Sebagai tradisi masyarakat
urban yang masih berfikir agraris, mudik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
sehari-hari. Mudik sudah menjadi “ritual”
tahunan yang mengalahkan “makna” 17
Agustus, dan makna Idul Fitri sendiri.
Dalam
kesempatan yang tidak sengaja, penulis berkesempatan “menyaksikan” gebyar “mudik”
didaerah yang paling sering menjadi “headline”
berita di berbagai media massa.
Secara
tidak sengaja, penulis harus “bertugas”
ke Cirebon, sebuah kota di daerah Pantura untuk “menyelesaikan” pekerjaan yang mesti dikerjakan cepat. Penulis “terjebak dengan “arus mudik” dalam
hitungan H-5 - H-2. Penulis harus segera
kesana, karena menurut informasi dari keluarga tersangka, mereka tidak
mendapatkan pelayanan hukum dan adanya “kekhawatiran”
penyalahgunaan proses hukum sehingga dapat merugikan tersangka.
Semula,
untuk memastikan tidak “terjebak”
lebaran dijalanan atau di kampung orang, penulis meminta kepada keluarga
tersangka “memastikan” tiket”
kepulangan. Setelah mendapatkan kepastian tiket pulang, barulah penulis berani
ke daerah Cirebon .
Perjalanan
dimulai dari bandara Sultan Thaha, Jambi dengan naik maskapai Lion. Sebuah
maskapai yang paling sering “Delay”. (Memahami
SI Delay, http://www.musri-nauli.blogspot.com/2011/06/memahami-si-delay.html)
Tentu
saja, tidak perlu diterangkan bagaimana suasana di Bandara menjelang lebaran.
Bandara yang kecil sudah sesak dengan berbagai penumpang yang “agak” tertib karena suasana Ramadhan.
Turun
dari di Bandara Soekarno Hatta, jangan ditanya, bagaimana gemuruhnya di bandara
internasional – kebanggaan Indonesia .
Semua berteriak, calo taksi, ojek, taksi gelap, carteran mobil. Semuanya
berbaur dan lebih tepat “suasana” di
terminal kampung Rambutan. Tidak menampakkan suasana di bandara.
Penulis
berkehendak menuju ke Cirebon
menggunakan Kereta api. Namun mendapatkan informasi, kereta sudah “full booking” sampai H+7. mau tidak mau, penulis harus menggunakan
angkutan umum. Bis malam yang “nongkrong”
di Pulogadung.
Setelah
menaikkan bis malam di Pulogadung, maka suasana “lebih” terasa. Berbagai ragam dan tingkah laku penumpang “arus mudik” kelihatan. Hampir praktis
penumpang yang menaikkan bis malam, penuh sesak dengan membawa berbagai barang.
Lengkap dengan berbagai kotak yang diikat dengan tali.
Keberangkatan
angkutan umum memang diwarnai dengan berbagai teriakkan. Kacang.. kacang.. Aqua.. aqua.. koran.. koran. Saputangan..
saputangan.. kacang-kacang.. pokoknya seru habis.
Bus
malam yang memang menguasai jalur “pantura”,
lebih tepat dikemudikan bus seperti kesetanan daripada disebut ngebut. Jalur
tol dari Pulogadung hingga Bekasi yang “biasanya”
dapat ditempuh paling lama 1 jam, hampir praktis ditempuh 3 jam lebih. Belum
lagi di persimpangan Cikampek, jalur yang mempertemukan bus dari Merak menuju
ke jalur pantura.
Suasana
di jalanan, memang terasa sekali. Umbul-umbul dari berbagai sponsor terlihat di
jalanan. Dari telkomsel, rokok, mobil, atau iklan-iklan obat berjejer sepanjang
jalan tol.
Masuk
ke persimpangan Cikampek, ucapan selamat Idul Fitri sudah terpampang. Mulai
dari calon yang maju ke Pilkada, calon parlement, anggota parlemen (baik untuk kota ,
Propinsi hingga anggota Parlemen DPR-RI) di Indramayu dan Cirebon berjejeran. Lengkap dengan photo “ramah”, tersenyum, tangan terkatup
didada, berpeci lengkap dengan baju koko, atau berjilbab.
Belum
lagi organisasi-organisasi yang membangun posko-posko.
Hingga
jarak tempuh yang mestinya jauh, tidak terasa melihat pemandangan sepanjang
jalan.
