Akhir-akhir ini dunia maya di Jambi dihebohkan pemasangan tulisan berlampu dengan kata “Jambi Kota Seberang”. Kalimat itu menghiasi ornament indah “Gentala Arsy”, sebuah ikon baru kota Jambi.
Pemasangan kalimat “Jambi Kota Seberang” menimbulkan kerutan kening setelah sebelumnya, kalimat “Jambi Kota Seberang” tidak dikenal dalam pembicaraan di tengah masyarakat. Masyarakat hanya mengenal istilah “Seberang Kota Jambi” (SEKOJA) sebagai perwujudan komunitas masyarakat di seberang jembatan Batanghari di depan kantor Gubernur.
Dalam terminologi penggunaan bahasa Indonesia, Jambi kota seberang menimbulkan makna yang berbeda dengan “Seberang kota Jambi”. Saya harus menggali memori dan pengetahuan lebih dalam untuk menguraikan makna “Jambi Kota seberang’. Untuk memudahkan pemahaman, saya kemudian mengibaratkan maksud dari sang penutur menggunakan kalimat “Jambi kota seberang”.
Sebagai identitas masyarakat Melayu Jambi, di seberang sungai kota Jambi terdapat masyarakat yang mempunyai akar dan tradisi panjang keislaman Melayu Jambi. Terdiri dari dua kecamatan yaitu Kecamatan Danau Teluk dan Kecamatan Pelayangan dan 11 Kelurahan, di seberang Kota Jambi tidak bisa dilepaskan dari perjalanan panjang kebesaran Islam di Jambi. Dengan memiliki pesantren Nurul Iman, Pesantren As’ad (Danau Teluk), Pesantren Sa’adatuddaren, Pondok Pesantren Al-Jauharen (Pelayangan) dan berbagai pesantren di Danau Teluk dan Pelayangan lainnya membuktikan, masyarakat di seberang kota Jambi tidak dapat dipisahkan dari kebesaran Islam.
Kebesaran Islam kemudian diperkuat dengan masih berdiri kokoh rumah tua yang dikenal Rumah Batu. Rumah ini merupakan peninggalan Sayyid Idrus bin Hasan Al-Jufri, salah seorang penyiar islam pertama yang masuk ke Jambi. Sayyid Idrus adalah Sultan atau Raja yang berkuasa akhir abad 19 dengan gelar Pangeran Wiro Kusumo. Banyak yang memperkirakan beliau merupakan keturunan Arab atau Yaman. Jejaknya masih dapat diikuti dengna melihat Masjid Jami’ Ikhsaniyyah di Danau Teluk, Jambi.
Berbagai arsitektur rumah di Sekoja merupakan perpaduan budaya antara Melayu, Tionghoa dan Arab. Sehingga kawasan menjadi unik dan menarik perhatian berbagai kalangan.
Namun cerita yang lain, tokoh penyebaran islam adalah Datuk Sintai sekitar 400 tahun yang lalu. Sejarah Datuk Sintai masih ditemukan dengan adanya kuburan di Kelurahan Mudung Laut, Pelayangan, Jambi.
Dengan melihat keberadaan masyarakat Jambi di seberang kota, maka keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari proses dan perjalanan di Jambi Kota. Perjalanan panjang selain telah dicatat dengan berbagai revolusi di Jambi, juga menghantarkan salah satu muridnya yang belajar di di pesantren sebagai Gubernur Jambi.
Kembali ke pembahasan penggunaan maksud dari sang penutur “Jambi Kota seberang’.
Dalam hokum D-M (diterangkan dan Menerangkan) sebagai kata baku dalam terminology bahasa Indonesia, teori D-M merupakan hukum susunan dua atau lebih dua kata dalam bahasa Indonesia dengan ketentuan kata yang terletak di depan adalah kata yang diterangkan (D) dan kata yang belakangnya adalah kata yang menerangkan (M).
Hukum ini pertama kali dikemukakan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, seorang ahli bahasa Indonesia. Contoh: anak sulung: anak (D)- sulung (M), berlaku hukum D-M. Bank Asia Sentral : Bank (D)-Asia Sentral(M), berlaku hukum D-M. Hukum D-M berbeda dengan penggunaan makna dari Inggeris maupun Belanda yang menggunakan M-D. Seperti Jambi Town square (Inggeris), Jambi (M), Town square (D). Atau Rechtvacuum (Belanda), Recht (hokum /M), vacuum (D) berlaku M-D.
