16 Agustus 2012

opini musri nauli : UU LALU LINTAS DAN SAIFUL JAMIL.


Beberapa waktu yang lalu, Saiful Jamil yang “dituduh” sebagai pelaku laka lantas yang “menghebohkan” mengakibatkan meninggal istrinya mengajukan gugatan terhadap Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Gugatan ini didasarkan kepada tafsiran “kelalaiannya” dan “orang lain” yang dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.

Berangkat dari tema yang ditawarkan, kita akan sedikit mengupas tentang kelalaian dalam ilmu hukum pidana. Tema ini cukup menarik apabila kita hubungkan dihebohkan dengan peristiwa Mobil Daihatsu Xenia B 2479 XI yang dikemudikan Afriyani Susanti saat kecelakaan maut di Tugu Tani yang menyebabkan sembilan nyawa melayang.

Porsi mengenai teori kelalaian dalam lapangna ilmu hukum pidana cukup banyak dibahas. Teori ini penting untuk membedakan terhadap kesalahan sebagaimana didalam rumusan KUHP. Teori ini merupakan pondasi penting untuk melihat kesalahan dan para pelaku dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam ilmu hukum, terhadap kesalahan (schuld) dibedakan antara Kesengajaan (dolus) dengan kelalaian (culpa). Dalam praktek, persoalan ini sering kali sesat (mistake) dan sering mencampur-adukkan antara kesengajaan (dolus) dengan kelalaian (culpa). Penulis akan sedikit menceritakan berbagai peristiwa yang dialami penulis untuk sekedar, bagaimana menentukan kesengajaan dan kelalaian sering menjadi persoalan di tengah masyarakat.

Peristiwa pertama dalam diskusi informal di kantin Pengadilan Negeri Jambi dalam ngolor ngidul membahas kasus Afriyani yang saat itu baru saja terjadi. Hampir sebagian peserta diskusi yang “menolak” menerapkan pasal pembunuhan dalam kasus yang dituduh sebagai “laka lantas”. Penulis sedikit orang yang meyakini, terhadap kasus “Tugu Tani Maut” dapat diterapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan pembunuhan sebagaimana dalam rumusan KUHP. Dengan demikian, maka pasal-pasal yang berkaitan dengan pembunuhan berangkat dari teori kesengajaan (dolus). Yurisprudensi ini pernah diterapkan dalam kasus mikrolet mini dalam peristiwa “Kali sunter”. (WACANA PASAL PEMBUNUHAN DALAM XENIA MAUT, Jambi Ekspress, 28 Januari 2012 )

Peristiwa kedua, ketika penulis didatangi oleh seorang mahasiswa mengajak berdiskusi ingin menyelesaikan S1 dengan membuat skripsi. Mahasiswa bersangkutan tertarik dengan tindak pidana lingkungan hidup. Penulis kemudian menggali keterangan, apa yang tertarik dari tindak pidana lingkungan hidup. Namun penulis kaget, ketika mahasiswa tersebut tidak bisa membedakan tindak pidana umum (konvensional yang diatur didalam KUHP)  dengan tindak pidana lingkungan hidup (tindak pidana khusus). Kekagetan penulis berlanjut ketika mahasiswa tersebut tidak mengetahui buku didalam KUHP, tidak bisa membedakan antara kesengajaan (dolus) dan kelalaian (Culpa). Bahkan dengan gampang mahasiswa tersebut mengatakan “kasus Afriyani” adalah kecelakaan lalu lintas. Dimana kecelakaan lalu lintas berangkat dari teori kelalaian (culpa).

Moment ketiga, adalah penyampaian dari pemateri dalam sebuah acara penguatan litigator lingkungan hidup di Batam. Penulis kaget ketika dalam pemaparannya, pemateri memberikan istilah kesalahan (seharusnya schuld) namun diikuti dengna istilah Culpa.

Berangkat dari tiga peristiwa yang telah dipaparkan termasuk berita terkini gugatan Saiful Jamil di MK, ada beberapa kesalahan prinsip dan mengganggu yang perlu diluruskan agar pemahaman itu tidak salah kaprah dan menyesatkan (mistake).

Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld) dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu :
a. Kesengajaan sebagai maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis).

Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.

Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.

Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.


