CATATAN
NKB 12[1]
Akhir-akhir ini, KPK
berkonsentrasi terhadap potensi korupsi di sektor Sumber daya alam. Pada
tanggal 11 Maret 2013 lalu, Nota Kesepakatan Bersama telah ditandatangani 12
Kementerian/Lembaga, yang dimaksudkan untuk menyelesaikan akar masalah sektor
sumber daya alam atau sektor kehutanan. Ke-12 instansi itu antara lain
Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Hukum dan HAM, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Keuangan, Badan
Pertanahan Nasional, Badan Informasi Geospasial, Komnas HAM, dan Bappenas
(NKB). NKB ini berlaku sejak ditandatangani hingga 11 Maret 2016 dan
dilaksanakan secara keseluruhan di 18 provinsi.
Untuk di Jambi sendiri, Hasil
analisis investigasi KPK memastikan 50 % areal tambang di Jambi belum tahap
clean and clear. Dengan demikian, maka dari 398 Izin Usaha Pertambangan (IUP),
terdiri dari 21 IUP pertambangan mineral dan 377 IUP pertambangan batubara sudah
bisa dipastikan sebagian besar bermasalah.
Belum lagi pemberian izin
tambang di areal yang dilarang oleh UU. Data dari Dirjen Kementerian Kehutanan
menunjukkan sebanyak 14 perusahaan tambang beroperasi di dalam kawasan hutan
lindung dan hutan konservasi di Provinsi Jambi.
Jumlah perusahaan yang
beroperasi di dalam hutan lindung sebanyak 5 perusahaan. Hutan lindung yang
digunakan untuk pembukaan tambang seluas 63,6 ribu hektar.
Kelima perusahaan adalah PT
Aneka Tambang (Antam) seluas 5.664 hektar , PT Delapan Inti Power seluas 281
hektar, PT Jambi Gold seluas 49,9 ribu hektar, PT Semen Baturaja seluas 671
hektar, dan PT Tunas Prima Coal seluas 7 ribu hektar.
Hutan yang beroperasi di
dalam kawasan hutan konservasi sebanyak 9 perusahaan, dengan total luas hutan
konservasi yang digunakan untuk pembukaan tambang 6,3 ribu hektar.
Kesembilan
perusahaan adalah PT Abdi Pertiwi Loka seluas 1.548 hektar, PT Antam seluas 429
hektar, PT Arta Bevimdo Mandiri seluas 1.937 hektar, PT Batu Alam Jayamandiri
seluas 49 hektar, PT Geomineral Bara Perkasa seluas 31 hektar.
Selanjutnya, PT Jambi Gold
seluas 6 hektar, PT Tunas Prima Coal seluas 132 hektar, PT Wilson Citra Mandiri
seluas 70 hektar, dan PT Sarwa Sembada Karya Bumi seluas 2 ribu hektar.
Dalam
aturannya, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi tidak boleh digunakan untuk
pembukaan pertambangan. Yang diperbolehkan adalah Hutan Produksi, itu pun harus
melalui proses Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Setahun kemudian pada tanggal
10-12 November 2014, diadakan pertemuan nasional untuk mengevaluasi pelaksanaan
NKB. Masing-masing Kementerian/lembaga/kepala Daerah kemudian menyampaikan
hasil pelaksanaan dari rekomendasi yang telah disepakati. KPK menggunakan
istilah “melakukan koordinasi dan supervisi untuk memastikan dilaksanakannya
kewajiban oleh KK dan PKP2B terkait dengan kelanjutan operasi, luas wilayah,
penerimaan negara, pembayaran pajak, PNPB, jaminan reklamasi, jaminan paska tambang.
Dalam catatan Walhi Jambi,
pemberian izin untuk tambang berkaitan dengan politik lokal terutama Pilkada.
Setahun menjelang pilkada, setahun setelah pilkada pemberian izin dengan obral
dilakukan. KPK sendiri menyebutkan IUP Pemilukada.
Selain itu juga, kerusakan
tambang ditandai dengan bocornya pipa minyak Pertamina di Muara Jambi, sungai
Batanghari yang keruh, banjir langganan yang terus menerus. Padahal dari sektor
tambang, royalti hanya mencapai 10 milyar berbanding terbalik dengan kerusakan jalan
yang ditimbulkan yang menghabiskan 300 milyar
Menurut JATAM, luas tambang
sudah mencapai 1.092.120,40 ha atau 20 % dari luas wilayah daratan wilayah
Jambi 5,1 juta. Angka yang tidak berbeda jauh dari temuan KPK.
Bahkan secara rigid, bahkan
JATAM telah mengeluarkan peta konsensi tambang dan kaitannya dengan calon
parlemen.
Selain itu, untuk memastikan
laporan yang telah disampaikan oleh Kementerian/lembaga/Kepala Daerah, berbagai
komponen masyarakat sipil yang berasal dari Sumsel, Jambi dan Bangka Belitung
kemudian menghasilkan catatan penting.
Dari hasil investigasi KPK
yang merekomendasikan mencabut 121 izin yang tumpang tindih di kawasan hutan.
Namun dalam perkembangannya hingga hari ini, yang dicabut hanya sebanyak 8 izin
(Presentasi Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada Semiloka NKB, 11 November
2014, Jakarta).
