Konferensi
PBB untuk Perubahan Iklim[1]
(COP UNFCCC) telah menyepakati agar suhu bumi tidak boleh mencapai 2 derajat
celcius. Ketakuan manusia terhadap suhu bumi mencapai 2 derajat celcius akan
menciptakan bencana iklim yang berkepanjangan[2].
Berbagai ahli kemudian “memaksa” agar memangkas emisi karbon dioksida hingga
70% pada tahun 2050[3].
Pada pertengahan 2007, UNFCCC
meminta kelompok negara-negara industri anggota G8[4]
untuk memberi dukungan politik dan pendanaan terhadap rencana baru Bank Dunia
yaitu fasilitas kemitraan karbon hutan atau Forest Carbon Partnership Facility
(FCPF).
Ide dasar dari negara-negara
utara membayar negara-negara selatan untuk melakukan upaya untuk mengurangi
penggundulan hutan dalam wilayah negara mereka. Salah satu usulan adalah dengan
memberi bantuan keuangan untuk kepentingan tersebut.
Angka
cukup menggiurkan hingga mencapai US$3,75 miliar (Rp33,75 triliun) pertahun
dari negara-negara maju dan diharapkan mampu menyelesaikan masalah kerusakan
hutan[5]
Namun
komitmen dunia terhadap penggunaan emisi karbon dioksida menimbulkan ambigu.
Negara-negara maju sama sekali tidak mau menurunkan penggunaan emisi karbon dan
kemudian bertindak seperti “sinterklas” dengan mengucurkan dukungan pendanaan
kepada Negara-negara berkembang.
Sementara
negara berkembang yang menerima dukungan pendanaan dari Negara maju justru
terjebak dengan proyek-proyek yang berbau “perubahan iklim” dengan membangun
contoh-contoh yang kemudian terbukti gagal.
Menjadi
ketidakadilan, Negara-negara maju terus menghasilkan emisi karbon dan menyatakan
tidak bersalah kemudian menyediakan dukungan pendanaan kepada Negara lain
(greenwash). Padahal yang adil, dimana Negara maju bersedia untuk mengurangi
penggunaan emisi karbon dan membebankan tanggung jawab Negara untuk
“memperbaiki keadaan di Negara lain”.
Indonesia
berkomitmen menurunkan emisi karbon hingga 29% tahun 2030. Komitmen ini
dibangun sebagai bagian dari sikap Pemerintah Indonesia untuk memenuhinya
dengan cara “moratorium hutan primer dan konversi lahan gambut dan “ambisi”
penggunaan energy terbarukan mencapai 23 % tahun 2030.
Namun
upaya Pemerintah Indonesia bertentangan dengan fakta-fakta di lapangan. Di
Jambi sendiri, deforestrasi telah menyebabkan masalah besar.
Dari
2,1 juta kawasan hutan, tutupan hutan relative baik tinggal 800 ribu. Namun 800
ribu hutan berada di Taman Nasional, Hutan Lindung dan Hutan yang berada di
lereng dengan kemiringan mencapai 40 derajat[6].
Konversi
gambut telah merusak ekosistem gambut mencapai setengah luas gambut[7].
Dari 700 ribu hektar, 350 ribu hektar sudah rusak baik telah dibebani izin
sawit, HTI dan kebakaran
Sebanyak 33 desa tersebut
berada di dalam kawasan perkebunan kelapa sawit lahan gambut dan 48 desa berada
di kawasan HTI lahan gambut. Desa - desa yang memiliki lahan dan hutan
gambut tersebut tersebar di Kabupaten Tanjungjabung Barat, TanjungjabungTimur
dan Muarojambi.
Dampak
perubahan iklim mulai dirasakan oleh masyarakat di lapisan bawah. Masyarakat
yang bermukim di areal gambut mengeluhkan tentang tahun tanam yang tidak
teratur hingga tidak ditemukan ikan khas sebagai makanan sehari-hari.
