Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis Menurut metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang pengetahuan itu.
Arti kata “logika” adalah pengetahuan tentang kaidah berfikir. Dapat juga diartikan sebagai jalan pikiran yang masuk akal.
Sedangkan arti kata “rasional” adalah menurut pikiran dan pertimbangan dengan alasan yang logis. Atau Menurut pikiran yang Sehat. Cocok dengan akal.
Secara umum logika bersifat rasional. Sedangkan ilmu yang disusun harus bersifat logis dan sistematis. Demikianlah esensi ilmu yang berkembang di dunia ilmu pengetahuan.
Namun akhir-akhir ini, menekankan logika dan rasional semata justru meminggirkan sifat ilmu pengetahuan itu sendiri.
Padahal hakekat ilmu pengetahuan untuk memenuhi dahaga “rasa ingin tahu”. Keingintahuan dari manusia terus berkembang. Sehingga berbagai pertanyaan demi pertanyaan silih berganti.
Satu pengetahuan yang sudah pakem ternyata didalam perkembangan justru runtuh dengan sendirinya dengan perkembangan itu sendiri.
Sehingga ilmu kemudian ditempatkan sebagai kebenaran sementara (kebenaran tentatif).
Selain itu menempatkan semata-mata “logis-sistematis” sebagai pondasi ilmu justru berhadapan dengan logika itu sendiri.
Bukankah ketika “akal Sederhana” manusia pasti menolak bentuk bumi bulat sebagaimana sering dan akhir-akhir ini menjadi polemik.
Pertanyaan Sederhana apabila Bumi itu bulat lalu bagaimana manusia tidak jatuh dari Bumi ?
Nah, logika Sederhana itulah kemudian berkembang. Dan ilmu pengetahuan mampu menjelaskan bagaimana bumi “menangkap didalam bumi” yang kemudian dikenal sebagai “grativasi”.
Jadi ketika “logika” belum mampu menjangkau dan masih dianggap misteri, maka selain “logis-sistematis” harus diperlukan upaya lain.
Nah. Ditengah masyarakat Melayu Jambi, cara-cara menangkap gejala-gejala alam itu berlandaskan kepada seloko “Alam takambang Jadi Guru”. Mengutip ujaran dari Minangkabau.
“Alam”lah yang menjadi guru. Mengajarkan berbagai hal tentang alam dan gejala-gejalanya.
Namun yang belum banyak diberi ruang adalah “cara pandang” antara masyarakat yang semata-mata mengagungkan ilmu pengetahuan dengan cara pandang masyarakat Melayu Jambi. Kalaulah tidak disebut sebagai masyarakat timur.
Terhadap gejala-gejala alam ataupun pengetahuan yang didapatkan dari alam sekitarnya yang menjadi cara pandang masyarakat Melayu Jambi masih ditempatkan sebagai “alam magis”. Bahkan terhadap peran-peran tokoh-tokoh informal yang mengatur kehidupan sosial sehari-hari lagi-lagi ditempatkan sebagai “tokoh magis”.
Padahal apabila ditelisik lebih jauh, justru “logika” Mereka (kaum barat) yang susah menangkap gejala-gejala alam ataupun cara pandang masyarakat Melayu Jambi.
Cara Pandang kaum barat mengenai gejala-gejala alam, cara pandang dan kepemimpinan masyarakat Melayu Jambi dan menempatkan sebagai “alam magis” atau “tokoh magis” justru meminggirkan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Masih ingat ketika Candi Borobudur sebagai mahakarya arsitektur Indonesia kemudian ditempatkan sebagai “matematika tingkat tinggi”.
Kesulitan ilmu pengetahuan modern untuk mengungkapkan “rahasia” yang tersembunyi di Pembangunan Candi Borobudur yang dibangun abad XIV justru baru terungkap beberapa tahun terakhir.
Lalu mengapa ilmu modern belum mampu menjangkau sehingga baru terungkap 7 abad kemudian. Apakah ketika baru terungkap disebabkan materi “etnomatetika” baru diketahui ?