10 Juli 2017

opini musri nauli : OLEH-OLEH ARUS MUDIK



Ketika tulisan ini kubuat, suasana arus mudik sudah lewat menjadi kenangan. Namun sebagai sebuah oleh-oleh, cerita mudik terlalu sayang untuk dilewatkan.

Sebagai ritual, mudik sudah menjadi agenda yang paling banyak menyita waktu. Baik Negara yang menyiapkan mudik sebagai “jalur” yang aman, jalan berlubang yang ditambal, posko-posko kesehatan, petugas keamanan yang rutin berpatroli terus menerus hingga berbagai pernik-pernik selama perjalanan.
Bank Indonesia sendiri mengakui telah menyiapkan “penukaran” uang yang konon mencapai 167 trilyun. 2 % dari APBN.

Terlepas dari berbagai kelemahan, jalur mudik sudah lebih baik setiap tahun. Entah jalan berlubang yang ditambal sementara, posko-posko yang berkibar sepanjang perjalanan, rasa aman, SPBU yang “rela” tempat menginap traveller yang kemalaman di jalanan hingga tempat-tempat “rest area” yang disiapkan.

Tempat-tempat wisata kemudian menerima kunjungan wisatawan yang membludak dan menarik minat pelancong. Area hiburan menjadi alternative di kampong halaman.

Mudik adalah “rasa” menikmati Lebaran (idul fitri) di kampong. Mudik juga menyambung rasa “suasana” kampong setelah 11 bulan bekerja. Berkejaran waktu menyelesaikan pekerjaan.

Esensi mudik adalah rasa. Mudik adalah menyambung silahturahmi keluarga besar setelah 11 bulan tersita dengan pekerjaan.

Maka rencana persiapan mudik adalah persiapan panjang. Entah mengatur jadwal, persiapan matang, pengaturan jadwal, rute hingga persiapan sepanjang perjalanan. Termasuk mendatangi tempat-tempat wisata yang menjanjikan “selfie’.

Namun esensi mudik juga mulai bergeser. Mudik adalah identitas. Mudik adalah “ukuran” sukses di rantau orang. Mudik adalah “pameran” sukses di negeri orang.

Maka, mobil baru bersileweran memenuhi jalan-jalan di kampong. Memamerkan kesuksesan dengan menggandeng mobil. Entah baru dibeli menjelang lebaran. Ataupun beramai-ramai “mencartert” mobil pulang ke mudik.

Mudik juga “ajang” kesuksesan kekayaan. Menggunakan gadget terbaru. Membawa uang berlimpah sebagai ajang “status social”. Sehingga sikap “pamer” justru bentuk kekalahan setelah di kota gagal dan sering tertindas dalam pergaulan di kota.

Sebagai peserta “arus mudik”, kedatangan ke kampong membawa sebagai “orang kota”. Yang bercerita sembari memegang gadget memamerkan “status” sembari “selfie”. Sembari cerita kesuksesan di negeri orang.

“Sebagai orang kota’, paradigma “kampong” yang guyub tidak dapat dilepaskan. Entah berkumpul dengan keluarga besar, teman sekolah, teman main hingga berkumpul dengan handai taulan.

Namun sebagai orang kota”, sikap guyup justru tidak melambangkan keteladanan di kampong. Entah dengan bersikap “seperti orang kota” yang masih membuang sampah sembarangan, meludah di keramaian hingga WC yang tidak dibersihkan.

Ambigu sebagai “orang kampong” yang tinggal di kota justru menyebabkan “ketidakjelasan’. Rasa sebagai orang kampong tidak mampu memenuhi batin sebagai masyarakat yang agraris. Merasakan sebagai orang kampong yang menumbuhkan kejujuran, kesederhanaan hingga keteladanan.

Disisi lain, “sebagai orang kota”, sikap kampungan masih dibawa ke kampong. Entah sikap kampungan yang dibawa dari kampong dan tidak mampu diubah di kota. Ataupun “kelalaian” yang tidak memberikan makna kepada orang kampong.

Sudah seharusnya, mudik menjadi ajang introspeksi terhadap masyarakat yang agararis. Yang menawarkan kejujuran, keteladanan, kesederhanaan, menghargai orang lain.

Namun sebagai orang kota, mudik dijadikan sebagai bekal dan pembelajaran kepada orang kampong. Tentang sikap berjuang di tanah orang. Menawarkan sikap yang ulet, hemat dan menghargai waktu.


Baca : MUDIK