Dalam praktek, sudah jamak bahasa Indonesia mengalamai penambahan kata dari berbagai serapan bahasa asing. Namun yang menjadi keliru ketika serapan kemudian berubah makna arti.
Kata serapan Prime Minister tidak tepat diterjemahkan menjadi Perdana Menteri. Kata yang tepat adalah Menteri Utama.
Maka apabila kita menggunakan hokum D-M, maka Jambi kota Seberang dapat ditafsirkan “Jambi (D), Kota seberang (M). Lalu dengan menggunakan rumus D-M, maka apa makna dari Kota seberang Jambi ? Apakah akan menerangkan tentang kota-kota di seberang kota Jambi ?
Apakah kebesaran islam di seberang sungai Batanghari telah berwujud kota dalam maksud dari sang penutur “Jambi Kota Seberang”. Tentu saja apabila maksudnya adalah “kota-kota di seberang Jambi, maka tidak tepat dilihat di berbagai kelurahan di Kecamatan Danau Teluk dan Kecamatan Pelayangan. Kelurahan seperti Arab Melayu, Jelmu, Mudung Laut, Tahtul Yaman, Tanjung Johor dan Kampung Tengah yang terletak di Kecamatan Pelayangan maupun kelurahan Olak Kemang, Kelurahan Pasing Panjang, Tanjung Pasir, Tanjung Raden maupun Ulu Gedong yang terletak Kecamatan Danau Teluk merupakan sebuah komunitas masyarakat Melayu Jambi yang lebih banyak berbicara dengan keunikan dan kekhasan budaya Melayu Jambi.
Sebagai ornament budaya Jambi, pengaruh budaya kota tentu saja tidak bisa dihindarkan. Baik pakaian, mode, pengaruh kota maupun ornament sebuah kota.
Namun menceritakan kelurahan di Kecamatan Pelayangan maupun Kecamatan Danau Teluk dalam pembicaraan sebagai sebuah kota tidak tepat dan tidak relevan denga maksud dari sang penutur “Kota-kota” di seberang Jambi. Sehingga maksud sang penutur “kota-kota” di seberang” Jambi menjadi keliru dan salah tangkap dari rumus D-M.
Lalu apakah dengan penggunaan maksud dari sang penutur “Jambi Kota Seberang” akan mengangkat derajat dan menghilangkan diskrimasi kota kepada komunitas masyarakat Melayu Jambi ?. Dari maksud inipun menjadi tidak relevan dan menjadi ambigu dan menimbulkan tafsiran yang semakin jauh dari maksud baik dari sang penutur.
Makna “Jambi Kota seberang” bisa juga ditafsirkan “ di kota seberang terdapat kota Jambi. Lalu siapa yang berada di seberang ? Apakah di Kecamatan Pelayangan/Kecamatan danau Teluk ? Siapa yang berhak menentukan posisi (standing position).
Padahal sebagai sebuah ungkapan “seberang kota Jambi”, lebih tepat dalam rumus D-M. Makna “seberang Kota Jambi” adalah di seberang kota Jambi terdapat komunitas masyarakat Melayu Jambi. Selain itu juga di Seberang Kota Jambi, Sebagai budaya yang unik, di tengah semakin merosotnya nilai-nilai budaya di kota Jambi, masyarakat di seberang kota masih mengagungkan nilai-nilai islam di tengah berbagai serangan dari budaya-budaya modern. Hampir setiap kehidupan sendi masyarakat masih berjalan. Tradisi seperti pengajian, menghapal al qur-an, yassinan, tadarusan, barjanji maupun syiar kebesaran Islam masih kuat dan tetap mengakar. Bahkan dalam prosesi pernikahan, setiap pria yang mau memasuki jenjang pernikahan harus mengalami “test”
membaca Al Qur’an di saksikan khayalak ramai. Sebuah tradisi yang hampir hilang di tengah masyarakat Jambi.
Dimuat di Posmetronline, Senin, 28 Desember 2015