Yap.
Tidak dapat dipungkiri, ketika dunia modern Menempatkan “empiris-rasional” kemudian menghasilkan “materiil”. Sehingga ilmu hanya mengakui “empiris-rasional” sebagai ilmu (rasional).
Ilmu yang berangkat dari “rasio” lebih menitikberatkan kepada akal. Sebuah ciptaan dari Sang pencipta untuk memahami alam Semesta.
Namun ketika “akal” ditempatkan semata-mata “satu-satunya” memahami alam Semesta, disinilah titik berangkat yang kemudian “meminggirkan” manusia.
Sehingga diluar dari daya tangkap akal maka tidak dapat disebutkan sebagai ilmu pengetahuan. Sehingga materi diluar akal justru ditempatkan sebagai “tidak masuk akal”.
Padahal akal cuma “alat bantu”. Selain akal, Tuhan justru menciptakan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri. Belum lagi adanya “campur tangan” tuhan didalam memberikan pengetahuan.
Entah itu Wahyu (yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul), karomah (keramat yang diberikan kepada manusia pilihan) ataupun ilham (wangsit).
Padahal Issac Newton atau Archimedes justru menggunakan ilmu pengetahuan untuk menjelaskan peristiwa yang menimpanya.
Bukankah ketika Issac Newton menemukan hukum gravitasi Bumi justru atau ketika adanya pohol apel yang jatuh dari pohon.
Atau Archimedes yang menemukan hukum “gaya achimedes” ketika hendak berendam di bak air, kemudian air tumpah. Kemudian berlari keluar dari bak air yang kemudian meneriakkan “Aurek. aureka”.
Ketika Issac Newton atau Achimedes kemudian menemukan pengetahuan, maka sering disebutkan sebagai “ilham”, “wangsit”. Walaupun sebenarnya “itulah karomah” dalam konteks yang berbeda.
Dengan demikian maka untuk memahami Candi Borobudur selain menggunakan “akal”, juga belajar Simbol, makna tersirat, cara pandang (Kosmopolitan). Termasuk menggunakan intuisi, intelegensia, nurani dan nalurai.
Sehingga Penelitian 2008 hingga 2011 kemudian dapat membaca kerumitan didalam melihat Candi Borobudur.
Menurut detik.com Jumlah stupa Borobudur memakai rumus 2:3:4. Tinggi dan diameter stupa memakai rumus 1,7:1,8:1,9. Sedangkan kaki candi, badan candi dan kepala/puncak candi memakai rasio 4:6:9.
9 Sebagai angka penting dalam spiritualisme Buddha diaplikasikan dalam pola arca dan anak tangga. Misalnya, total ada 504 arca dimana 5+0+4=9. Lalu total anak tangga ada 360 dimana 3+6+0=9.
Konsep matematika terakhir adalah teselasi atau penyusunan berlapis oleh suatu bentuk poligon. Setiap stupa Candi Borobudur disusun dari 36 kubus berukuran 15x15 cm. Total luas permukaan kubus adalah 36 x (15x15) = 8.100 cm2 yang jika semua angkanya dijumlahkan 8+1+0+0=9.
Ilmuwan pun yakin Candi Borobudur adalah produk etnomatematika. Angka-angka yang muncul dalam ajaran dan filosofi Buddha hadir dalam elemen-elemen bangunan Candi Borobudur mengikuti pola geometri frakta.
Tidak salah kemudian manusia modern justru belajar dari warisan adiluhung leluhur moyang Indonesia.
Meminggirkan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri dan mengabaikan makna dan simbol dari “Benda” yang dilihat justru akan “menjauhkan” manusia didalam melihat alam.
Dan ciptaan yang Diberikan Tuhan kepada manusia justru hanya menempatkan manusia sebagai “makhluk semata”. Bukan manusia yang mempunyai makhluk yang Mulia.
Tentu saja masih banyak pengetahuan ditengah masyarakat yang harus diungkap.
Sekali lagi pengetahuan masyarakat adalah pengetahuan empirik. Kebenarannya dapat diukur.
Dan ilmu pengetahuan harus mampu mengungkapnya. Bukan hanya menempatkan sebagai “alam magis”.
Baca : Ilmu, Logika dan Rasional