15 Juni 2016

opini musri nauli : SIlang Sengkarut Hasil audit BPK



Konsentrasi public terhadap Ahok memasuki babak baru. Setelah setahun lebih, issu RS Sumber Waras, KPK kemudian “menentukan” sikap terhadap kasus ini. KPK sudah menyatakan “tidak ada unsur perbuatan melawan hukum”.

Sikap ini merupakan rangkaian sikap sebelumnya, yang menyatakan dengna tegas, tidak ada unsur “niat jahat (mens rea)” dari pembelian tanah untuk RS Sumber Waras.

Konsentrasi public kemudian beralih untuk melihat bagaimana hasil audit investigasi dari BPK yang telah menyatakan “adanya perbuatan melawan hukum” didalam pembelian tanah. Dengan selisih mencapai Rp 190 milyar, Ahok kemudian dinyatakan “korupsi” dan hasil audit BPK kemudian dapat digunakan oleh KPK untuk memeriksa Ahok.

Gonjang ganjing politik memasuki prahara baru. Setelah gagal menyeret Ahok ke KPK, konsentrasi public kemudian bergeser ke BPK. BPK kemudian mulai “diragukan” integritas dan independensinya didalam melihat melakukan “audit” terhadap issu RS Sumber Waras.

Sebelum melakukan penilaian terhadap integritas dan independensi BPK, ada baiknya kita melihat secara utuh terhadap kekuatan hasil audit investigasi BPK terhadap issu RS Sumber Waras.

Pertama. Didalam hukum acara pidana, alat bukti terdiri dari saksi, saksi ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka. Lalu dimana posisi terhadap hasil audit BPK ?

Didalam UU BPK, secara tegas dinyatakan “BPK adalah lembaga Negara” yang melakukan audit terhadap keuangan Negara. Tentu saja BPK dapat diminta untuk menjadi ahli didalam penghitungan kerugian Negara baik melalui pemeriksaan rutin maupun pemeriksaan tertentu seperti audit investigasi.

BPK dapat melakukan penghitungan kerugian Negara. Namun BPK sama sekali tidak berwenang untuk menentukan apakah “kerugian Negara” dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana, perbuatan perdata ataupun masalah administrasi semata.

Penyidik kemudian melakukan pemeriksaan untuk menentukan ranah apa yang tepat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku.

Apabila hasil audit dari BPK kemudian didukung oleh alat bukti lain kemudian dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, maka penyidik kemudian meneruskannya ke tingkat penyidikan. Namun apabila ditemukan adanya “perbuatan melawan hukum” namun masuk kedalam ranah perbuatan perdata, maka penyidik dapat merekomendasikan Negara untuk “menggugat perdata” kepada tergugat melalui gugatan perdata biasa. Sedangkan apabila ditemukan “kerugian Negara” dalam ranah administrasi, misalnya “kelebihan bayar”, atau tertunggak pembayaran, maka didalam UU Korupsi sendiri memberikan kesempatan kepada pelaku untuk menyelesaikan secara administrasi.

Makna ini sudah ditegaskan didalam UU Korupsi. Namun heroic dan “kebablasan” memaknai UU Korupsi sehingga gegap gempita terhadap UU Korupsi lebih menitikberatkan terhadap penegakkan hukum di ranah pidana.

Nah. Kembali terhadap “hasil audit BPK”. Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, penyidik mempunyai kewenangna untuk melakukan penelusuran lebih dalam (dalam tingkat penyidikan), apakah hasil audit BPK kemudian didukung oleh alat bukti lain kemudian dapat menetapkan hasil audit ini sebagai salah satu alat bukti untuk menetapkan tersangka ?

Nah melihat kekuatan pembuktian, maka terhadap hasil audit BPK kemudian harus diletakkan pada alat bukti “ahli” dan surat”. Keterangan ahli dari BPK untuk menghitung kerugian Negara kemudian harus didukung dengan alat bukti lain, seperti saksi, petunjuk dan keterangan tersangka.

