21 Agustus 2019

opini musri nauli : Tafsir Sesat Karhutla


Akhir-akhir ini kembali Jambi diselimuti asap. Mengingat traumatic panjang 2015. Mengulangi kesalahan 1997. Periode panjang untuk menerima sesak nafas.

Masih terbayang dalam ingatan public. Ketika seluruh pemangku kepentingan kemudian “berduyun-duyun” keliling kampong mengajak agar tidak membakar. Sehingga tidak mengulangi asap 2015. Hampir disetiap kesempatan.

Pelan tapi pasti. Masyarakat kemudian menjadi takut untuk membakar arealnya. Termasuk untuk menanam padi. Komoditas utama sehari-hari.
Lalu mengapa terjadi juga asap ? Apakah ditempat yang sama 2015.

Tinggal ambil “mouse”, arahkan ke titik api. Klir. Tepat. Ditempat yang tidak jauh berbeda dengan kebakaran 2015.

Lalu dimana kebakaran 2015 ? Apakah memang banyak terjadinya titik api di lahan masyarakat. Apakah kemudian mengulang diareal yang sama ?

Sudah banyak “keluhan” disampaikan berbagai pihak. Agar daerah yang sering terbakar (terutama gambut) segera dipulihkan. Baik dengan cara membuat sekat-sekat kanal (canal blocking) maupun penutupan kanal  (canal backfilling)

Namun suara yang diteriakkan semakin sepi. Semua kemudian berbaris untuk menyatakan aman untuk daerahnya.

Namun “alam” tidak pernah berbohong. Tuduhan semula “masyarakat yang menjadi penyebab” kebakaran menjadi terbantahkan.

Musim “menugal” telah lewat. Lalu mengapa “titik api” dan kebakaran masih terjadi ? Apakah masih banyak terjadi di areal masyarakat.

Memang ada “sekelompok” orang yang masih membakar. Dan itu sedang diproses. Lalu apakah ketika setelah diproses kemudian menyebabkan titik api dan areal kebakaran menjadi terhenti ?

Sekali lagi alam tidak berbohong. Lagi-lagi “api tidak bisa dikendalikan”. Asap “konon” sudah menyeberang ke negeri tetangga. Mereka sudah mulai protes.

Semakin massif dan terusnya menaik ISPA adalah fakta yang tidak terbantahkan. “tuduhan” terhadap masyarakat menjadi tidak relevan lagi.

Tuduhan kepada masyarakat sebagai penyebab utama kebakaran (karhutla) menjadi terbantahkan. Tuduhan kepada masyarakat sebagai penyebab utama dikategorikan sebagai “tafsir sesat” (mistake) Karhutla pertama.  

Tafsir sesat Karhutla kedua adalah  Ketika titik api (hotspot) yang nyata-nyata terbanyak di areal izin perusahaan terutama pembukaan kebun untuk sawit kemudian membuat negara tidak berdaya untuk “menghukum” para pembakar lahan diproses ?

Bukankah berbagai data sudah menunjukkan 80% areal terbakar justru di areal perusahaan (Walhi Jambi, 2016).

Mengapa penegak hukum masih “sibuk” mencari bukti terhadap kebakaran ? Mengapa pembuktian cara-cara system hukum Eropa continental masih digunakan ?

Bukankah pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun 2001 dan PP No. 445 Tahun 2004 tegas menyatakan “pemegang izin bertanggungjawab” terjadinya kebakaran diareal izin.

“Maqom” Pemegang izin bertanggungjawab terjadinya kebakaran secara limitative menegaskan asas didalam hukum Anglo saxon. Asas “Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Asas didalam Anglo saxon yang mengeliminir asas didalam hukum Eropa continental klasik yang mengenal “tiada pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld).

Asas ini kemudian menguraikan panjang lebar “kesalahan” dan pertanggungjawaban”. Dengan mendasarkan kepada teori sebab akibat (causalitet).

Belum lagi asas ini juga mendasarkan untuk melihat “kesalahan” (dolus) atau kelalaian (culpa).

Sehingga kerumitan inilah yang menjadi penyebab utama didalam pembuktian terhadap penyebab kebakaran.

Terjebaknya penegakkan hukum yang masih menggunakan pendekatan ““tiada pidana tanpa kesalahan “(geen straf zonder schuld)”, membuat penegak hukum sendiri menjadi kesulitan untuk membuktikan.

Entah dengan argumentasi “mencari saksi”, mencari siapa yang membakar, mencari darimana api berasal”, hingga mencari “puntung api” atau “korek api” penyebab kebakaran adalah “maqom” yang berasaskan dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld). Maqom yang harus ditinggalkan.

Padahal berbagai ketentuan sudah mendasarkan kepada asas “Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault). Mekanisme yang dikenal didalam system hukum Anglo saxon.

Tafsir sesat karhutla adalah “menggiring” karhutla menjadi persoalan bencana (force majeure).

Meletakkan karhutla dan kemudian menggiring sebagai kategori bencana adalah persoalan serius.

Didalam definisi Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

Dengan melihat kalimat Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit, dapat dilihat secara gramatikal dan “letterlijk” atau makna harfiah, bahwa terhadap kebakaran tidak termasuk kedalam bencana non alam.

Lalu apakah karhutla yang disebabkan oleh ulah manusia kemudian dapat dikategorikan sebagai “bencana” ?.

Secara tegas Kepala BNPB Doni Monardo di acara Rakor Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana Karhutla di Bengkalis mengatakan, 99% adalah ulah manusia. Hanya 1% disebabkan alam.

Lalu “penyebab” Karhutla adalah ulah manusia dapat dikategorikan sebagai Bencana ?

Merujuk kepada definisi bencana non alam, maka karhutla yang disebabkan oleh ulah manusia tidak dapat dikategorikan sebagai bencana non alam (force majeure).

Sehingga meletakkan karhutla dan kemudian menggiring sebagai kategori bencana adalah kesalahan besar.

Dengan melihat tafsir sesat karhutla, maka sudah saatnya meminta pertanggungjawaban dari pemegang izin sebagai penyebab kebakaran. Selain harus mengganti kerugian yang sudah diderita oleh penduduk, negara dapat memaksa kepada pemegang izin agar dapat mengembalikan fungsi areal yang terbakar. Mekanisme yang telah diatur didalam berbagai ketentuan.

Mekanisme yang harus ditempuh setelah berlarut-larutnya penegakkan hukum didalam upaya menghindarkan dari karhutla.




Dimuat di  www.jamberita, com, 21 Agustus 2019. 

https://jamberita.com/read/2019/08/21/5952565/tafsir-sesat-karhutla