Beberapa
waktu yang lalu, KOMNAS HAM mengeluarkan rekomendasi berdasarkan hasil
investigasi terhadap pelanggaran HAM warga yang terkena dampak lumpur Lapindo.
Rekomendasi ini kemudian mendesak Pemerintah untuk terus menuntut
pertanggungjawaban para pihak yang berkaitan dengan persoalan Lumpur Lapindo.
KOMNAS HAM berharap penegak hukum dapat menggunakan konsep tanggung jawab
mutlak (strict liability).
Sebagai
sebuah konsep hukum, strict liability merupakan konsep yang dikenal dalam
sistem anglo saxon. Sebuah konsep yang “mengenyampingkan”
dalam konsep ilmu hukum pidana dalam sistem Eropa kontinental yang berangkat, untuk
menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan
yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea.
(Walaupun dalam tataran akademis, konsep ini merupakan kajian yang sudah lama
disuarakan)
Sebagai sebuah konsep
yang masih baru dalam tataran sistem hukum Eropa kontinental, maka konsep ini
akan ”merubah” berbagai pandangan dan pemikiran yang hinggap di kalangan
praktisi hukum.
Dari ranah inilah, kemudian penulis menyadari, konsep ”strict liability” akan menimbulkan kesulitan dan kerumitan dalam pembuktian.
Sebagai
contoh. Konsep “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non
facit reum nisi mens sir rea, telah
hinggap dan menjadi pengetahuan sehari-hari praktisi hukum. Dalam persoalan
kebakaran asap dan lahan yang rutin terjadi di Jambi dan berbagai daerah
sekitar Jambi seperti Palembang, Riau yang kemudian ”Mengirimkan” asap
ke Singapura dan Malaysia, para praktisi hukum masih menggunakan pendekatan
pembuktian dalam sistem hukum Eropa Kontinental. Pihak penyidik masih berkutat
mencari alat bukti seperti saksi yang melihat kebakaran asap, masih mencari
barang bukti lainnya seperti dirijen, bensin, masih mempelajari apakah
kebakaran itu merupakan ”kesengajaan (dolus)”, atau merupakan persoalan
bencana.
Pemikiran inilah yang
menjadi salah satu faktor terpenting, hingga kini ”setiap” kebakaran,
hampir praktis, sulit menjerat daripada pelaku pembakaran. Alasan yang paling
dikemukakan oleh penyidik yang disampaikan oleh juru resmi kepolisian yang
disampaikan di media massa, sangat klasik. ”Kita tidak bisa menyeret pelaku
pembakaran hutan, karena tidak ada saksi yang mengetahui dan melihat langsung
pelaku pembakaran itu”.
Dengan pernyataan ini,
setidak-tidaknya menggambarkan asas ” “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf
zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea”, masih hinggap dan masih berkutat dengan
hukum acara pidana sebagaimana diatur didalam KUHAP. Pembuktian masih
menggunakan pendekatan, yang secara sederhana dirumuskan ”tidak dapat
dipidana seseorang apabila tidak ada kesalahan”, dimana kesalahan itu
ditentukan dengna menggunakan pendekatan alat bukti 184 KUHAP seperti saksi,
ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka.
Konsepsi ini
sebenarnya merupakan pemikiran dari KUHP yang memang produk peninggalan
kolonial Belanda yang berangkat dari sistem hukum Eropa kontinental yang
menjadi pegangan bagi penyidik, Jaksa Penuntut Umum dan proses di muka
persidangan.
Padahal didalam
lapangan hukum diluar KUHP terutama terhadap kejahatan yang berkaitan dengan
sumber daya alam seperti UU Perkebunan, UU Kehutanan, UU Pertambangan (pokoknya
UU yang berkaitan dengan sumber daya alam yang diatur diluar KUHP),
Indonesia sudah menganut sistem hukum Anglo Saxon yang berbeda jauh dengan
sistem hukum Eropa kontinental.
Misalnya ada tanggung
jawab korporasi, class action, legal
standing, strict liability, Proportional Liability dan sebagainya.
