28 Desember 2015

opini musri nauli : CARA MELAWAN AHOK



Akhir-akhir media massa menyoroti langkah “Teman Ahok” yang mencapai 533.374 KTP. Melewati syarat minimum pengumpulan KTP untuk calon perseorangan 525 ribu KTP.

Capaian 525 ribu oleh “Teman Ahok” telah direvisi oleh MK yang semula menetapkan 7,5 % jumlah penduduk. Dengan jumlah 7,5 % jumlah penduduk, maka “Teman Ahok” harus bekerja untuk mengumpulkan 937 ribu KTP. Putusan ini telah sesuai dengan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Tentu pencapaian 533 ribu merupakan sikap nyata dari dukungan public untuk “mempersiapkan” Ahok sebagai calon perseorangan/calon independent. Cara ini ditempuh apabila tahun 2017, Ahok tidak mendapatkan dukungan dari partai-partai untuk mengusungnya.

Menilik Pileg 2014, Capaian 533 ribu hanya mampu diunggulkan oleh PDI-P (1.410.173 suara), Gerindra (610.780 suara). Namun dukungan kepada Ahok bahkan mampu mengalahkan suara PKS (537.905 suara). Bahkan dukungan kepada Ahok jauh meninggalkan suara kepada Hidayat Nur Wahid (119.267 suara).

Dukungan ini masih terus menguat disaat kerja keras “Teman Ahok” yang akan menargetkan 1 juta dukungan KTP kepada Ahok. Dukungan 1 juta dukungan KTP akan berdampak secara politik terhadap posisi politik Ahok di Pilkada DKI 2017.

Dengan dukungan 1 juta dukungan, nilai politik AHOK akan membuat partai-partai politik akan berhitung secara matematis. Dengan sikap Ahok yang “tidak mau tunduk” kepada keinginan partai politik dengan alasan “balas jasa”, Ahok sudah mempunyai posisi yang tidak mudah diremehkan.

Namun terlepas dari dukungan dari Ahok yang terus menguat dan “berambisi” mencapai satu juta dukungan, berbagai scenario untuk berhadapan dengan Ahok mulai disusun oleh berbagai kalangan. Berbagai scenario terus dimainkan. Baik dengan cara elegan “seperti” mempersoalkan macet, banjir dan berbagai persoalan perkotaan maupun berbagai issu yang mudah ditangkap oleh masyarakat banyak. Saya kemudian memotret issu-issu yang dimainkan untuk “menghadang” Ahok.

Pertama. Issu Korupsi. Issu ini terus dikumandangkan untuk menghadang Ahok. Dengan cara ini selain murah dan praktis dimainkan oleh penegak hukum, issu ini paling mudha ditangkap oleh masyarakat umum.

Yang paling teranyar ketika BPK kemudian melaporkan hasil audit lahan RS. Sumber Waras ke KPK. Proses penawaran tanah mencapai Rp 500 milyar. Dalam laporannya BPK mengatakan pembelian lahan itu membuat pemerintah merugi sampai Rp 191 miliar. Issu ini terus bergulir.

Publik menunggu langkah apa yang terjadi. Setelah melewati kasus serupa seperti “pembelian mobil transjakarta” dan pembelian “UPS”, Ahok menghadapi serangan dari berbagai penjuru. Beban Ahok cukup berat untuk “meyakinkan” public dengan mengatakan “DKI tidak rugi dengan pembelian lahan RS Sumber Waras”.

Kedua. Issu SARA. Issu ini masih sering dimainkan oleh segelintir orang dengan menggunakan issu SARA. Tema “Ahok” tidak layak memimpin karena sering mengeluarkan kata-kata kasar akan terus disuarakan untuk menghadang Ahok.

Ketiga. Issu “janji” Ahok untuk membenahi Jakarta. Tema ini tentu saja terhadap transportasi public (terutama seringnya terbakar transjakarta) maupun sarana public lain yang belum memadai.

Terlepas semakin baiknya kereta api dan berbagai upaya serius terhadap pembenahan angkutan umum, tema ini akan cukup berat dihadapi Ahok hingga akhir tahun 2017. Waktu yang tersisa, tidak cukup maksimal untuk membenahi Jakarta dilihat dari transportasi public.

Keempat. Tema reklamasi cukup dominan menjadi wacana warga Jakarta. Perdebatan Ahok dengan Menteri Susi (cukup populer) membuat Ahok harus berhitung untuk mengemas issu ini dengan baik.

Pernyataan Susi yang tidak mengizinkan reklamasi selain untuk sarana public akan menarik dilihat dalam tahun 2016.

Keempat tema itu cukup dominan hingga menjelang Pilkada DKI 2017.

Namun terhadap kiprah Ahok, berbagai strategi harus diukur untuk menghadang Ahok. Tema-tema seperti SARA maupun Janji membenahi Jakarta akan mudah ditangkis Ahok dengan berbagai manuvernya.

Ahok cukup piawai memainkan issu ini sehingga dukungan public terus mengalir. Lihatlah bagaimana dalam pengangkatan Lurah Susan (dalam issu SARA) yang berhasil menumbangkan lawan-lawannya. Ucapan Ahok “saya lebih taat konstitusi” kemudian lebih membumi sehingga membuat lawan menjadi terdiam.

Berbagai fasilitas umum mulai dibenahi. Berbagai taman terus dibangun oleh Ahok.

Tema ini akan mendapatkan dukungan dari lapisan bawah. Sehingga “penolakan” pembangunan sodetan di Kampung Pulo, Tanah Abang tidak mampu “menghentikan” kepopuleran Ahok. Cara ini kemudian berhasil dilewati Ahok cukup ciamik.

Lalu bagaimana upaya menghadang Ahok untuk Pilkada 2017.

Pertama dibutuhkan tokoh-tokoh yang cukup popular yang terbukti berhasil menata dan berprestasi. Nama-nama seperti Ridwan Kamil (Walikota Bandung) maupun Risma (Walikota Surabaya) merupakan lawan yang sepadan untuk mengimbangi Ahok. Nama-nama yang lain sulit mengimbangi Ahok di Pilkada 2017.

Kedua. Dibutuhkan tokoh nasional yang mempunyai karakter kuat sehingga diterima masyarakat. Menteri Susi diharapkan dapat mengimbangi Ahok.

Ketiga. Kerja keras partai politik untuk berkoalisi di Pilkada 2017. Tokoh yang ditampilkan harus mempunyai nama yang cukup popular, toleran dan berkarya nyata. Selain daripada itu, maka partai akan kesulitan untuk mengimbangi Ahok yang telah mendapatkan 533 ribu dukungan.

Selain asumsi yang telah saya sampaikan, maka Pilkada DKI akan berlalu dengan kemenangan yang diraih oleh Ahok. Mengikuti kemenangan Risma (Walikota Surabaya) menang telak.

Masih cukup waktu untuk mempersiapkan tokoh-tokoh untuk “bertarung” di Pilkada DKI. Tentu saja kita berharap agar dinamika Pilkada DKI penuh warna-warni. Sebagai perwujudan miniature Indonesia.