Di Sumsel misalnya, sebanyak
53 izin pertambangan telah beroperasi produksi di kawasan hutan dengan luas
total wilayah operasi mencapai 136.449 ha. Namun faktanya yang baru mendapatkan
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) hanya 23 perusahaan saja dengan luas
hanya 6.742 ha. Ini menunjukkan bahwa diduga sebanyak 30 perusahaan yang sudah
beroperasi produksi melakukan tindakan illegal di kawasan hutan
Untuk Babel, dari total 1.085
izin pertambangan, KPK merekomendasikan mencabut 121 izin yang tumpang tindih
di kawasan hutan. Namun dalam perkembangannya, yang dicabut hanya sebanyak 8
izin (Presentasi Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada Semiloka NKB, 11 November
2014, Jakarta). Data ini menunjukkan bahwa kepala-kepala daerah di Babel tidak
serius dalam melakukan penataan izin sektor pertambangan.
Sedangkan di Jambi dari dari
50 % areal tambang di Jambi belum tahap clean and clear (398 Izin Usaha
Pertambangan), baru 141 yang telah dicabut oleh berbagai Kepala Daerah di
Jambi[2].
Data ini menunjukkan bahwa
kepala-kepala daerah di Babel tidak serius dalam melakukan penataan izin sektor
pertambangan. Untuk Sumsel, Jambi dan Babel perkembangan pencabutan izin sangat
lamban.
Potensi Kerugian Penerimaan [3]
Berdasarkan perhitungan land
rents yang mengacu pada PP No. 9 Tahun 2012 tentang Tarif dan Jenis
Penerimaan Bukan Pajak, diperoleh selisih yang signifikan antara potensi
penerimaan daerah dan realisasinya. Selisih antara realisasi penerimaan daerah
dengan potensinya kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential
lost). Hasil perhitungan yang dilakukan oleh Masyarakat Sipil
Sumsel-Jambi-Babel untuk Perbaikan Tata Kelola Minerba di tiga provinsi di
Sumsel, Jambi dan Babel menunjukkan bahwa sejak tahun 2010 hingga 2013
perkiraan potensi kerugian penerimaan mencapai Rp. 248,693 Miliar lebih di
Sumsel; Rp 50,467 Miliar lebih di Jambi; dan Rp.6,596 Miliar lebih di Bangka
Belitung. Dengan demikian total potensi kerugian penerimaan di tiga provinsi
tersebut adalah sebesar Rp. 305,757 Miliar lebih.
Kawasan Ekologi Genting
Namun terhadap kawasan-kawan
penting yang dikategorikan sebagai kawasan ekologi genting, Walhi Jambi
memandang sebanyak 14 perusahaan tambang beroperasi di dalam kawasan hutan
lindung dan hutan konservasi di Provinsi Jambi merupakan pintu masuk kepada KPK
untuk dapat memproses secara hukum.
KPK diharapkan dapat
memproses siapapun yang terlibat terhadap “upaya” penghancuran kawasan-kawasan
ekologi genting.
Kawasan yang termasuk kedalam
kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi yang tidak dibenarkan aktivitas
tambang membuktikan “adanya” upaya sistematis penghancuran hutan di
daerah-daerah hulu sungai Batanghari.
Padahal kawasan hulu Sungai
Batanghari merupakan tempat tinggal masyarakat adat yang bermukim di Jambi Hulu[4]
(F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar menyebutkan “masyarakat hukum yang
bermukim di Jambi Hulu yang terletak di Muara Bungo, Bungo dan Sarolangun, dan
sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar,
Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938)
Selain itu juga Kabupaten
Sarolangun sendiri sudah menetapkan, kawasan tersebut tercatat ada sebelas
hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat Pengulu Laleh (128
ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat Pengulu Patwa (295 ha), hutan
adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat
Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti
Sati (78 ha), hutan adat Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha),
dan hutan adat Imbo Lembago (70 ha)[5].
Penghancuran kawasan ekologi
genting akan berdampak kepada sungai-sungai di Batang Asai dan Sungai Batang
Limun. Sungai di hulu yang mengairi Sungai Batanghari. Sungai Terpanjang di
Sumatera.
[1] Disampaikan pada Diskusi Multipihak Mendorong
Penerapan BMP oleh Pelaku bisnis/pemegang izin usaha pertambangan di Propinsi
Jambi, Jambi, 23 Juni 2016
[2] Dalam evaluasi tahun 2015, Jambi sudah mencabut
seluruh IUP tambang yang bermasalah. Dan Jambi merupakan salah satu daerah yang
cukup progresif didalam melaksanakan temuan dari korsup KPK Minerba.
[3] Penghitungan dilakukan dengna mengacu PP No. 9 Tahun
2012 dan dilakukan oleh tim ahli yang menghitung potensi kerugian Negara. Namun
yang menjadi catatan penting didalam pembahasan penghitungan, terhadap akibat
tambang belum dimasukkkan menjadi catatan penting didalam penghitungan potensi
kerugian Negara.
[4] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar
menyebutkan “masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu yang terletak di
Muara Bungo, Bungo dan Sarolangun, dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara
Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam, 1938.
[5] Jambi Ekspress, 26 November 2014