Beberapa
waktu yang lalu, Saiful Jamil yang “dituduh”
sebagai pelaku laka lantas yang “menghebohkan”
mengakibatkan meninggal istrinya mengajukan gugatan terhadap Pasal 310 Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Gugatan ini
didasarkan kepada tafsiran “kelalaiannya” dan “orang lain” yang
dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945.
Berangkat dari tema yang ditawarkan, kita akan
sedikit mengupas tentang kelalaian dalam ilmu hukum pidana. Tema ini cukup
menarik apabila kita hubungkan dihebohkan dengan peristiwa Mobil Daihatsu Xenia B 2479 XI
yang dikemudikan Afriyani Susanti saat kecelakaan maut di Tugu Tani yang
menyebabkan sembilan nyawa melayang.
Porsi mengenai teori kelalaian dalam lapangna
ilmu hukum pidana cukup banyak dibahas. Teori ini penting untuk membedakan
terhadap kesalahan sebagaimana didalam rumusan KUHP. Teori ini merupakan
pondasi penting untuk melihat kesalahan dan para pelaku dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam ilmu hukum, terhadap kesalahan (schuld) dibedakan antara Kesengajaan (dolus) dengan kelalaian (culpa). Dalam praktek, persoalan ini
sering kali sesat (mistake) dan
sering mencampur-adukkan antara kesengajaan (dolus)
dengan kelalaian (culpa). Penulis
akan sedikit menceritakan berbagai peristiwa yang dialami penulis untuk
sekedar, bagaimana menentukan kesengajaan dan kelalaian sering menjadi
persoalan di tengah masyarakat.
Peristiwa pertama dalam diskusi informal di
kantin Pengadilan Negeri Jambi dalam ngolor
ngidul membahas kasus Afriyani yang saat itu baru saja terjadi. Hampir
sebagian peserta diskusi yang “menolak”
menerapkan pasal pembunuhan dalam kasus yang dituduh sebagai “laka lantas”. Penulis sedikit orang
yang meyakini, terhadap kasus “Tugu Tani
Maut” dapat diterapkan pasal-pasal yang berkaitan dengan pembunuhan
sebagaimana dalam rumusan KUHP. Dengan demikian, maka pasal-pasal yang
berkaitan dengan pembunuhan berangkat dari teori kesengajaan (dolus). Yurisprudensi ini pernah diterapkan
dalam kasus mikrolet mini dalam peristiwa “Kali sunter”. (WACANA PASAL PEMBUNUHAN DALAM XENIA MAUT, Jambi Ekspress, 28 Januari
2012 )
Peristiwa kedua, ketika penulis didatangi oleh
seorang mahasiswa mengajak berdiskusi ingin menyelesaikan S1 dengan membuat
skripsi. Mahasiswa bersangkutan tertarik dengan tindak pidana lingkungan hidup.
Penulis kemudian menggali keterangan, apa yang tertarik dari tindak pidana
lingkungan hidup. Namun penulis kaget, ketika mahasiswa tersebut tidak bisa
membedakan tindak pidana umum (konvensional yang diatur didalam KUHP) dengan tindak pidana lingkungan hidup (tindak
pidana khusus). Kekagetan penulis berlanjut ketika mahasiswa tersebut tidak
mengetahui buku didalam KUHP, tidak bisa membedakan antara kesengajaan (dolus) dan kelalaian (Culpa). Bahkan dengan gampang mahasiswa
tersebut mengatakan “kasus Afriyani”
adalah kecelakaan lalu lintas. Dimana kecelakaan lalu lintas berangkat dari
teori kelalaian (culpa).
Moment ketiga, adalah penyampaian dari pemateri
dalam sebuah acara penguatan litigator lingkungan hidup di Batam. Penulis kaget
ketika dalam pemaparannya, pemateri memberikan istilah kesalahan (seharusnya schuld) namun diikuti dengna
istilah Culpa.
Berangkat dari tiga peristiwa yang telah
dipaparkan termasuk berita terkini gugatan Saiful Jamil di MK, ada beberapa
kesalahan prinsip dan mengganggu yang perlu diluruskan agar pemahaman itu tidak
salah kaprah dan menyesatkan (mistake).
Dalam ilmu hukum pidana, untuk menentukan kesalahan (schuld) dengna
menggunakan “tiada pidana tanpa kesalahan yaitu een straf zonder schuld,
actus non facit reum nisi mens sir rea. Menentukan kesalahan (schuld)
dilihat dari kesengajaan (opzettelijk) dan
kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian (culpa).
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan (opzettelijk), yaitu
:
a. Kesengajaan sebagai
maksud (oogmerk)
b. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet als zekerheidsbewustzijn)
c. Kesengajaan dengan
sadar kemungkinan (dolus eventualis).
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari
yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan
pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja,
terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens
en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu
perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau
haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau
haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini
dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat
dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu
perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau
akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan
itu.