Diluar dari bentuk kesengajaan (opzettelijk), kita kemudian mengenal dengan  kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan. Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam pasal-pasal UU Lalu Lintas.

Dengan mengikuti berbagai pendapat yang kemudian sudah menjadi pegangan ahli untuk menentukan kesalahan (schuld) dan membedakan antara kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), maka kita akan membahas satu persatu.

Pernyataan yang didasarkan kepada ”tugu tani maut”, Pembuktian apakah terhadap pelaku diterapkan berdasarkan kepada bentuk kesengajaan dilihat kepada berbagai fakta-fakta untuk melihat penerapan kesengajaan (opzettelijk). Apakah kesadaran dari pengemudi yang mengendarai yang melihat akibat yang terjadi (peristiwa tabrakan itu sendiri). Dengna melihat, korban pada umumnya berada di trotoar (yang memang dikhususkan untuk pejalan kaki), maka bantahan dari kalangan yang mendalilkan peristiwa ”XENIA MAUT” diterapkan dengan bentuk kelalaian (culpa) kurang tepat dijadikan alasan. Selain itu juga, desakan berbagai pihak agar menerapkan pasal-pasal pembunuhan (yang berdasarkan kepada teori kesengajaan/opzettelijk) yang terus menggelinding, membuat wacana penerapan pasal-pasal pembunuhan harus mendapat perhatian dari institusi kepolisian.

Dengan mendasarkan kepada argumentasi yang telah dipaparkan, maka terhadap kasus Saiful Jamil juga dapat dijerat dengan tuduhan yang cukup serius, Kesengajaan (dolus) yang mengakibatkan ”matinya” istri Saiful Jamil.
Porsi ini cukup luas untuk kita bahas.

Pengakuan Saiful Jamil yang menyatakan kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya itu disebabkan angin kencang. Saat kejadian, ia mengaku mobil yang dikendarainya seperti didorong angin hingga akhirnya terguling. Saat itu Saiful Jamil merasa mobilnya seolah didorong angin kencang dan mengakibatkan setir yang dikemudikannya berbelok arah. "Tapi waktu mau saya benerin (posisi setirnya), malah enggak bisa. Tiba-tiba kayak blong, enggak bisa dikendalikan, sampai akhirnya mobil terguling," jelasnya. Saiful Jamil juga mengatakan kalau kecelakaan yang merengut nyawa isterinya itu merupakan murni kecelakaan tunggal dan bukan tabrakan

Menggunakan pendekatan teori yang dimaksud, maka harus dilihat, apakah Saiful Jamil yang sudah merasakan ada “ketidakberesan” kendaraan yang digunakan sudah dapat “memperkirakan” bahaya yang terjadi. Dengan menggunakan teori “kesengajaan”, maka Saiful Jamil harus dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Baik karena kesengajaan “mengetahui” akan terjadi “bahaya” maupun kesengajaan akan “diketahui” terjadinya bahaya menggunakan kendaraan yang dimaksudkan.

Selain itu juga menggunakan kendaraan yang melebihi kapasitas penumpang dapat memenuhi teori kesengajaan “patut diketahui” terjadinya bahaya. Belum lagi menggunakan kendaraan yang dipacu diatas rata-rata dengan kapasitas melebihi penumpang yang dengan dapat diketahui, terbukti, adanya unsur “kesengajaan” yang “patut diketahui” menimbulkan bahaya oleh Saiful Jamil. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka sudah jelas dan mudah pembuktian bagi kepolisian akan membuktikannya.

Dengan demikian, meninggalnya istri Saiful Jamil dilihat dari teori “kesengajaan (dolus)”, Saiful Jamil dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dimuka hukum.

Namun ternyata pihak kepolisian hanya mendasarkan kepada pasal 310 UU Lalu lintas terhadap Saiful Jamil sehingga Saiful Jamil hanya dituduh melakukan perbuatan ”kelalaian (culpa)”

Dengan menguraikan argumentasi yang telah penulis sampaikan, maka gugatan terhadap pasal 310 UU Lalu lintas yang kemudian “dimentahkan” oleh MK, akan memperkuat doktrin yang telah berlangsung lama. Sekali lagi MK memberikan porsi terhadap berbagai perkembangan hukum dengna memberikan ruang untuk kita mengambil peran dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari ditengah masyarakat.