Selain
itu kebakaran yang massif selama 5 tahun terakhir berdampak buruk terhadap
kesehatan juga menimbulkan persoalan.
Kebakaran
tahun 2015 selama 3 bulan telah menghasilkan asap pekat. Menghasilkan emisi gas rumah
kaca (GRK) terutama CO2, N2O, dan CH4 yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. NASA
memperkirakan 600 juta ton gas rumah kaca telah dilepas akibat kebakaran hutan
di Indonesia tahun ini. Jumlah itu kurang lebih setara dengan emisi tahunan gas
yang dilepas Jerman.
Selain
terganggunya tahun tanam dan hasil panen yang berbarengan dengan banjir juga
belum terselesaikannya berbagai konflik.
Namun
yang lebih ironi adalah ketika masyarakat yang ternyata terbukti menjaga hutan
dan mengelola hutan sebagai serapan karbon dioksida kemudian tersingkir
dari akses terhadap hutan. Bahkan masyarakat kemudian dituding dan harus
dikorbankan pula hak hidupnya atas nama konservasi dan penyelamatan iklim bumi.
Aksesnya kemudian dibatasi baik atas nama “proyek restorasi ekosistem” atau
proyek konservasi oleh Negara yang kemudian diberikan kepada swasta.
Pengalaman
buruk seperti penetapan kawasan restorasi di daerah landscape Taman Nasional
Bukit Tigapuluh[8].
Masyarakat
Desa
Pemayungan[9],
Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo sama sekali tidak dilibatkan
bahkan “dapat dikategorikan sebagai “perambah” sehingga penetapan kawasan
sebagai akses ruang kelola masyarakat kemudian ditetapkan sebagai kawasan
restorasi ekosistem yang diberikan kepada PT. Alam Bukit Tigapuluh[10].
Selain tidak adil
dan transparan, proyek ini juga sangat mengancam keberlanjutan penghidupan
masyarakat. Ada 314 KK atau 1.398 jiwa warga Pemayungan yang menggantungkan
hidupnya dari bertani dan berkebun. Desa ini telah dikepung berbagai Industri
dan taman Nasional.
Masyarakat
Pemayungan sama sekali tidak dilibatkan bahkan “dapat dikategorikan sebagai
“perambah” sehingga penetapan kawasan sebagai akses ruang kelola masyarakat
kemudian ditetapkan sebagai kawasan restorasi ekosistem yang diberikan kepada
PT. Alam Bukit Tigapuluh.
Padahal
masyarakat Pemayungan mengenal pola
pengaturan terhadap hutan dan lingkungan hidup. Mereka mengenal tempat-tempat
yang dilarang untuk dibuka yang dikenal dengan istilah
hutan keramat seperti tanah sepenggal,
Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Yusmar Yusuf
menyebutkannya “rimbo simpanan atau
rimbo larangan[11]. Sedangkan Tideman
melaporkan sebagai “rimbo ganuh[12]
Masyarakat bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta
tumbuh-tumbuhan maupun hewan yang terdapat dalam hutan. Pohon-pohon itu tidak
diboleh ditebang seperti pohon durian, duku, bedaro, manggis, petai dan pohon
sialang. Van Vollenhoven memberikan
istilah “Beschikkingrecht”[13].
Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan
sepengetahuan Depati (volkshoofd). Ini ditandai dengan seloko “alam sekato rajo. Negeri sekato bathin”.
Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana tembilang tecacak. Disana
tanaman tumbuh. Hak ini kemudian dikenal dengan istilah hak Membuka
Tanah (ontginningrecht).
Apabila tidak digarap, “sesap jerami, tunggul pemarasan”, maka hak untuk menggarap
tanah menjadi hilang.
Dalam teori hak individu atas tanah, biasa dikenal
dengan “hak wenang pilih”.
Sehingga hak seperti Hak Menikmati (genotrecht)
dan dan memiliki hak terdahulu (voorkersrecht) atas tanah yang
digarapnya. Tiderman memberikan istilah ”tanah belukar tuo dan tanah belukar
mudo.
