17 Agustus 2012

opini musri nauli : MUDIK, HEDONISME DAN KAPITALISME




Sebagai tradisi masyarakat urban yang masih berfikir agraris, mudik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Mudik sudah menjadi “ritual” tahunan yang mengalahkan “makna” 17 Agustus, dan makna Idul Fitri sendiri.
Dalam kesempatan yang tidak sengaja, penulis berkesempatan “menyaksikan” gebyar “mudik” didaerah yang paling sering menjadi “headline” berita di berbagai media massa.

Secara tidak sengaja, penulis harus “bertugas” ke Cirebon, sebuah kota di daerah Pantura untuk “menyelesaikan” pekerjaan yang mesti dikerjakan cepat. Penulis “terjebak dengan “arus mudik” dalam hitungan H-5 -  H-2. Penulis harus segera kesana, karena menurut informasi dari keluarga tersangka, mereka tidak mendapatkan pelayanan hukum dan adanya “kekhawatiran” penyalahgunaan proses hukum sehingga dapat merugikan tersangka.

Semula, untuk memastikan tidak “terjebak” lebaran dijalanan atau di kampung orang, penulis meminta kepada keluarga tersangka “memastikan” tiket” kepulangan. Setelah mendapatkan kepastian tiket pulang, barulah penulis berani ke daerah Cirebon.

Perjalanan dimulai dari bandara Sultan Thaha, Jambi dengan naik maskapai Lion. Sebuah maskapai yang paling sering “Delay”. (Memahami SI Delay, http://www.musri-nauli.blogspot.com/2011/06/memahami-si-delay.html)

Tentu saja, tidak perlu diterangkan bagaimana suasana di Bandara menjelang lebaran. Bandara yang kecil sudah sesak dengan berbagai penumpang yang “agak” tertib karena suasana Ramadhan.

Turun dari di Bandara Soekarno Hatta, jangan ditanya, bagaimana gemuruhnya di bandara internasional – kebanggaan Indonesia. Semua berteriak, calo taksi, ojek, taksi gelap, carteran mobil. Semuanya berbaur dan lebih tepat “suasana” di terminal kampung Rambutan. Tidak menampakkan suasana di bandara.

Penulis berkehendak menuju ke Cirebon menggunakan Kereta api. Namun mendapatkan informasi, kereta sudah “full booking” sampai H+7.  mau tidak mau, penulis harus menggunakan angkutan umum. Bis malam yang “nongkrong” di Pulogadung.

Setelah menaikkan bis malam di Pulogadung, maka suasana “lebih” terasa. Berbagai ragam dan tingkah laku penumpang “arus mudik” kelihatan. Hampir praktis penumpang yang menaikkan bis malam, penuh sesak dengan membawa berbagai barang. Lengkap dengan berbagai kotak yang diikat dengan tali.

Keberangkatan angkutan umum memang diwarnai dengan berbagai teriakkan. Kacang.. kacang.. Aqua.. aqua.. koran.. koran. Saputangan.. saputangan.. kacang-kacang.. pokoknya seru habis.

Bus malam yang memang menguasai jalur “pantura”, lebih tepat dikemudikan bus seperti kesetanan daripada disebut ngebut. Jalur tol dari Pulogadung hingga Bekasi yang “biasanya” dapat ditempuh paling lama 1 jam, hampir praktis ditempuh 3 jam lebih. Belum lagi di persimpangan Cikampek, jalur yang mempertemukan bus dari Merak menuju ke jalur pantura.

Suasana di jalanan, memang terasa sekali. Umbul-umbul dari berbagai sponsor terlihat di jalanan. Dari telkomsel, rokok, mobil, atau iklan-iklan obat berjejer sepanjang jalan tol.

Masuk ke persimpangan Cikampek, ucapan selamat Idul Fitri sudah terpampang. Mulai dari calon yang maju ke Pilkada, calon parlement, anggota parlemen (baik untuk kota, Propinsi hingga anggota Parlemen DPR-RI) di Indramayu dan Cirebon berjejeran. Lengkap dengan photo “ramah”, tersenyum, tangan terkatup didada, berpeci lengkap dengan baju koko, atau berjilbab.
Belum lagi organisasi-organisasi yang membangun posko-posko.
Hingga jarak tempuh yang mestinya jauh, tidak terasa melihat pemandangan sepanjang jalan.

