16 Agustus 2012

opini musri nauli : Strict Liability Dalam Konsep Hukum



Beberapa waktu yang lalu, KOMNAS HAM mengeluarkan rekomendasi berdasarkan hasil investigasi terhadap pelanggaran HAM warga yang terkena dampak lumpur Lapindo. Rekomendasi ini kemudian mendesak Pemerintah untuk terus menuntut pertanggungjawaban para pihak yang berkaitan dengan persoalan Lumpur Lapindo. KOMNAS HAM berharap penegak hukum dapat menggunakan konsep tanggung jawab mutlak (strict liability).

Sebagai sebuah konsep hukum, strict liability merupakan konsep yang dikenal dalam sistem anglo saxon. Sebuah konsep yang “mengenyampingkan” dalam konsep ilmu hukum pidana dalam sistem Eropa kontinental yang berangkat, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. (Walaupun dalam tataran akademis, konsep ini merupakan kajian yang sudah lama disuarakan)

Sebagai sebuah konsep yang masih baru dalam tataran sistem hukum Eropa kontinental, maka konsep ini akan ”merubah” berbagai pandangan dan pemikiran yang hinggap di kalangan praktisi hukum.

Dari ranah inilah, kemudian penulis menyadari, konsep ”
strict liability” akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam pembuktian.

Sebagai contoh. Konsep “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, telah hinggap dan menjadi pengetahuan sehari-hari praktisi hukum. Dalam persoalan kebakaran asap dan lahan yang rutin terjadi di Jambi dan berbagai daerah sekitar Jambi seperti Palembang, Riau yang kemudian ”Mengirimkan” asap ke Singapura dan Malaysia, para praktisi hukum masih menggunakan pendekatan pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Pihak penyidik masih berkutat mencari alat bukti seperti saksi yang melihat kebakaran asap, masih mencari barang bukti lainnya seperti dirijen, bensin, masih mempelajari apakah kebakaran itu merupakan ”kesengajaan (dolus)”, atau merupakan persoalan bencana.

Pemikiran inilah yang menjadi salah satu faktor terpenting, hingga kini ”setiap” kebakaran, hampir praktis, sulit menjerat daripada pelaku pembakaran. Alasan yang paling dikemukakan oleh penyidik yang disampaikan oleh juru resmi kepolisian yang disampaikan di media massa, sangat klasik. ”Kita tidak bisa menyeret pelaku pembakaran hutan, karena tidak ada saksi yang mengetahui dan melihat langsung pelaku pembakaran itu”.

Dengan pernyataan ini, setidak-tidaknya menggambarkan asas ” “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, masih hinggap dan masih berkutat dengan hukum acara pidana sebagaimana diatur didalam KUHAP. Pembuktian masih menggunakan pendekatan, yang secara sederhana dirumuskan ”tidak dapat dipidana seseorang apabila tidak ada kesalahan”, dimana kesalahan itu ditentukan dengna menggunakan pendekatan alat bukti 184 KUHAP seperti saksi, ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka.

Konsepsi ini sebenarnya merupakan pemikiran dari KUHP yang memang produk peninggalan kolonial Belanda yang berangkat dari sistem hukum Eropa kontinental yang menjadi pegangan bagi penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan proses di muka persidangan.

Padahal didalam lapangan hukum diluar KUHP terutama terhadap kejahatan yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan (pokoknya UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang diatur diluar KUHP), Indonesia sudah menganut sistem hukum Anglo Saxon yang berbeda jauh dengan sistem hukum Eropa kontinental.

Misalnya ada tanggung jawab korporasi, class action, legal standing, strict liability, Proportional Liability dan sebagainya. Konsep ini merupakan terjemahan langsung dari konsep dari sistem hukum anglo saxon.
Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Maastricht, Belanda, Prof Michael Faure menjelaskan bahwa konsep Strict Liability sebenarnya sangat simpel. Untuk menggugat dengan konsep ini, penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak. 
Salah satunya, mengajukan gugatan pertanggungjawaban kepada perusahan yang menyebabkan polusi atau kerusakan lingkungan. Dalam ranah hukum lingkungan, gugatan ini dikenal dengan strict liability atau tanggung jawab mutlak perusahaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Pokoknya, cukup melihat apakah terjadi kerusakan lingkungan yang diakibatkan beroperasinya suatu perusahaan. Jadi, tak perlu dilihat perilaku atau cara perusahaan itu menjalankan usahanya,” ujar Faure saat menyampaikan kuliah umum Pertanggungjawaban Perdata dan Kompensasi bagi Korban Pencemaran Lingkungandi Jakarta, Jumat (25/3). (hukumonline.com)
Faure menyatakan dalam rezim Strict Liability tak perlu membuktikan bahwa perusahaan telah melanggar hukum ketika menjalankan usahanya. Artinya, apakah perusahaan itu telah bekerja sesuai dengan undang-undang atau tidak, bukanlah persoalah sepanjang praktik perusahaan itu memang telah mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Dengan menggunakan pernyataan dari Faure, maka terhadap pelaku kebakaran asap ditentukan tidak semata-mata dicari “siapa yang menjadi pelaku” kebakaran asap, namun dapat ditentukan diminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability) dari korporasi.

Dalam pembuktian, penyidik langsung saja menggunakan peta citralansat yang dengan mudah menentukan “titik api (hotspot)” dimana kebakaran itu terjadi. Kemudian dari “titik api (hotspot)” digunakan mekanisme pemetaan digitasi letak titik api, dihubungkan dengan izin pemberian dari perusahaan dan kemudian akan mudah ditetapkan sebagai pelaku pembakaran.

Dengan mekanisme inilah, UU Perkebunan, UU kehutanan, ataupun UU lingkungan hidup dapat diterapkan kepada perusahaan yang berasal dari titik api tersebut.

Tinggal ditentukan, apakah adanya unsur “kesengajaan (dolus)” atau  “kelalaian (culpa). Dengan mekanisme ini maka selain mudah diterapkan tentu saja konsepsi ini akan menyeret pelaku.

Kembali ke pembahasan yang disampaikan oleh KOMNAS HAM, maka terhadap perusahaan dapat saja digunakan mekanisme ini. Pembuktian tidak hanya “semata-mata” perusahaan pengebor yang menjadi penyebab lumpur lapindo, tapi perusahaan dapat diseret dimuka persidangan telah ““kesengajaan (dolus)” atau  “kelalaian (culpa).” yang menyebabkan terjadinya lumpur.

Dari ranah inilah, kemudian rekomendasi KOMNAS HAM menarik untuk ditelusuri, apakah penegak hukum “mau” dan “mampu” menyeret perusahaan dimuka persidangan. Apabila perusahaan tidak juga diseret dimuka persidangan, maka dalam konsepsi HAM, negara bertanggungjawab terjadinya pelanggaran HAM. Negara kemudian menjadi aktor melakukan pelanggaran HAM atau setidak-tidaknya melakukan “pembiaran (by ommision)” terjadinya pelanggaran HAM.

Dengan mengikuti alur pemikiran yang telah ditawarkan oleh KOMNAS HAM yang menawarkan konsep “strict liability, maka rekomendasi KOMNAS HAM cukup serius untuk diikuti oleh pemangku negara sebagai beban “melindung” Hak asasi manusia.