Akhir-akhir
media massa menyoroti langkah “Teman Ahok”
yang mencapai 533.374 KTP. Melewati syarat minimum pengumpulan KTP untuk calon
perseorangan 525 ribu KTP.
Capaian
525 ribu oleh “Teman Ahok” telah
direvisi oleh MK yang semula menetapkan 7,5 % jumlah penduduk. Dengan jumlah
7,5 % jumlah penduduk, maka “Teman Ahok” harus bekerja untuk mengumpulkan 937
ribu KTP. Putusan ini telah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Tentu
pencapaian 533 ribu merupakan sikap nyata dari dukungan public untuk “mempersiapkan” Ahok sebagai calon
perseorangan/calon independent. Cara ini ditempuh apabila tahun 2017, Ahok
tidak mendapatkan dukungan dari partai-partai untuk mengusungnya.
Menilik
Pileg 2014, Capaian 533 ribu hanya mampu diunggulkan oleh PDI-P (1.410.173
suara), Gerindra (610.780 suara). Namun dukungan kepada Ahok bahkan mampu
mengalahkan suara PKS (537.905 suara). Bahkan dukungan kepada Ahok jauh
meninggalkan suara kepada Hidayat Nur Wahid (119.267 suara).
Dukungan
ini masih terus menguat disaat kerja keras “Teman Ahok” yang akan menargetkan 1
juta dukungan KTP kepada Ahok. Dukungan 1 juta dukungan KTP akan berdampak
secara politik terhadap posisi politik Ahok di Pilkada DKI 2017.
Dengan
dukungan 1 juta dukungan, nilai politik AHOK akan membuat partai-partai politik
akan berhitung secara matematis. Dengan sikap Ahok yang “tidak mau tunduk” kepada keinginan partai politik dengan alasan “balas jasa”, Ahok sudah mempunyai posisi
yang tidak mudah diremehkan.
Namun
terlepas dari dukungan dari Ahok yang terus menguat dan “berambisi” mencapai satu juta dukungan, berbagai scenario untuk
berhadapan dengan Ahok mulai disusun oleh berbagai kalangan. Berbagai scenario
terus dimainkan. Baik dengan cara elegan “seperti”
mempersoalkan macet, banjir dan berbagai persoalan perkotaan maupun berbagai
issu yang mudah ditangkap oleh masyarakat banyak. Saya kemudian memotret
issu-issu yang dimainkan untuk “menghadang”
Ahok.
Pertama.
Issu Korupsi. Issu ini terus dikumandangkan untuk menghadang Ahok. Dengan cara
ini selain murah dan praktis dimainkan oleh penegak hukum, issu ini paling
mudha ditangkap oleh masyarakat umum.
Yang
paling teranyar ketika BPK kemudian melaporkan hasil audit lahan RS. Sumber
Waras ke KPK. Proses penawaran tanah mencapai Rp 500 milyar. Dalam laporannya
BPK mengatakan pembelian lahan itu membuat pemerintah merugi sampai Rp 191
miliar. Issu ini terus bergulir.
Publik
menunggu langkah apa yang terjadi. Setelah melewati kasus serupa seperti “pembelian mobil transjakarta” dan pembelian
“UPS”, Ahok menghadapi serangan dari
berbagai penjuru. Beban Ahok cukup berat untuk “meyakinkan” public dengan mengatakan “DKI tidak rugi dengan pembelian lahan RS Sumber Waras”.
Kedua.
Issu SARA. Issu ini masih sering dimainkan oleh segelintir orang dengan
menggunakan issu SARA. Tema “Ahok” tidak layak memimpin karena sering
mengeluarkan kata-kata kasar akan terus disuarakan untuk menghadang Ahok.
Ketiga.
Issu “janji” Ahok untuk membenahi
Jakarta. Tema ini tentu saja terhadap transportasi public (terutama seringnya terbakar transjakarta) maupun sarana public lain
yang belum memadai.
Terlepas
semakin baiknya kereta api dan berbagai upaya serius terhadap pembenahan
angkutan umum, tema ini akan cukup berat dihadapi Ahok hingga akhir tahun 2017.
Waktu yang tersisa, tidak cukup maksimal untuk membenahi Jakarta dilihat dari
transportasi public.
Keempat.
Tema reklamasi cukup dominan menjadi wacana warga Jakarta. Perdebatan Ahok
dengan Menteri Susi (cukup populer)
membuat Ahok harus berhitung untuk mengemas issu ini dengan baik.
Pernyataan
Susi yang tidak mengizinkan reklamasi selain untuk sarana public akan menarik
dilihat dalam tahun 2016.
Keempat
tema itu cukup dominan hingga menjelang Pilkada DKI 2017.
Namun
terhadap kiprah Ahok, berbagai strategi harus diukur untuk menghadang Ahok.
Tema-tema seperti SARA maupun Janji membenahi Jakarta akan mudah ditangkis Ahok
dengan berbagai manuvernya.
Ahok
cukup piawai memainkan issu ini sehingga dukungan public terus mengalir.
Lihatlah bagaimana dalam pengangkatan Lurah Susan (dalam issu SARA) yang
berhasil menumbangkan lawan-lawannya. Ucapan Ahok “saya lebih taat konstitusi” kemudian lebih membumi sehingga membuat
lawan menjadi terdiam.
Berbagai
fasilitas umum mulai dibenahi. Berbagai taman terus dibangun oleh Ahok.
Tema
ini akan mendapatkan dukungan dari lapisan bawah. Sehingga “penolakan”
pembangunan sodetan di Kampung Pulo, Tanah Abang tidak mampu “menghentikan”
kepopuleran Ahok. Cara ini kemudian berhasil dilewati Ahok cukup ciamik.
Lalu
bagaimana upaya menghadang Ahok untuk Pilkada 2017.
Pertama
dibutuhkan tokoh-tokoh yang cukup popular yang terbukti berhasil menata dan
berprestasi. Nama-nama seperti Ridwan Kamil (Walikota Bandung) maupun Risma
(Walikota Surabaya) merupakan lawan yang sepadan untuk mengimbangi Ahok. Nama-nama
yang lain sulit mengimbangi Ahok di Pilkada 2017.
Kedua.
Dibutuhkan tokoh nasional yang mempunyai karakter kuat sehingga diterima
masyarakat. Menteri Susi diharapkan dapat mengimbangi Ahok.
Ketiga.
Kerja keras partai politik untuk berkoalisi di Pilkada 2017. Tokoh yang
ditampilkan harus mempunyai nama yang cukup popular, toleran dan berkarya
nyata. Selain daripada itu, maka partai akan kesulitan untuk mengimbangi Ahok
yang telah mendapatkan 533 ribu dukungan.
Selain
asumsi yang telah saya sampaikan, maka Pilkada DKI akan berlalu dengan
kemenangan yang diraih oleh Ahok. Mengikuti kemenangan Risma (Walikota
Surabaya) menang telak.
Masih
cukup waktu untuk mempersiapkan tokoh-tokoh untuk “bertarung” di Pilkada DKI. Tentu saja kita berharap agar dinamika
Pilkada DKI penuh warna-warni. Sebagai perwujudan miniature Indonesia.
Baca : Ahok - Sang Penghancur Mitos