Bayar
pengacara, mahal !!!.
Itulah
ujaran yang paling sering terdengar,
seseorang
yang akan menggunakan jasa pengacara.
Iya.
Memang bayar pengacara memang mahal. Untuk menghasilkan seorang Pengacara
memang mahal. UU No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, telah menetapkan seorang
menjadi pengacara harus memenuhi persyaratan (1) sarjana hukum atau pendidikan
berlatar belakang hukum, (2) mengikuti pendidikan khusus Profesi Advokat, (3)
Lulus ujian, (4) magang selama 2 tahun, (5) dilantik oleh Pengadilan Tinggi.
Apabila
melihat persyaratan demikian, maka apabila kita kalkulasikan, estimasi biaya
yang diperlukan untuk menjadi pengacara memang mahal. Berlatar belakang hukum,
maka dia harus sarjana hukum atau pendidikan berlatar belakang hukum. Minimal
menghasilkan seorang sarjana hukum paling cepat selama 4 tahun. Apabila
dikalkulasikan, maka minimal biaya, 8 x SPP biaya semester. Itu minimal. Belum
lagi buku silabus yang berjibun yang mesti dibaca (baik dibeli, photo copy buku
atau sekedar menggandakan diktat) dikalikan banyaknya mata kuliah. Apabila
rata-rata per semester lebih kurang 24 sks dengan 8-9 mata kuliah, maka biaya
yang dibutuhkan dapat kita ketahui.
Penggandaan
tugas-tugas presentasi per mata kuliah, seminar, KKN dan skripsi. Tentu saja
rata-rata biaya yang dikeluarkan tidak
berkurang dari angka-angka yang telah diuraikan.
Setelah
menjadi sarjana hukum atau pendidikan berlatar belakang hukum, harus mengikuti
Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) selama 38 SKS dengan 36-37 mata kuliah
dengan biaya rata-rata pendaftaraan Rp 4.000.000,- - Rp 6.000.000,-.
Mengikuti
ujian yang “hanya” setahun sekali dan dengan komposisi berbanding 1 : 20, maka
ujian merupakan salah satu seleksi “terketat” untuk menghasilkan lulusan
terbaik. Dan terbukti, ujian pengacara merupakan salah “pertarungan” yang fair
menghasilkan pengacara, karena lebih bisa diaplikasikan dalam implementasi
kebutuhan pengacara.
Setelah
lulus ujian, maka calon pengacara harus magang selama 2 tahun di kantor
pengacara yang memang sudah ditunjuk. Minimal harus pernah mendampingi 3
perkara pidana dan 6 perkara perdata.
Dengan
melihat persyaratan untuk menjadi pengacara, maka dapat dimengerti apabila
menghasilkan seorang pengacara memang mahal dan membutuhkan waktu.
Namun
pengacara bukanlah pekerjaan. Sebagai jabatan publik (yang ditandai oleh
pengakuan negara dengan melakukan sumpah jabatan dihadapan pengadilan Tinggi),
profesi pengacara tidak berkaitan dengan “urusan” bisnis. Pengacara lebih tepat
dikategorikan sebagai Profesi. Dalam berbagai literatur, yang dapat
dikategorikan sebagai profesi adalah, jabatan mulia, mempunyai persyaratan
tertentu, mempunyai kode etik, mempunya sanksi yang melanggarnya. Dengan
melihat persyaratan demikian, maka sebenarnya pengacara lebih tepat
dikategorikan sebagai profesi daripada pekerjaan semata.
Dalam
etik yang menjadi pegangan dan dirumuskan didalam berbagai kode etik profesi
pengacara, dirumuskan, seorang pengacara tidak dibenarkan menolak perkara dengan alasan biaya. Seorang
pengacara hanya dibenarkan untuk menolak perkara dengan alasan tidak ada dasar
hukum dan tidak bertentangan dengan hati nurani.
Rumusan
inilah kemudian dikenal sebagai Officium nobile. Atau jabatan yang mulia. Dalam
tradisi Romawi, Nobile lebih dititikberatkan kepada “Pengurus” yang bertugas
membetulkan titah raja yang bertentangan dengan rakyat. Tugas ini kemudian
menjadi cikal bakal lahirnya sejarah advokat dalam masyarakat Eropa
Kontinental.
Dalam
rumusan inilah, kemudian UU No. 18 Tahun 2003 mengadopsinya. Pasal 1 angka 9
dirumuskan “Bantuan Hukum adalah jasa
hukum yang diberikan oleh Advokat secara cumacuma kepada Klien yang tidak mampu.
Didalam sumpahnya sebagaimana rumusan pasal 4 ayat (2), pengacara menegaskan “bahwa saya tidak akan menolak
untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang
menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya
sebagai seorang Advokat.
Rumusan
inilah yang menjadi pegangan bagi pengacara untuk menentukan biaya honorarium (karena profesi yang mulia, maka dia berhak
menerima uang honorarium bukan gaji) yang ditetapkan secara wajar berdasarkan
persetujuan kedua belah pihak (pasal 21 ayat (2) ).
Bahkan
tidak bisa dengan tidak ada biaya, maka seorang pengacara menolak sebuah
perkara. Masyarakat kurang mampu. Pasal ini merupakan penegasan dari Pasal 22
(1) UU Advokat “Advokat wajib memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu
KUHAP justru memberikan hak kepada tersangka dan memberikan
kewajiban kepada pengacara untuk mendampingi kasus “prodeo”.Pasal 54 KUHAP “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum
selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang
ditentukan dalam undang-undang ini.
Pasal 55 “Untuk mendapatkan penasihat hukum tersebut dalam
Pasal 54, tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri penasihat hukumnya.
Pasal
56 ayat (1) Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas
tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana
lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat
yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
menunjuk penasihat hukum bagi mereka. Sedangkan ayat (2) Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk
bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan
cuma-Cuma.
Dengan
melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka memang benar mahal menggunakan
jasa pengacara. Namun pengacara bukanlah pekerjaan. Dia merupakan profesi yang
terikat terhadap kepentingan hukum dan kepentingan para pihak yang berhak menikmati
keadilan dimuka persidangan tanpa terhalang haknya dengan alasan tidak ada
biaya. Dalam konsepsi HAM, Negaralah yang kemudian diberi tanggung jawab untuk
memastikan hak-hak masyarakat, kemudian menugaskan dan mewajibkan pengacara
untuk memastikan hak-hak masyarakat untuk diperjuangkan dimuka hukum.