Didalam
menjatuhkan putusan adat, Pemangku adat didalam LID dikenal sebagai “tigo tali
sepilin, tigo tungku sejerang” ada juga menyebutkan “Tiga tali sepilin. Tungku
sejarangan”. Sebagaimana seloko “Putusan dari adat, diakui syara’ dan dibenarkan
oleh Pemerintah”.
Dalam penyelesaian adat “berjenjang
naik, bertanggo turun”. Masalah-masalah yang muncul diselesaikan di tingkat
adat paling bawah, dan seterusnya.
Untuk membuktikan kesalahan berangkat dari nilai filosofi yaitu “tumbuh
diatas tumbuh”. Tumbuh diatas tumbuh kemudian dilanjutkan
dalam seloko seperti “Tumbuh diatas tumbuh. Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air. Atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya.
Makna “Tumbuh diatas tumbuh, atau Tumbuh diatas tumbuh. Kayu
terbentang nan dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air. Atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, adalah asas yang
dikenal dalam hukum pembuktian.
Asas ini sering disebut “asas
actori in cumbit probation (siapa yang menggugat dialah yang wajib
membuktikan)”, “asas probatio qui dicit, non qui negat ( beban
pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat), asas probandi
necessitas incumbit illi qui agit (beban pembuktian dilimpahkan kepada
penggugat), asas semper necessitas probandi incumbit ei qui agit (beban
pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat), asas affirmanti, non neganti,
incumbit probation (pembuktian bersifat wajib bagi yang mengajukan bukan
yang menyangkal).
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat
naik. Tinjau Ruas dengan bukunya
adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini
merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara
praktis.
Tumbuh diatas tumbuh, “Kayu terbentang nan dititih. Yang rentah diturut
baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai
berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya, sebenarnya berangkat dari teori yang disampaikan oleh von Buri yang
kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah
teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Ada juga menyebutkan Hubungan
sebab akibat (causaliteitsleer).
Teori
ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari
Jerman.Teori conditio sine qua non disebut juga teori equivalen (equivalent
theorie). Maka teori Von Buri ini menerima beberapa sebab (meervoudige
causa).
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat).
Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan
sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Dengan
melihat teori yang disampaikan oleh Von Buri, maka nilai filosofi dari “tumbuh
diatas tumbuh”, “Kayu terbentang nan
dititih. Yang rentah diturut baji. Yang berjalan dengan air “ atau Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan
bukunya, berangkat dari setiap perbuatan yang
ditimbulkan merupakan akibat dari sebab sebuah peristiwa.
Sehingga
teori von Buri ternyata merupakan teori yang universal, rasional dan dapat
digunakan masyarakat didalam menyelesaikan berbagai persoalan.
Kekuatan pembuktian Hukum Adat
Melayu Jambi ditandai dengan seloko “Kuat Kerbo Kareno tali, Kuat perkaro
karno saksi dan bukti”.
Batas-batas
wilayah ditandai batas alam seperti “Sungai,
bukit, gunung, lopak, tanjung, danau atau kondisi tanah (tanah tumbuh, renah). Batas alam
tersebut dikaitkan dengan tumbuhan tertentu atau hewan tertentu yang ada di
tempat tersebut. Seperti Sungai Aur, sungai
rotan, lubuk ruso, padang kelapo, sungai bungur.
Sedangkan batas tanah ditandai dengan “parit”,
“watas”, “batas” atau “pinang belarik”, “mentaro”. Batas dibuat dengan cara
membangun saluran air (parit), menanam tanaman tua (seperti jengkol, durian,
duku, petai). Atau pohon pinang ditanami rapat mengelilingi tanah. Di daerah
uluan Jambi disebut “pinang belarik”. Sedangkan didaerah ilir sering dikenal
sebagai “mentaro”. Sebagaimana seloko “kok pinang lah seko, kok kelapo lah
gayur”.
Atau dengan bukti sebagaimana seloko “masih
ada suri bejak parit melintang”, “onjak lagi tercacak”, kandang lagi berlarik”,
“masih ado tanaman mudo, lagi diulang”, “tanaman nan diulang”, “Tanaman
serempak tumbuh” atau “Nan dilambuk serempak gedang”.
Selain itu dilihat “tanaman tumbuh” atau
“tunggul pemarasan”, atau tanda batang”.
Tanda dan bukti lain dapat berupa “Sejulur daun kayu, serentang akar”.
Sedangkan mengenai saksi dikenal “kiri-kanal”.
Saksi kiri-kanal dikenal “tetangga tanah”.
Kesemuanya adalah bukti yang tidak
terbantahkan. Asas ini dikenal Asas
Indubium facto. Sebagaimana seloko “Terserak
ke bumi, terbentang ke langit”
Apabila
menemui kesulitan maka ““Sesat diujung jalan,
balik kepangkal jalan, Kusut diurai,
kuruh dijernikan”. Ada juga menyebutkan “mencari asal dari usul. Mencari pangkal dari ujung”. Atau “mencari
pangkal dari ujung. Mencari asal dari usul”.
Terhadap kesalahan maka “Salah makan dimuntahkan, salah
ambek dibalekkan”. Maka Lid kemudian mengembalikan hak dari pemilik
tanah sebenarnya.
Bandingkan dengan sistem pembuktian didalam hukum pidana