Namun yang pasti, suasana arus mudik tentu saja tidak boleh dilupakan. Para arus mudik yang menggunakan sepeda motor tidak henti-hentinya berseliweran. Mobil yang digunakan bermacam ragam. Mulai dari angkutan umum resmi seperti bus, travel, ataupun kendaraan pribadi seperti Innova, Toyota kijang, Avanza, Avivi, Xenia. Lengkap dengan berbagai barang yang diletakkan diatas mobil. Ada yang diikat cukup rapi, ada yang diikat sekedarnya (mungkin jarak tempuh dekat sehingga tidak perlu serius mengikatnya). Belum lagi truk atau pick up yang “disulap” dijadikan tenda di belakang dapat mengangkut penumpang lebih banyak.

Belum lagi “gerai” seperti Indomart, Alfamart yang terdapat di setiap simpang sepanjang jalur pantura. Atau Rumah makan cepat saji seperti KFC, J-Co, Pizza hut yang “Heboh” dipenuhi para pengunjung. Begitu juga rumah makan padang seperti rumah makan sederhana, Rumah Makan Siang – malam, Rumah Makan Tiga saudara merupakan pilihan dan dipenuhi dari pengunjung.

Setelah sampai di Cirebon dan selesai urusan di sebuah Polsek, penulis berinisiatif kembali ke jakarta via Bandung. Pertimbangan ini dipilih, karena selain, penulis pernah menggunakan kereta api dari Cirebon ke jakarta, penulis belum pernah menempuh Cirebon ke Bandung.

Maka setelah hampir 2 jam menunggu (mobil ke bandung, penumpangnya sedikit. Seluruh armada mobil memang dikerahkan untuk jalur mudik), penulis berkesempatan ke Bandung via Kadipaten, Majalengka, Sumedang baru sampai di Bandung.

Selama perjalanan ke Bandung, sepanjang jalur menuju ke Bandung, praktis tidak mengalami kemacetan. Namun dari arah sebaliknya (Bandung ke Cirebon), praktis mengalami kemacetan. Sepanjang jalan, mulai dari Kadipaten, Majalengka, Sumedang, hingga Jatinangor, praktis mengalami kemacetan yang cukup parah. Penulis kemudian mengabarkan teman yang hendak ke Bandung, yang menurut penulis, apabila hanya ke Bandung, dapat ditempuh waktu 5 jam. Namun apabila hendak menempuh perjalanan yang sebaliknya (BandungCirebon) akan memakan waktu semalaman.

Dari perjalanan yang ditempuh penulis, makna mudik kemudian “bergeser”. Dari semula ingin menjadi “Fitri” atau menjalin silahturahmi menjadi persoalan “ritual” yang sudah kehilangan makna hakiki.

Mudik sudah menjadi “ajang” pamer” keberhasilan meraup rejeki di rantau orang. Seluruh barang yang dibawa ke kampung halaman, tidak jauh dari gadget tercanggih. Mulai dari HP yang disentuh, laptop, Ipad (table) terkini.

Muka-muka yang seharusnya “tawadduh”, teduh karena menjalani “ujian” dari agama, menjadi muka-muka yang bersih karena lebih sibuk berdandan. Makanan sembarangan, merokok tidak peduli orang, cuek “seakan-akan” urusan puasa adalah persoalan agama semata. Tidak menyentuh hakiki dari “pembersihan diri”.

Dari perspektif inilah, kemudian “arus mudik” lebih tepat dilihat sebagai “hedonisme” daripada makna hakiki “pembersihan jiwa dan batin” setelah 11 bulan bekerja.

Selain itu juga “arus mudik” juga digunakan dan menghasilkan putaran yang luar biasa. Kompas pernah merilis putaran uang selama arus mudik menghasilkan 120 trilyun. Uang yang seharusnya bisa digunakan untuk memaknai “arus mudik” dimanfaatkan justru dilihat sebagai “peluang” bisnis. Bayangkan. Telkomsel “mengklaim” akan meraup keuntungan dari sms sebesar 15 milyar/sms. Belum lagi operator-operator lain yang “Sudah” terbayang wajah ceria akan mendapatkan “ledakan” bisnis yang melimpah ruah.

Dari pengamatan subyektif yang telah penulis saksikan, maka “arus mudik”, secara bisnis, justru “dinikmati“ kapitalis bisnis yang sebenarnya tidak ada hubungan dengan tradisi mudik. “arus mudik” telah bergeser. Dari persoalan “pengayaan batin” menjadi persoalan “pamer kemewahan/ hedonisme” yang hanya akan diraup keuntungannya kapitalis bisnis yang memang pintar memanfaatkannya.