22 Juni 2021

opini musri nauli : Mancung


Kata “mancung” berasal dari kata “pancung”. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti kata “pancung” diartikan sebagai “ujung”, penjuru dari kain. Arti lain dari kata “pancung” adalah “menetak”. Dihubungkan dengan “memenggal kepala”. Sehingga dikenal dengan “hukuman pancung” sebagai salah satu cara pelaksanaan hukuman mati. 


Selain itu juga dikenal “mati dengan disetrum” atau “ditembak. 

Ditengah masyarakat Melayu Jambi, kata “pancung” dengan penggunaan “memancung” sering dilekatkan dengan seloko seperti “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek”. 


Makna dan simbol dari seloko “Yang berhak untuk memutih menghitamkan. Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek” kemudian dilekatkan kepada Pemimpin ditengah masyarakat. 


Sebagai pemangku adat, posisinya begitu penting dan dihormati sebagaimana seloko “memakan habis. Memancung putus”. Di tangan merekalah segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum adat dapat diselesaikan.


Dalam proses penyelesaiannya, maka Pemangku adat kemudian memanggil para penghulu masing-masing setiap dusun untuk menyelesaikannya.


Setelah diputuskan oleh pemangku adat, maka terhadap sanksi haruslah dilaksanakan. Pelanggaran atau pengingkaran terhadap sanksi ataupun perundingan tidak dapat diselesaikan maka diserahkan kepada Pemangku Negeri yang ditandai dengan seloko “alam berajo, negeri bebatin”.


Kata-kata “Yang memakan habis, memancung putus” dimaknai sebagai “kata-kata pemimpin didalam mengambil keputusan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kata-katanya didengar dan merupakan solusi yang disampaikannya.


Kata-kata “dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Dimaknai sebagai “ketika setelah mengambil keputusan, maka keputusan yang telah dihasilkan tidak boleh disesali. Keputusan yang dilakukan harus dengna keyakinan yang terbaik untuk masyarakat.


Berbeda dengan “takuk” dan “tutuh”, kata “pancung” adalah “menebang” atau menetak hingga “putusnya pohon”. Berbeda dengan “takuk” yang hanya memotong setelah pohon. Sebagai tanda. Atau “tutuh” yang hanya memotong dahan dan ranting semata maka “pancung” menebang hingga tumbangnya pohon. 


Selain itu, istilah “pancung” juga dapat dilihat didalam seloko “pancung alas”. Pancung alas dapat diartikan sebagai “cukai”. 


Penarikan “cukai” inilah yang biasa disebutkan dengan “pancung alas. Selain itu Pesirah juga berhak menarik “cukai pasar. Sistemnya sama. “sepuluh duo”.


Selain itu Istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai  tanah kemudian dikenal didalam berbagai putusan Pengadilan (Yurisprudensi). Seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014, Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur Nomor 01/Pdt.G/2014/PN.Tjt tanggal 14 Juli 2014, Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 732/Pid.B/2015/PN.Jmb dikuat berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 17/Pid/2016/PT.JMB dan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013 PN.Ktl tanggal 26 September 2013.