sebagai “keterangan ahli” dan surat.
Didalam
melakukan penilaian “keterangan ahli”, penyidik dapat menghadirkan saksi ahli
lain untuk memperkuat ataupun membantah dari keterangan ahli dari BPK.
Dalam
peristiwa ini, berdasarkan dokumen yang ditemukan KPK, ketika BPK kemudian
melakukan penilaian untuk menghitung “kerugian Negara” tidak sesuai dengna
kondisi terkini (tidak up to date). Datanya tidak sesuai dengan data ketika
Pemprov DKI melakukan pembayaran.
Lalu,
mengapa KPK harus “tunduk” dengan hasil penghitungan yang tidak sesuai oleh BPK
dengan NJOP yang dijadikan dasar pembayaran Pemprov DKI. Apakah KPK hendak
memecahkan rekor “tidak pernah kalah dalam putusan pidana pelaku” dan kemudian
tetap ngotot untuk meneruskan hasil audit BPK yang belum didukung oleh alat
bukti yang lain.
Dari
pendekatan inilah, maka KPK tentu saja “berhitung” dan tidak mau ceroboh untuk
memaksa kasus ini diteruskan ke pengadilan.
Demikian
juga apabila hasil audit BPK dikategorikan sebagai “surat” maka KPK kemudian
menemukan dokumen pembayaran dari Pemprov DKI sesuai dengan NJOP tahun 2014.
Lalu apakah salah “pembayaran” sesuai dengan NJOP dan kemudian dikategorikan
sebagai “unsur melawan hukum” sebagai unsur didalam tindak pidana korupsi ?
Dari
ranah inilah, KPK masih tetap “waras” sehingga menemukan dokumen yang dibawa
oleh Pemprov DKI sekaligus membantah “dokumen”
yang ditemukan BPK yang menjadi dasar untuk melakukan penghitungan
audit.
Tinggal
kita bisa menentukan dan menelusuri bagaimana BPK melakukan “penghitungan”
sehingga menentukan kerugian Negara. Apakah “pengakuan” BPK mendasarkan kepada
NJOP tahun 2012 atau sudah mengetahui NJOP tahun 2014 namun mengabaikannya.
Sikap
ini penting untuk kita melihat selain berdampak secara hukum juga akan melihat
integritas dan independensi.
Tanpa
mempengaruhi integritas BPK, tugas kita tetap menyelamatkan BPK sebagai institu
Negara sebagaimana diatur didalam UU. Kita akan tetap membutuhkan lembaga
Negara didalam melakukan “control” terhadap pengelolaan keuangna Negara. Namun
kita harus bisa “membersihkan” dari orang-orang yang menggunakan BPK sebagai
“kuda troya” panggung politik demi ambisinya. BPK harus “dibereskan” dari
acrobat politik yang “menghantam” lawan-lawan politik. BPK harus independent
dan integritas.
Tinggal
kita tunggu kiprah DPR untuk melakukan pembongkaran (investigasi) untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Sekaligus untuk menyelamatkan krisis yang
tengah mendera. Di tengah “ketidakpercayaan” terhadap integritas dan
independent BPK.
Baca : Kerugian Negara