Usai
sudah pertemuan “Paris Agreement 2015” di Paris akhir tahun 2015. Delegasi
berbagai Negara pulang dengan pikirannya masing-masing.
Negara
utara[1]
gembira setelah bisa memindahkan persoalan perubahan iklim (greenwash) ke
Negara selatan. Sedangkan Negara selatan bergembira dan “membayangkan” proposal
proyek “perubahan iklim (climate change).
Sebelumnya
“perselisihan” antara Negara utara dengan Negara selatan, dimana Negara selatan
“justru” menuntut Negara utara mengurangi pemakaian konsumsi yang menghasilkan
emisi karbon. Negara utara bertanggungjawab terhadap penggunaan bahan bakar
fosil, minyak, batubara dan gas alam untuk menghasilkan energy. Energi yang
diperlukan untuk meningkatkan produksi industry dan konsumsi yang massif.
Sedangkan
Negara utara “menuntut” kepada Negara selatan untuk mengurangi deforestrasi dan
menjaga “hutan dengan tutupan yang baik (forest cover)”, mengurangi pemakaian
lahan untuk industry seperti sawit dan protect lahan gambut. Keduanya
“berseteru” di forum “COP Paris 2015”.
Negara
utara maupun Negara selatan “bertahan” dengan konsep proposal dan saling
menyalahkan. Sehingga “keengganan” keduanya kemudian membuat rincian sehingga
bisa memastikan agar suhu bumi tidak mencapai 2 derajat celcius. Padahal
menurut ahli “memaksa” agar memangkas
emisi karbon dioksida hingga 70% pada tahun 2050. Kesemuanya tertuang didalam
dokumen resmi “Paris Agreement 2015”.
Namun
proposal REDD ternyata tidak berjalan dengna baik. Australia yang mengucurkan
dana hingga 30 juta Australia terhadap wilayah seluas 120.000 ha di Kecamatan Mantangai, Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah, telah membawa banyak persoalan bagi masyarakat di
wilayah proyek. Proyek ini melibatkan 7 desa, 5 dusun dan 2 dukuh. Tidak adanya
partisipasi public, perencanaan bersama yang tidak dilakukan hingga masyarakat
yang dilibatkan sama sekali tidak mengetahui tentang mekanisme dan
tanggungjawab menjaga kawasan didalam proyek REDD. Sehingga tidak salah
kemudian program ini kemudian dinyatakan gagal total[2].
Program
di Hutan Ulu Masen, Aceh tidak mengalami kemajuan. Bahkan Gubernur Aceh justru memberikan izin
kepada sawit di kawasan gambut Rawa Tripa di Aceh.
Dalam
laporannya, Friends of Earth (FoE) memotret di proyek percontohan the N'hambita di Mozambik, the Kalimantan
Forests and Climate Partnership (KFCP) di Indonesia dan penerapan REDD+ di Peru[3].
FoE menyatakan pelbagai proyek tersebut merupakan contoh nyata proyek global
itu hanya memfasilitasi penggunaan energi fosil, daripada mencegahnya.
Sehingga FoE kemudian menyatakan tema Perubahan iklim merupakan solusi palsu
Namun
bukan melakukan koreksi terhadap kegagalan proyek REDD, para sponsor, donator
kemudian mengagendakan dengan cara lain. Dari Hutan ke Bentang Alam[4].
Padahal 300 juta rakyat tergantung dari hutan baik masyarakat adat, peramu
hutan, pencari damar atau pencari rotan[5]
Dari
pendekatan ini, Walhi yang menjadi bagian dari gerakan melawan “perubahan iklim
(climate change) dengan menawarkan paradigma yaitu “climate justite (CJ).
Climate justite merupakan bentuk sikap yang mengatur kepada manusia di bumi
satu harus saling berbagi untuk menjaga bumi. Menjadi ketidakadilan,
Negara-negara maju terus mengkonsumsi emisi karbon dan kemudian tidak bersalah
menyediakan dukungan pendanaan kepada Negara lain (greenwash). Padahal yang
adil, dimana Negara maju bersedia untuk mengurangi penggunaan emisi karbon dan
membebankan tanggung jawab Negara untuk “memperbaiki keadaan di Negara lain”.
Dalam
berbagai sumber disebutkan Keadilan iklim didasarkan kepada pemahaman kepada
tindakan mendesak yang diperlukan untuk mencegah perubahan iklim yang
didasarkan kepada solusi yang dipimpin oleh masyarakat dan dampaknya terhadap
kesejahteraan masyarakat, keanekaragaman hayati dan ekosistem.
Message yang hendak disampaikan didalam term keadilan iklim kepada keadilan
iklim didasarkan “bumi satu” tidak bisa menghentikan perubahan iklim apabila
kita mengubah ekonomi berbasis korporasi-neo-lebaral namun kemudian berhenti
kepada masyarakat yang berkelanjutan. Korporasi global harus dihentikan.