Jika
unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur
kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang
maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka
pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar
hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku
seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu
ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Diluar dari bentuk kesengajaan (opzettelijk),
kita kemudian mengenal dengan kelalaian/kealpaan/kekuranghati-hatian
(culpa) yang terdiri dari Kurang hati/hati dan dapat menduga akibat perbuatan.
Doktrin ini paling sering diterapkan dalam kecelakaan lalu lintas (diatur
didalam pasal 359 KUHP dan pasal 360 KUHP) dan kemudian diterapkan dalam
pasal-pasal UU Lalu Lintas.
Dengan mengikuti berbagai pendapat yang kemudian
sudah menjadi pegangan ahli untuk menentukan kesalahan (schuld) dan membedakan
antara kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa), maka kita akan membahas satu
persatu.
Pernyataan yang didasarkan kepada ”tugu tani maut”, Pembuktian apakah
terhadap pelaku diterapkan berdasarkan kepada bentuk kesengajaan dilihat kepada
berbagai fakta-fakta untuk melihat penerapan kesengajaan (opzettelijk).
Apakah kesadaran dari pengemudi yang mengendarai yang melihat akibat yang
terjadi (peristiwa tabrakan itu sendiri).
Dengna melihat, korban pada umumnya berada di trotoar (yang memang dikhususkan untuk pejalan kaki), maka bantahan dari
kalangan yang mendalilkan peristiwa ”XENIA MAUT” diterapkan dengan bentuk
kelalaian (culpa) kurang tepat
dijadikan alasan. Selain itu juga, desakan berbagai pihak agar menerapkan
pasal-pasal pembunuhan (yang berdasarkan
kepada teori kesengajaan/opzettelijk) yang terus menggelinding,
membuat wacana penerapan pasal-pasal pembunuhan harus mendapat perhatian dari
institusi kepolisian.
Dengan mendasarkan kepada argumentasi yang telah
dipaparkan, maka terhadap kasus Saiful Jamil juga dapat dijerat dengan tuduhan
yang cukup serius, Kesengajaan (dolus)
yang mengakibatkan ”matinya” istri
Saiful Jamil.
Porsi ini cukup luas untuk kita bahas.
Pengakuan
Saiful Jamil yang menyatakan kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya itu
disebabkan angin kencang. Saat kejadian, ia mengaku mobil yang dikendarainya
seperti didorong angin hingga akhirnya terguling. Saat itu Saiful Jamil merasa
mobilnya seolah didorong angin kencang dan mengakibatkan setir yang
dikemudikannya berbelok arah. "Tapi waktu mau saya benerin (posisi
setirnya), malah enggak bisa. Tiba-tiba kayak blong, enggak bisa dikendalikan,
sampai akhirnya mobil terguling," jelasnya. Saiful Jamil juga mengatakan
kalau kecelakaan yang merengut nyawa isterinya itu merupakan murni kecelakaan
tunggal dan bukan tabrakan
Menggunakan
pendekatan teori yang dimaksud, maka harus dilihat, apakah Saiful Jamil yang
sudah merasakan ada “ketidakberesan”
kendaraan yang digunakan sudah dapat “memperkirakan”
bahaya yang terjadi. Dengan menggunakan teori “kesengajaan”, maka Saiful Jamil harus dapat dipertanggungjawabkan
dimuka hukum. Baik karena kesengajaan “mengetahui”
akan terjadi “bahaya” maupun
kesengajaan akan “diketahui”
terjadinya bahaya menggunakan kendaraan yang dimaksudkan.
Selain
itu juga menggunakan kendaraan yang melebihi kapasitas penumpang dapat memenuhi
teori kesengajaan “patut diketahui”
terjadinya bahaya. Belum lagi menggunakan kendaraan yang dipacu diatas rata-rata
dengan kapasitas melebihi penumpang yang dengan dapat diketahui, terbukti,
adanya unsur “kesengajaan” yang
“patut diketahui” menimbulkan bahaya oleh Saiful Jamil. Dengan menggunakan
pendekatan ini, maka sudah jelas dan mudah pembuktian bagi kepolisian akan
membuktikannya.
Dengan
demikian, meninggalnya istri Saiful Jamil dilihat dari teori “kesengajaan (dolus)”, Saiful Jamil dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan
dimuka hukum.
Namun ternyata pihak kepolisian hanya mendasarkan
kepada pasal 310 UU Lalu lintas terhadap Saiful Jamil sehingga Saiful Jamil
hanya dituduh melakukan perbuatan ”kelalaian
(culpa)”
Dengan menguraikan argumentasi yang telah penulis
sampaikan, maka gugatan terhadap pasal 310 UU Lalu lintas yang kemudian “dimentahkan” oleh MK, akan memperkuat
doktrin yang telah berlangsung lama. Sekali lagi MK memberikan porsi terhadap
berbagai perkembangan hukum dengna memberikan ruang untuk kita mengambil peran
dalam menyelesaikan berbagai persoalan sehari-hari ditengah masyarakat.