14 Maret 2021

opini musri nauli : Belajar dari Kampung (4)




Dari berbagai pendekatan disiplin ilmu, dipastikan masyarakat melayu Jambi mempunyai keunikan, kekayaan dan pengetahuan yang berlimpah. 


Baik dari Seloko (nilai-nilai filosofi), Bahasa, teknologi pertanian/teknologi perikanan, kerajinan (motif rumah dan motif batik) maupun berbagai kebudayaan yang lengket dalam kehidupan sehari-hari. 


Selain itu dapat dilihat dari pendekatan hukum. 


Ditengah masyarakat Melayu Jambi yang kemudian tertuang didalam ikrar seperti “Adat bersendikan syara’. Syara’ bersendikan kitabullah”, ikrar-ikrar yang diucapkan didalam seloko sering menarik perhatian. 


Berbeda dengan tujuan hukum nasional yang menempatkan “ketertiban (law and order)”, hukum adat Jambi tidak semata-mata bertujuan untuk menempatkan “ketertiban (law and order). Bahkan lebih jauh. 


Perselisihan yang terjadi (silang sengkato), justru diberikan sanksi “denda”. Bukan “hukuman (sanksi)” badan. 


Seloko-seloko seperti “Kerbu sekok. Beras seratus (Satu kerbau dan beras 100 gantang)”, “kambing sekok. Beras duopuluh (Seekor kambing. Beras 20 gantang)”, “ayam sekok. Beras segantang (seekor ayam. Beras segantang)”, menempatkan hukum adat Melayu Jambi bertujuan “tidak semata-mata menghukum pelanggar sanksi”. Tapi justru “memulihkan keadaan korban”. 


Sebelum dimulai “pemberian sanksi” kepada pelanggar sanksi, korban diutamakan untuk diselesaikan. Apakah korban “bersedia memaafkan pelaku” dan kemudian memberikan maaf.


Apabila korban tidak bersedia memaafkan, maka proses hukum adat tidak dapat dilanjutkan. Dan pemberian sanksi tidak dapat diterapkan. 


Atau apabila sanksinya kemudian “tidak sesuai” dengan ketentuan hukum adat, maka korban dapat mengajukan keberatan terhadap putusan adat. 


Mekanisme ini kemudian dikenal “jenjang adat. Bertangkap naik. Bertangga turun”. 


Namun hampir praktis, setiap sidang adat yang dilakukan, dikarenakan korban bersedia memaafkan. Selain juga turun keluarga besar kedua belah pihak (yang dikenal sidang ninik mamak), keengganan memaafkan justru menimbulkan dampak kurang baik kepada korban. 


Korban dianggap “tidak tunduk dengan hukum adat”. Selain itu justru akan meminggirkan dalam kehidupan sehari-hari. 


Selain itu juga “nama besar” ninik mamak juga dipertaruhkan. Nama ninik mamak yang dihormati oleh masyarakat justru sering kali “meluluhkan” sikap keras dari korban. 


Tapi yang paling penting, pada prinsipnya masyarakat Melayu Jambi bukanlah “generasi dendam”. Setiap kesalahan yang terdapat manusia merupakan sikap manusiawi”. Sebagaimana seloko “tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada manusia yang luput”. 


Namun apabila korban “bersedia” menerima permohonan maaf dari perbuatan pelaku, maka sidang adat dapat digelar. Dan pelaku kemudian dijatuhi sanksi berdasarkan kesalahannya. 


Nah. Mekanisme yang mengutamakan keadilan bagi korban dan tidak semata-mata menghukum pelaku kemudian dikenal sebagai “tentram”. Mekanisme ini adalah tujuan hukum yang ideal. 


Justru masyarakat Melayu Jambi mengajarkan pondasi penting didalam bertujuan hukum. Selain menghormati korban, tujuan hukum justru menciptakan tidak sekedar adalah “ketertiban (law and order). Tapi adalah ketentraman. 


Jauh melompat daripada tujuan hukum nasional yang semata-mata menekankan ketertiban (law and order).