Setiap masyarakat, dalam interaksinya dengan alam dan sesama, tidak hanya sekadar bertahan hidup, tetapi juga membangun sebuah sistem pengetahuan yang khas—sebuah epistemologi. Epistemologi, atau teori pengetahuan, adalah fondasi bagaimana suatu komunitas memahami realitas, membedakan yang benar dan salah, serta merumuskan cara terbaik untuk hidup berkelanjutan. Dalam konteks ini, kita dapat memandang ‘Akar’ bukan hanya sebagai organ biologis tumbuhan, tetapi sebagai sebuah metafora epistemologis yang mendalam.
1. Akar sebagai Sumber dan Batas Pengetahuan
Epistemologi menentukan batas, asal usul, dan keabsahan pengetahuan yang diyakini suatu masyarakat. Ia tidak hanya merujuk pada sumber pengetahuan—apakah melalui akal (rasionalisme), pengalaman indrawi (empirisme), intuisi, atau wahyu—tetapi juga cara pengetahuan itu diuji validitasnya, seperti melalui teori korespondensi, koherensi, atau pragmatis.
* Akar Pengetahuan Lokal (Epistemologi Empiris-Intuitif): Dalam masyarakat tradisional, seperti yang tercermin dalam kearifan Melayu Jambi (seperti Seloko atau pengobatan tradisional dengan daun Sirsak, Ketapang, dll.), epistemologi yang terbentuk seringkali bersifat empiris-intuitif dan teruji melalui adaptasi lingkungan selama berabad-abad. Pengetahuan mengenai khasiat tanaman obat didapatkan dari pengalaman indrawi (empiris), melalui proses trial and error yang berulang, hingga mencapai validitas pragmatis (terbukti menyembuhkan atau efektif). Akar dalam konteks ini adalah pengalaman hidup nyata dan interaksi langsung dengan alam. Mengabaikan epistemologi semacam ini sama saja dengan mengabaikan sebuah sistem verifikasi pengetahuan yang telah terbukti efektif dalam konteks spesifik lokal.
* Akar Pengetahuan Ilmiah (Epistemologi Positivistik): Dalam tradisi ilmiah modern, akar pengetahuan adalah observasi yang terkontrol, hipotesis yang teruji, dan metode yang terstruktur. Pengetahuan diyakini sah ketika ia dapat diukur, direplikasi, dan diverifikasi secara universal. Akar di sini adalah metode ilmiah (scientific method) yang ketat.
* Akar Pengetahuan Universal (Rasionalisme): Bagi kaum rasionalis, akar pengetahuan sejati adalah akal murni dan prinsip-prinsip yang secara logis niscaya (seperti dalam matematika).
2. Akar sebagai Asas Keberlanjutan (Aksiologi)
Epistemologi selalu berjalin kelindan dengan Aksiologi (teori nilai). Pengetahuan yang ditemukan oleh suatu masyarakat selalu memiliki nilai yang melandasinya. Akar dalam konteks aksiologi melambangkan nilai keberlanjutan dan kesehatan.
* Akar Adat dan Nilai Sosial: Ritual dan prosesi adat (seperti “Berusik sirih begurau pinang”) merupakan inkarnasi dari nilai-nilai sosial (keramahan, kesopanan) yang mereproduksi sebuah institusi sosial. Akar di sini adalah nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi perilaku dan tatanan masyarakat.
* Akar Kesehatan Lingkungan: Pengetahuan masyarakat tentang khasiat tanaman dan pencegahan penyakit terkait dengan kebersihan air dan lingkungan (misalnya, peran air gambut). Pengetahuan ini berakar pada aksiologi pelestarian lingkungan dan kesehatan komunal.
Dengan demikian, “akar” menurut epistemologi tidak sekadar merujuk pada bagian tersembunyi dari pohon, melainkan merujuk pada fondasi tempat pengetahuan bersumber, metode pengujiannya, dan nilai-nilai yang menjadikannya relevan serta berkelanjutan bagi kehidupan.
2. Konflik Akar Epistemologi
Konflik tata kelola sumber daya alam, seperti yang terjadi pada ekosistem gambut Jambi, seringkali berakar dari perbedaan epistemologis.
• Akar Global vs. Lokal: Pengetahuan ilmiah-positivistik dari luar seringkali berbenturan dengan pengetahuan empiris-intuitif lokal. Ketika pengetahuan ilmiah (misalnya, teknik drainase modern) diterapkan tanpa mengakui validitas pragmatis dari kearifan lokal yang telah teruji (misalnya, menjaga kelembaban gambut), hasilnya adalah degradasi lingkungan dan konflik sosial. Akar masalahnya adalah kegagalan untuk mengakui adanya pluralitas epistemologi.
Untuk mencapai solusi yang berkelanjutan, harus ada upaya untuk mensintesakan kedua akar pengetahuan ini: memadukan metodologi ilmiah untuk memverifikasi khasiat tradisional (laboratorium bio-kimia tradisional) dan mengintegrasikan kearifan lokal sebagai basis perencanaan lingkungan. Epistemologi yang sehat adalah yang mampu menumbuhkan dan memelihara akar pengetahuan yang beragam, mengakui bahwa kebenaran dapat berakar di berbagai lahan.