Bahkan mereka mempunyai cara didalam menyelesaikan persoalan dengan
cara “Tumbuh diatas tumbuh”. Tumbuh diatas tumbuh apabila dilihat
dari makna harfiahnya berarti “setiap
persoalan harus dilihat dari sebab perbuatan itu terjadi”. Sebagai
contoh, sebuah perkelahian yang terjadi, tentu saja harus didengarkan dari
keterangan dua pihak. Mengapa perkelahian itu terjadi. Sebelum dijatuhkan
pidana adat (delik adat) seperti “menguak
daging. Merencong tulang”, harus dipastikan mengapa peristiwa itu
terjadi.
Dalam proses penyelesaian dikenal dengan istilah “jenjang adat”. “Berjenjang naik bertangga
turun. Dimulai dari saksi melaporkan kepada Kepala Dusun dan
kemudian melaporkan ke Lembaga Adat. Lembaga adat yang mengumpulkan anggota
lembaga adat seperti tuo tengganai, ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai.
Lembaga adat menjatuhkan sanksi dan Kepala Desa melaksanakan putusan adat.
Terhadap sanksi adat, Desa Pemayungan memberikan
sanksi cukup berat terhadap pohon sialang dengan istilah “membuka pebalaian”
yaitu kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir,
selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp 30 juta
Dari
pendekatan ini, gerakan melawan “perubahan iklim (climate change) dengan
menawarkan paradigma yaitu “keadilan iklim” (climate justite). Climate
justite merupakan bentuk sikap yang mengatur kepada manusia di bumi satu
harus saling berbagi untuk menjaga bumi.
[1] Conference of Parties (COP 21) PBB untuk perubahan
iklim (UNFCCC) berlangsung di Paris, November 2015 diikuti 195 negara.
[2] Gagal panen, cuaca ekstrem hingga tidak teraturnya
musim tanam dan musim panen menyebabkan kekurangan pangan yang dibutuhkan oleh
manusia.
[3] Paris Agreement 2015
[4] Annex 1 yang biasa juga disebut sebagai Negara-negara
utara
[5] Data dari berbagai sumber
[6] Data diolah dari berbagai sumber
[7] Studi Pengolahan Lahan dan Hutan Gambut, Februari
2015
[8] Luas proyek restorasi PT. ABT adalah 38.665 Ha yang
terdiri dari dua blok. Blok I seluas 22.095 Ha di Desa Suo-suo, Dusun
Semarantian yang didiami oleh Suku Talangmamak. Blok II seluas 16.570 Ha di
Desa Pemayungan yang penduduknya merupakan suku Melayu dan suku Anak
Dalam/Orang Rimba kelompok Buyung, Tampung, dan Iad. Setelah overlay peta,
12.708 ha wilayah Blok II masuk dalam wilayah administrasi Desa Pemayungan.
[9] Luas wilayah administratif desa Pemayungan adalah 33.792
Ha. Saat ini telah dikelilingi oleh Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Industri
HTI Karet (PT. Wana Mukti Wisesa dan PT. Lestari Asri Jaya), HTI Akasia (PT.
Tebo Multi Agro/Sinarmas Group), dan tambang batu bara PT. Kelola Tebo Energi
(KTE)
[10] Proyek Restorasi PT. Alam Bukit Tiga Puluh didukung oleh
konsorsiumWorld Wildlife Fund (WWF), Zoologische Gesellschaft Frankfurt
(FZS), The Orangutan Project (TOP) dan mendapat pendanaan dariKreditanstalt
für Wiederaufbau (KFW) Jerman.
[12] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial
Institutut, Amsterdam, 1938
[13] “Miskenningen van het Adatrecht sebagaimana dikutip oleh Kurnia
Warman, Disertasi, belum diterbitkan. Sedangkan Soepomo memberikan istilah “hak
pertuanan.