10 Juli 2017

opini musri nauli : Aktivis Paripurna


Aktivis Paripurna 
In Memoriam  Pahrin Siregar


Disaat hendak tidur malam, saya kemudian ditelepone Feri Irawan (Direktur Walhi Jambi 2000 – 2008). Mengabarkan telah perginya Pahrin Siregar (Pahrin). Jam menunjukkan 22.12. Saya kemudian kaget.
Belum usai menghela nafas panjang telah perginya Arif Munandar (Direktur Walhi Jambi 2008 – 2012) dan Nurdin (Direktur Walhi Kalteng), berita tentang kepergian Pahrin kembali menyesakkan dada. Satu persatu “orang baik” meninggalkan berita duka dan kenangan panjang.

Pahrin kukenal sebagai aktivis kritis menjelang kejatuhan Orde baru. Pahrin adalah aktivis yang memobilisasi mahasiswa demonstrasi disaat “suasana” politik mulai panas menjelang tahun 1998.

Bersama-sama dengan mahasiswa Unja, demonstrasi Unja menjadi demonstrasi terus membesar dan mengepung kantor DPRD. Demonstrasi yang menjadi Jambi tidak ketinggalan peran didalam masa reformasi.

Ketangguhan sebagai aktivis dibuktikan dengna memimpin demonstrasi ke kantor Polisi Militer di Jelutung. Waktu itu “militer” begitu berkuasa, sehingga demonstrasi ke sarang Polisi Militer adalah “nyali” yang tidak setiap aktivis memilikinya.

Usai pergantian rezim dan Soeharto “lengser keprabon”, Pahrin kemudian terlibat didalam pemantauan Pemilu 1999. Bersama-sama dengan Fauzi Syam (Dosen Fakultas Hukum), pemantauan 1999 merupakan “bentuk” pengabdian total dari Pahrin yang memilih jalur di luar sistem politik.

Ketekunan Pahrin juga dirasakan dengan menggeluti “teknis” kehutanan yang menjadi “trade mark” Pahrin didalam LSM lingkungan. Pahrin kemudian tergabung didalam Forum Penyelamat Hutan Jambi (FPHJ) yang terdiri dari 20 LSM di Jambi.

Dalam interaksi diskusi di internal, penguasaan materi tentang teknis kehutanan membuat FPHJ cukup diperhitungkan. Dalam melakukan pemantauan teknis kehutanan, FPHJ cukup menggigit sehingga berbagai kritik terhadap penegakkan hukum di sector kehutanan menjadikan Pahrin menjadi “vocal point” yang mumpuni.

Setelah 2007, saya kurang mengikuti diskusi-diskusi di FPHJ. Baik karena kesibukan sebagai pengacara ataupun forum-forum yang membuat saya tidak intensif mengikutinya.

Saya kemudian mendapatkan kabar ketika Pahrin mengambil studi ilmu hukum dan kemudian meneruskannya menjadi Pengacara.

Secara pribadi, diskusi dengan penulis 6 bulan yang lalu. Kami berdiskusi tentang penegakkan hukum kasus-kasus korupsi.

Saya menangkap kesan, materi ilmu hukum yang dibicarakan oleh Pahrin lebih banyak menitikberatkan praktek-praktek jauh dari “rasa ketidakadilan”. Namun saya tetap mengingatkan sebagai advokat yang harus tetap menghormati putusan pengadilan. Dalam bahasa yang lugas saya katakan. “Kuasai dasar-dasar ilmu hukum. Bertindaklah sebagai penegak hukum. Sehingga hukum tetap dihormati”. Diskusipun terhenti setelah saya memasuki ruang sidang.

Kabar dari Feri kemudian melengkapi jalinan cerita tentang Pahrin. Aktivis jalanan, pendesain program, menguasai teknis bidang yang digeluti dan kemudian menjadi advokat. Sehingga tidak salah kemudian, Pahrin adalah aktivis paripurna.

Selamat jalan, kawan…. Terlalu banyak kenangan yang telah kita jalin.