Perceraian sering kali menjadi babak yang paling menantang dalam kehidupan orang dewasa. Namun, di tengah hiruk pikuk proses hukum dan emosi yang bergejolak, kita harus ingat bahwa pihak yang paling merasakan dampaknya adalah anak-anak.
Bagi seorang anak, perceraian orang tua bukanlah akhir dari sebuah keluarga, melainkan perubahan drastis pada struktur kehidupannya. Seringkali fokus orang tua terlalu tertuju pada pembagian harta atau hak asuh. Padahal yang utama adalah memastikan bahwa hak-hak dasar anak tetap terpenuhi seutuhnya, tanpa terkurangi sedikit pun oleh perpisahan ini.
Setelah perceraian kehidupan anak harus tetap berjalan senormal mungkin. Negara melalui perangkat hukumnya, hadir untuk memastikan hal ini.
Hukum tidak hanya mengatur siapa yang akan menjadi wali. Tapi juga menjamin setiap kebutuhan anak—mulai dari kasih sayang hingga pendidikan—tetap terpenuhi oleh kedua orang tua.
Kita perlu menyadari bahwa kedudukan hukum anak adalah prioritas utama. Bukan sekadar objek sengketa melainkan subjek yang harus dilindungi masa depannya.
Inilah yang menjadi landasan utama bagi kita untuk membahas lebih jauh hak-hak mereka pasca-perpisahan orang tua.
Hak-hak anak pasca-perceraian telah dijamin secara tegas dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Seperti Hak untuk Bertumbuh Kembang dan Mendapat Perlindungan, Hak Atas Pengasuhan dan Pemeliharaan (Hak Asuh) dan Hak Atas Nafkah dan Biaya Pendidikan
Dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan hak anak pasca-perceraian, prinsip "Kepentingan Terbaik Anak" adalah utama. Prinsip ini berfungsi sebagai kompas moral dan hukum bagi hakim.
Sehingga tidak sekedar mencari siapa yang benar atau salah diantara keduanya. Namun mulai fokus yang paling menguntungkan bagi fisik, psikologis, emosional, dan sosial anak.
Sebagai contoh, hak asuh bisa saja diberikan kepada ayah jika terbukti ibu tidak stabil secara emosi atau finansial. Prinsip ini memastikan bahwa kebutuhan anak tidak dikorbankan demi ego atau kepentingan finansial orang tua.
Salah satu tantangan terbesar pasca-perceraian adalah memastikan anak tetap memiliki akses dan hubungan yang sehat dengan orang tua yang tidak memegang hak asuh (biasanya ayah).
Hukum menjamin hak anak untuk berkomunikasi dan bertemu dengan kedua orang tuanya. Sayangnya dalam banyak kasus, mantan pasangan sering menggunakan anak sebagai alat tawar-menawar atau melarang pertemuan. Hal ini melanggar hak anak. Kedua orang tua wajib menahan diri dari apa yang disebut "parental alienation" (pengasingan orang tua) yaitu upaya untuk menjauhkan anak dari mantan pasangan.
Perlindungan hak anak pasca-perceraian bukan hanya tanggung jawab orang tua, tetapi juga negara dan masyarakat.
Apabila terjadi pelanggaran hak seperti penelantaran nafkah atau penghalang-halangan akses bertemu, pengadilan dan aparat penegak hukum harus bertindak tegas. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 139 K/AG/2007 menegaskan besaran nafkah dengan melihat kemampuan finansial Ayah dan tingkat kebutuhan nyata anak (termasuk biaya pendidikan, kesehatan, dan kehidupan sehari-hari). Dalam perkembangannya, sering kali ditetapkan adanya kenaikan nafkah secara berkala (misalnya, 10% per tahun). Ketetapan ini penting untuk mengantisipasi inflasi dan meningkatnya kebutuhan anak seiring bertambahnya usia, terutama saat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dengan demikian maka Putusan ini menekankan bahwa kewajiban memberikan nafkah anak adalah wajib dan tidak bisa gugur dengan alasan putusnya perkawinan, bahkan jika Ayah menikah lagi. Kewajiban ini baru berakhir jika anak sudah dewasa (21 tahun atau menikah) dan dapat mandiri.
Yurisprudensi ini Sekaligus memberikan pesan yang jelas kepada publik dan orang tua. hukum melindungi hak finansial anak secara serius. Kegagalan menaati putusan penetapan nafkah dapat berakibat pada sanksi hukum. Penelantaran.
Begitu pula masyarakat. Penting untuk menciptakan lingkungan yang mendukung co-parenting yang baik. Kedua mantan pasangan tetap bisa bekerja sama membesarkan anak tanpa konflik terbuka. Kesadaran ini membantu mengurangi stigma dan tekanan sosial yang mungkin dirasakan anak.
Advokat. Tinggal di Jambi
