Akhir-akhir
ini kembali Jambi diselimuti asap. Mengingat traumatic panjang 2015. Mengulangi
kesalahan 1997. Periode panjang untuk menerima sesak nafas.
Masih
terbayang dalam ingatan public. Ketika seluruh pemangku kepentingan kemudian
“berduyun-duyun” keliling kampong mengajak agar tidak membakar. Sehingga tidak
mengulangi asap 2015. Hampir disetiap kesempatan.
Pelan
tapi pasti. Masyarakat kemudian menjadi takut untuk membakar arealnya. Termasuk
untuk menanam padi. Komoditas utama sehari-hari.
Lalu
mengapa terjadi juga asap ? Apakah ditempat yang sama 2015.
Tinggal
ambil “mouse”, arahkan ke titik api. Klir. Tepat. Ditempat yang tidak jauh
berbeda dengan kebakaran 2015.
Lalu
dimana kebakaran 2015 ? Apakah memang banyak terjadinya titik api di lahan
masyarakat. Apakah kemudian mengulang diareal yang sama ?
Sudah
banyak “keluhan” disampaikan berbagai pihak. Agar daerah yang sering terbakar
(terutama gambut) segera dipulihkan. Baik dengan cara membuat sekat-sekat kanal
(canal blocking) maupun penutupan kanal (canal
backfilling)
Namun
suara yang diteriakkan semakin sepi. Semua kemudian berbaris untuk menyatakan
aman untuk daerahnya.
Namun
“alam” tidak pernah berbohong. Tuduhan semula “masyarakat yang menjadi
penyebab” kebakaran menjadi terbantahkan.
Musim
“menugal” telah lewat. Lalu mengapa “titik api” dan kebakaran masih terjadi ?
Apakah masih banyak terjadi di areal masyarakat.
Memang
ada “sekelompok” orang yang masih membakar. Dan itu sedang diproses. Lalu
apakah ketika setelah diproses kemudian menyebabkan titik api dan areal
kebakaran menjadi terhenti ?
Sekali
lagi alam tidak berbohong. Lagi-lagi “api tidak bisa dikendalikan”. Asap
“konon” sudah menyeberang ke negeri tetangga. Mereka sudah mulai protes.
Semakin
massif dan terusnya menaik ISPA adalah fakta yang tidak terbantahkan. “tuduhan”
terhadap masyarakat menjadi tidak relevan lagi.
Tuduhan
kepada masyarakat sebagai penyebab utama kebakaran (karhutla) menjadi
terbantahkan. Tuduhan kepada masyarakat sebagai penyebab utama dikategorikan
sebagai “tafsir sesat” (mistake) Karhutla pertama.
Tafsir
sesat Karhutla kedua adalah Ketika titik
api (hotspot) yang nyata-nyata terbanyak di areal izin perusahaan terutama
pembukaan kebun untuk sawit kemudian membuat negara tidak berdaya untuk
“menghukum” para pembakar lahan diproses ?
Bukankah
berbagai data sudah menunjukkan 80% areal terbakar justru di areal perusahaan
(Walhi Jambi, 2016).
Mengapa
penegak hukum masih “sibuk” mencari bukti terhadap kebakaran ? Mengapa
pembuktian cara-cara system hukum Eropa continental masih digunakan ?
Bukankah
pasal 48 dan pasal 49 UU Kehutanan, PP No. 4 Tahun 2001 dan PP No. 445 Tahun
2004 tegas menyatakan “pemegang izin bertanggungjawab” terjadinya kebakaran
diareal izin.
“Maqom”
Pemegang izin bertanggungjawab terjadinya kebakaran secara limitative menegaskan
asas didalam hukum Anglo saxon. Asas “Pertanggungjawaban
tanpa kesalahan (liability without fault). Asas didalam Anglo saxon yang
mengeliminir asas didalam hukum Eropa continental klasik yang mengenal “tiada pidana tanpa kesalahan “ (geen straf zonder schuld).
Asas
ini kemudian menguraikan panjang lebar “kesalahan” dan pertanggungjawaban”.
Dengan mendasarkan kepada teori sebab akibat (causalitet).
Belum
lagi asas ini juga mendasarkan untuk melihat “kesalahan” (dolus) atau kelalaian
(culpa).
Sehingga
kerumitan inilah yang menjadi penyebab utama didalam pembuktian terhadap
penyebab kebakaran.
Terjebaknya
penegakkan hukum yang masih menggunakan pendekatan ““tiada pidana tanpa kesalahan “(geen
straf zonder schuld)”, membuat
penegak hukum sendiri menjadi kesulitan untuk membuktikan.
Entah
dengan argumentasi “mencari saksi”, mencari siapa yang membakar, mencari darimana
api berasal”, hingga mencari “puntung api” atau “korek api” penyebab kebakaran
adalah “maqom” yang berasaskan dari asas “tiada
pidana tanpa kesalahan “ (geen
straf zonder schuld). Maqom
yang harus ditinggalkan.
Padahal
berbagai ketentuan sudah mendasarkan kepada asas “Pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault).
Mekanisme yang dikenal didalam system hukum Anglo saxon.
Tafsir
sesat karhutla adalah “menggiring” karhutla menjadi persoalan bencana (force
majeure).
Meletakkan
karhutla dan kemudian menggiring sebagai kategori bencana adalah persoalan
serius.
Didalam
definisi
Bencana nonalam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit.
Dengan
melihat kalimat Bencana nonalam adalah
bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang
antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah
penyakit, dapat dilihat secara gramatikal dan “letterlijk” atau makna
harfiah, bahwa terhadap kebakaran tidak termasuk kedalam bencana non alam.
Lalu
apakah karhutla yang disebabkan oleh ulah manusia kemudian dapat dikategorikan
sebagai “bencana” ?.
Secara
tegas Kepala BNPB Doni Monardo di acara Rakor Kesiapsiagaan dalam
menghadapi bencana Karhutla di Bengkalis mengatakan, 99% adalah ulah manusia. Hanya
1% disebabkan alam.
Lalu “penyebab” Karhutla adalah ulah
manusia dapat dikategorikan sebagai Bencana ?
Merujuk kepada definisi bencana non
alam, maka karhutla yang disebabkan oleh ulah manusia tidak dapat dikategorikan
sebagai bencana non alam (force majeure).
Sehingga meletakkan karhutla dan kemudian menggiring
sebagai kategori bencana adalah kesalahan besar.
Dengan melihat tafsir sesat
karhutla, maka sudah saatnya meminta pertanggungjawaban dari pemegang izin
sebagai penyebab kebakaran. Selain harus mengganti kerugian yang sudah diderita
oleh penduduk, negara dapat memaksa kepada pemegang izin agar dapat mengembalikan
fungsi areal yang terbakar. Mekanisme yang telah diatur didalam berbagai
ketentuan.
Mekanisme yang harus ditempuh
setelah berlarut-larutnya penegakkan hukum didalam upaya menghindarkan dari karhutla.
Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi, sesat pikir tentang asap dan Hutan Tadah Air
Dimuat di www.jamberita, com, 21 Agustus 2019.
https://jamberita.com/read/2019/08/21/5952565/tafsir-sesat-karhutla