Ketika
tulisan ini kubuat, suasana arus mudik sudah lewat menjadi kenangan. Namun
sebagai sebuah oleh-oleh, cerita mudik terlalu sayang untuk dilewatkan.
Sebagai
ritual, mudik sudah menjadi agenda yang paling banyak menyita waktu. Baik
Negara yang menyiapkan mudik sebagai “jalur” yang aman, jalan berlubang yang
ditambal, posko-posko kesehatan, petugas keamanan yang rutin berpatroli terus
menerus hingga berbagai pernik-pernik selama perjalanan.
Bank
Indonesia sendiri mengakui telah menyiapkan “penukaran” uang yang konon
mencapai 167 trilyun. 2 % dari APBN.
Terlepas
dari berbagai kelemahan, jalur mudik sudah lebih baik setiap tahun. Entah jalan
berlubang yang ditambal sementara, posko-posko yang berkibar sepanjang
perjalanan, rasa aman, SPBU yang “rela” tempat menginap traveller yang
kemalaman di jalanan hingga tempat-tempat “rest area” yang disiapkan.
Tempat-tempat
wisata kemudian menerima kunjungan wisatawan yang membludak dan menarik minat
pelancong. Area hiburan menjadi alternative di kampong halaman.
Mudik
adalah “rasa” menikmati Lebaran (idul fitri) di kampong. Mudik juga menyambung
rasa “suasana” kampong setelah 11 bulan bekerja. Berkejaran waktu menyelesaikan
pekerjaan.
Esensi
mudik adalah rasa. Mudik adalah menyambung silahturahmi keluarga besar setelah
11 bulan tersita dengan pekerjaan.
Maka
rencana persiapan mudik adalah persiapan panjang. Entah mengatur jadwal,
persiapan matang, pengaturan jadwal, rute hingga persiapan sepanjang
perjalanan. Termasuk mendatangi tempat-tempat wisata yang menjanjikan “selfie’.
Namun
esensi mudik juga mulai bergeser. Mudik adalah identitas. Mudik adalah “ukuran”
sukses di rantau orang. Mudik adalah “pameran” sukses di negeri orang.
Maka,
mobil baru bersileweran memenuhi jalan-jalan di kampong. Memamerkan kesuksesan
dengan menggandeng mobil. Entah baru dibeli menjelang lebaran. Ataupun
beramai-ramai “mencartert” mobil pulang ke mudik.
Mudik
juga “ajang” kesuksesan kekayaan. Menggunakan gadget terbaru. Membawa uang
berlimpah sebagai ajang “status social”. Sehingga sikap “pamer” justru bentuk
kekalahan setelah di kota gagal dan sering tertindas dalam pergaulan di kota.
Sebagai
peserta “arus mudik”, kedatangan ke kampong membawa sebagai “orang kota”. Yang
bercerita sembari memegang gadget memamerkan “status” sembari “selfie”. Sembari
cerita kesuksesan di negeri orang.
“Sebagai
orang kota’, paradigma “kampong” yang guyub tidak dapat dilepaskan. Entah berkumpul
dengan keluarga besar, teman sekolah, teman main hingga berkumpul dengan handai
taulan.
Namun
sebagai orang kota”, sikap guyup justru tidak melambangkan keteladanan di kampong.
Entah dengan bersikap “seperti orang kota” yang masih membuang sampah
sembarangan, meludah di keramaian hingga WC yang tidak dibersihkan.
Ambigu
sebagai “orang kampong” yang tinggal di kota justru menyebabkan “ketidakjelasan’.
Rasa sebagai orang kampong tidak mampu memenuhi batin sebagai masyarakat yang
agraris. Merasakan sebagai orang kampong yang menumbuhkan kejujuran, kesederhanaan
hingga keteladanan.
Disisi
lain, “sebagai orang kota”, sikap kampungan masih dibawa ke kampong. Entah
sikap kampungan yang dibawa dari kampong dan tidak mampu diubah di kota.
Ataupun “kelalaian” yang tidak memberikan makna kepada orang kampong.
Sudah
seharusnya, mudik menjadi ajang introspeksi terhadap masyarakat yang agararis.
Yang menawarkan kejujuran, keteladanan, kesederhanaan, menghargai orang lain.
Namun
sebagai orang kota, mudik dijadikan sebagai bekal dan pembelajaran kepada orang
kampong. Tentang sikap berjuang di tanah orang. Menawarkan sikap yang ulet,
hemat dan menghargai waktu.
Baca : MUDIK