Konsep ini merupakan terjemahan langsung dari konsep dari sistem hukum anglo
saxon.
Guru Besar Hukum
Lingkungan Universitas Maastricht, Belanda, Prof Michael Faure menjelaskan
bahwa konsep Strict Liability sebenarnya sangat simpel. Untuk menggugat
dengan konsep ini, penggugat tak perlu membuktikan apakah perusahaan melanggar hukum sehingga
menyebabkan kerusakan lingkungan atau tidak.
Salah satunya, mengajukan gugatan pertanggungjawaban
kepada perusahan yang menyebabkan polusi atau kerusakan lingkungan. Dalam ranah
hukum lingkungan, gugatan ini dikenal dengan “strict liability” atau tanggung jawab mutlak
perusahaan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Pokoknya, cukup melihat apakah terjadi kerusakan lingkungan yang
diakibatkan beroperasinya suatu perusahaan. Jadi, tak perlu dilihat perilaku
atau cara perusahaan itu menjalankan usahanya,” ujar Faure saat menyampaikan
kuliah umum “Pertanggungjawaban Perdata dan Kompensasi bagi Korban Pencemaran
Lingkungan” di Jakarta, Jumat (25/3). (hukumonline.com)
Faure menyatakan
dalam rezim Strict Liability tak perlu membuktikan bahwa perusahaan
telah melanggar hukum ketika menjalankan usahanya. Artinya, apakah perusahaan
itu telah bekerja sesuai dengan undang-undang atau tidak, bukanlah persoalah
sepanjang praktik perusahaan itu memang telah mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Dengan
menggunakan pernyataan dari Faure, maka terhadap pelaku kebakaran asap
ditentukan tidak semata-mata dicari “siapa
yang menjadi pelaku” kebakaran asap, namun dapat ditentukan diminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability)
dari korporasi.
Dalam
pembuktian, penyidik langsung saja menggunakan peta citralansat yang dengan
mudah menentukan “titik api (hotspot)”
dimana kebakaran itu terjadi. Kemudian dari “titik api (hotspot)” digunakan mekanisme pemetaan digitasi letak
titik api, dihubungkan dengan izin pemberian dari perusahaan dan kemudian akan
mudah ditetapkan sebagai pelaku pembakaran.
Dengan
mekanisme inilah, UU Perkebunan, UU kehutanan, ataupun UU lingkungan hidup
dapat diterapkan kepada perusahaan yang berasal dari titik api tersebut.
Tinggal
ditentukan, apakah adanya unsur “kesengajaan
(dolus)” atau “kelalaian (culpa).
Dengan mekanisme ini maka selain mudah diterapkan tentu saja konsepsi ini akan
menyeret pelaku.
Kembali
ke pembahasan yang disampaikan oleh KOMNAS HAM, maka terhadap perusahaan dapat
saja digunakan mekanisme ini. Pembuktian tidak hanya “semata-mata” perusahaan pengebor yang menjadi penyebab lumpur lapindo,
tapi perusahaan dapat diseret dimuka persidangan telah ““kesengajaan (dolus)” atau
“kelalaian (culpa).” yang menyebabkan terjadinya lumpur.
Dari
ranah inilah, kemudian rekomendasi KOMNAS HAM menarik untuk ditelusuri, apakah
penegak hukum “mau” dan “mampu” menyeret perusahaan dimuka
persidangan. Apabila perusahaan tidak juga diseret dimuka persidangan, maka
dalam konsepsi HAM, negara bertanggungjawab terjadinya pelanggaran HAM. Negara
kemudian menjadi aktor melakukan pelanggaran HAM atau setidak-tidaknya
melakukan “pembiaran (by ommision)” terjadinya pelanggaran
HAM.
Dengan
mengikuti alur pemikiran yang telah ditawarkan oleh KOMNAS HAM yang menawarkan
konsep “strict liability, maka
rekomendasi KOMNAS HAM cukup serius untuk diikuti oleh pemangku negara sebagai
beban “melindung” Hak asasi manusia.