Dalam tafsiran yang lain, disebutkan keadilan iklim memberikan ruang
terhadap akses terhadap hutan, hak masyarakat adat, masyarakat lokal, hak atas
kesehatan, ancaman pangan, hak terhadap air bersih, hak terhadap anak dan
keuntungan ekonomi (economic benefit).
Dalam diskusi lebih lanjut selain memberikan hak-hak kepada masyarakat yang
telah menjaga hutan sebagai penyerap karbon, maka harus dibicarakan tentang ganti
ruti (kompensasi) yang membuat masyarakat menjadi dihargai.
Penghitungan terhadap kompensasi dilatarbelakangi dengan penghitungan yang
adil, partisipasi dari berbagai pihak dan tentu saja mempertimbangkan keadilan.
Sebagai contoh. Penggunaan energi yang menghasilkan emisi karbon oleh
perusahaan migas seperti Chevron, Exxon dan Shell maka perusahaan diminta
pertanggungjawabkan untuk mengembalikan emisi karbon kepada masyarakat yang
telah menjaga hutan. Perusahaan harus membayar kompensasi dan penghitungan
dilakukan secara bersama-sama. Baik dari pendekatan scientif dengan
penghitungan maupun dengan dampak yang ditimbulkan.
Pendekatan inilah yang kemudian mendasarkan kepada tanggungjawab
negara-negara utara untuk membayar kompensasi kepada upaya perbaikan lingkungan
sebagaimana telah menjadi pedoman didalam dokumen “The UN Guide principle
Bisnis and human right”. Prinsip yang telah ditetapkan didalam pertemuan di
Oslo
Keadilan iklim mencakup kepada fokus dan penyebab perubahan iklim.
Kemudian karena itu diperlukan perubahan
sistemik.
Komitmen ini kemudian juga membicarakan tentang bagaimana mengatasi beban dari
dampak perubahan iklim terhadap terhadap masyarakat miskin dan terpinggirkan.
Dari ranah inilah maka tercipta “keadilan iklim” dari bandul keseimbangan
antara “penyebab” dan penyumbang emisi karbon dan dampak kepada masyarakat yang
telah menjaga hutan sebagai penyerap emisi karbon.
Dari berbagai studi menunjukkan mekanisme internasional telah membuka ruang
untuk menerima berbagai keluhan (Griven).
Hukum Eropa sudah membuka ruang melalui mekanisme “Euro Comission Human
Right”, hukum bilateral antara negara, hukum regional seperti “Asean Haze
Treaty art”, human right Asean. Ataupun dapat mengajukan keberatan melalui
mekanisme complaint terhadap negara asal perusahaan maupun menggunakan hukum
nasional negara asal perusahaan.
Sedangkan di Indonesia, perangkat peraturan sudah disiapkan. Mekanisme
melalui Komnas HAM, gugatan ke pengadilan (Court), protes kepada perusahaan dan
memobilisasi petisi dari publik. Mekanisme ini sudah menjadi bagian dari
perlawanan dari masyarakat yang terkena dampak dan kerugian dari perubahan
iklim.
Keadilan iklim merupakan “kesempatan” kepada partisipasi
public dari dampak dan kerugian (lost dan damage) perubahan iklim.
Sudah
saatnya partisipasi public meminta tanggungjawab Negara didalam melindungi
keberadaan masyarakat. Perubahan iklim yang disebabkan oleh Negara-negara utara
didalam menghasilkan emisi karbon harus diberi tanggungjawab sehingga terjadinya
keadilan iklim.
[1] Negara utara sering dipadankan kepada Negara-negara
maju yang mempunyai tingkat konsumsi yang menghasilkan emisi karbon. Sebagian
juga menyebutkan sebagai Negara Annex I
[2] Temuan penelitian Erik Olbrei dan Stephen Howes di
Australian National University dalam penelitian Kalimantan Forest Carbon
Partnership. Bahkan senator dari Partai Hijau Australia Christine Milne didalam
rapat dengar pendapat di senat Australia menyebutkan proyek REDD Australia di
Indonesia telah gagal total, 21 Mei 2012
[3] FoE International dalam riset yang berjudul The Great REDD Gamble: Time to Ditch Risky REDD for
Community-based Approaches that are Effective, Ethical and Equitable, 16
Oktober 2014
[4] Pada Bulan Juni 2012,
Wakil Presiden Bank Dunia dan duta khusus untuk perubahan iklim, Rachel Kyte,
telah menulis tentang “Pendekatan Bentang Alam untuk Pembangunan Berkelanjutan” (Landscape
Approaches to Sustainable Development) yang dilaporkan pada hari Pertanian dan
Pembangunan Pedesaan saat Konferensi Rio+20 – konferensi yang sama yang
menggantikan ‘Sustainable Development’ dengan ‘Green Economy’.
[5] REDD beralih dari hutan ke
bentang alam: Serupa, namun lebih luas dan dengan risiko lebih besar untuk
menyebabkan kerusakan, Walhi, Jakarta, 2016, Hal.