Namun
yang pasti, suasana arus mudik tentu saja tidak boleh dilupakan. Para arus mudik yang menggunakan sepeda motor tidak
henti-hentinya berseliweran. Mobil yang digunakan bermacam ragam. Mulai dari
angkutan umum resmi seperti bus, travel, ataupun kendaraan pribadi seperti
Innova, Toyota kijang, Avanza, Avivi, Xenia . Lengkap dengan
berbagai barang yang diletakkan diatas mobil. Ada yang diikat cukup rapi, ada yang diikat
sekedarnya (mungkin jarak tempuh dekat
sehingga tidak perlu serius mengikatnya). Belum lagi truk atau pick up yang
“disulap” dijadikan tenda di belakang
dapat mengangkut penumpang lebih banyak.
Belum
lagi “gerai” seperti Indomart,
Alfamart yang terdapat di setiap simpang sepanjang jalur pantura. Atau Rumah
makan cepat saji seperti KFC, J-Co, Pizza hut yang “Heboh” dipenuhi para
pengunjung. Begitu juga rumah makan padang
seperti rumah makan sederhana, Rumah Makan Siang – malam, Rumah Makan Tiga
saudara merupakan pilihan dan dipenuhi dari pengunjung.
Setelah
sampai di Cirebon dan selesai urusan di sebuah
Polsek, penulis berinisiatif kembali ke jakarta
via Bandung .
Pertimbangan ini dipilih, karena selain, penulis pernah menggunakan kereta api
dari Cirebon ke jakarta ,
penulis belum pernah menempuh Cirebon ke Bandung .
Maka
setelah hampir 2 jam menunggu (mobil ke bandung , penumpangnya
sedikit. Seluruh armada mobil memang dikerahkan untuk jalur mudik), penulis
berkesempatan ke Bandung via Kadipaten,
Majalengka, Sumedang baru sampai di Bandung .
Selama
perjalanan ke Bandung , sepanjang jalur menuju ke
Bandung ,
praktis tidak mengalami kemacetan. Namun dari arah sebaliknya (Bandung ke Cirebon ),
praktis mengalami kemacetan. Sepanjang jalan, mulai dari Kadipaten, Majalengka,
Sumedang, hingga Jatinangor, praktis mengalami kemacetan yang cukup parah.
Penulis kemudian mengabarkan teman yang hendak ke Bandung ,
yang menurut penulis, apabila hanya ke Bandung ,
dapat ditempuh waktu 5 jam. Namun apabila hendak menempuh perjalanan yang
sebaliknya (Bandung – Cirebon )
akan memakan waktu semalaman.
Dari
perjalanan yang ditempuh penulis, makna mudik kemudian “bergeser”. Dari semula ingin menjadi “Fitri” atau menjalin silahturahmi menjadi persoalan “ritual” yang sudah kehilangan makna
hakiki.
Mudik
sudah menjadi “ajang” pamer”
keberhasilan meraup rejeki di rantau orang. Seluruh barang yang dibawa ke
kampung halaman, tidak jauh dari gadget tercanggih. Mulai dari HP yang
disentuh, laptop, Ipad (table) terkini.
Muka-muka
yang seharusnya “tawadduh”, teduh
karena menjalani “ujian” dari agama,
menjadi muka-muka yang bersih karena lebih sibuk berdandan. Makanan
sembarangan, merokok tidak peduli orang, cuek “seakan-akan” urusan puasa adalah persoalan agama semata. Tidak
menyentuh hakiki dari “pembersihan diri”.
Dari
perspektif inilah, kemudian “arus mudik”
lebih tepat dilihat sebagai “hedonisme”
daripada makna hakiki “pembersihan jiwa
dan batin” setelah 11 bulan bekerja.
Selain
itu juga “arus mudik” juga digunakan
dan menghasilkan putaran yang luar biasa. Kompas pernah merilis putaran uang
selama arus mudik menghasilkan 120 trilyun. Uang yang seharusnya bisa digunakan
untuk memaknai “arus mudik”
dimanfaatkan justru dilihat sebagai “peluang”
bisnis. Bayangkan. Telkomsel “mengklaim”
akan meraup keuntungan dari sms sebesar 15 milyar/sms. Belum lagi
operator-operator lain yang “Sudah”
terbayang wajah ceria akan mendapatkan “ledakan”
bisnis yang melimpah ruah.
Dari
pengamatan subyektif yang telah penulis saksikan, maka “arus mudik”, secara bisnis, justru “dinikmati“ kapitalis bisnis yang sebenarnya tidak ada hubungan
dengan tradisi mudik. “arus mudik”
telah bergeser. Dari persoalan “pengayaan
batin” menjadi persoalan “pamer
kemewahan/ hedonisme” yang hanya akan diraup keuntungannya kapitalis bisnis
yang memang pintar memanfaatkannya.
Baca : IDUL FITRI 2011