Dalam peristiwa ini, KPK kemudian melakukan pendalaman terhadap hasil investigasi BPK. Namun kemudian KPK tidak terpatok terhadap hasil audit investigasi dari BPK. Dengan dokumen yang disodorkan oleh Pemprov DKI, KPK kemudian melakukan penilaian terhdap dokumen dan hasil audit BPK.

Tentu saja dengan penilaian dokumen tahun 2012 oleh BPK dengan dokumen yang dipaparkan oleh Ditjen Pajak Jakarta tahun 2014 akan ditemukan jauhnya selisih harga. Dalam hal ini Pemprov DKI melakukan pembayaran “berdasarkan” penetapan NJOP tahun 2014. Sehingga pembayaran yang dilakukan Pemprov “dapat dipertanggungjawabkan secara hukum” dan ini yang disampaikan oleh KPK. “tidak ada unsur “niat jahat (mens rea)”, sebagai salah satu unsur penting untuk melihat rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.

Lalu bagaimana dengna kekuatan dari “hasil audit BPK”.

Nah melihat dari kekuatan alat bukti didalam hukum acara pidana, maka hasil audit BPK kemudian dikategorikan sebagai “keterangan ahli” dan surat.

Didalam melakukan penilaian “keterangan ahli”, penyidik dapat menghadirkan saksi ahli lain untuk memperkuat ataupun membantah dari keterangan ahli dari BPK.

Dalam peristiwa ini, berdasarkan dokumen yang ditemukan KPK, ketika BPK kemudian melakukan penilaian untuk menghitung “kerugian Negara” tidak sesuai dengna kondisi terkini (tidak up to date). Datanya tidak sesuai dengan data ketika Pemprov DKI melakukan pembayaran.

Lalu, mengapa KPK harus “tunduk” dengan hasil penghitungan yang tidak sesuai oleh BPK dengan NJOP yang dijadikan dasar pembayaran Pemprov DKI. Apakah KPK hendak memecahkan rekor “tidak pernah kalah dalam putusan pidana pelaku” dan kemudian tetap ngotot untuk meneruskan hasil audit BPK yang belum didukung oleh alat bukti yang lain.

Dari pendekatan inilah, maka KPK tentu saja “berhitung” dan tidak mau ceroboh untuk memaksa kasus ini diteruskan ke pengadilan.

Demikian juga apabila hasil audit BPK dikategorikan sebagai “surat” maka KPK kemudian menemukan dokumen pembayaran dari Pemprov DKI sesuai dengan NJOP tahun 2014. Lalu apakah salah “pembayaran” sesuai dengan NJOP dan kemudian dikategorikan sebagai “unsur melawan hukum” sebagai unsur didalam tindak pidana korupsi ?

Dari ranah inilah, KPK masih tetap “waras” sehingga menemukan dokumen yang dibawa oleh Pemprov DKI sekaligus membantah “dokumen”  yang ditemukan BPK yang menjadi dasar untuk melakukan penghitungan audit.

Tinggal kita bisa menentukan dan menelusuri bagaimana BPK melakukan “penghitungan” sehingga menentukan kerugian Negara. Apakah “pengakuan” BPK mendasarkan kepada NJOP tahun 2012 atau sudah mengetahui NJOP tahun 2014 namun mengabaikannya.

Sikap ini penting untuk kita melihat selain berdampak secara hukum juga akan melihat integritas dan independensi.

Tanpa mempengaruhi integritas BPK, tugas kita tetap menyelamatkan BPK sebagai institu Negara sebagaimana diatur didalam UU. Kita akan tetap membutuhkan lembaga Negara didalam melakukan “control” terhadap pengelolaan keuangna Negara. Namun kita harus bisa “membersihkan” dari orang-orang yang menggunakan BPK sebagai “kuda troya” panggung politik demi ambisinya. BPK harus “dibereskan” dari acrobat politik yang “menghantam” lawan-lawan politik. BPK harus independent dan integritas.

Tinggal kita tunggu kiprah DPR untuk melakukan pembongkaran (investigasi) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.  Sekaligus untuk menyelamatkan krisis yang tengah mendera. Di tengah “ketidakpercayaan” terhadap integritas dan independent BPK.