Apakah
kamu merasakan ketika rapat dibubarkan, pakaian berseragam masuk keruangan,
mengacak-acak dokumen. Lengkap dengan pakaian berseragam tanpa membuka sepatu ?
Dan
ketua Panitia acara seharian di kantor. Mengalami siksaan psikis menghadapi terror
dengan suara membentak ?
Pernah
kamu merasakan “demonstrasi dibubarkan
karena tidak ada izin ?. Demonstrasi merupakan hak menyampaikan pendapat.
Hak yang diatur oleh konstitusi.
Pernah
?
Atau
pernah kamu merasakan “ditangkap” oleh pakaian berseragam karena kekuasaannya
melebihi kepolisian ?
Atau
“temanmu” kemudian “digebuk” disampingmu tanpa kamu berdaya membelanya ?
Apabila
tidak pernah dan semoga kamu tidak mengalaminya.
Sakitnya
!!!
Kamu
tidak mengerti apa sesungguhnya terjadi.
Itulah
makna sesungguhnya reformasi. Gaya militer yang menguasai panggung politik
kemudian dikembalikan fungsinya. ABRI kemudian menjadi TNI. TNI sebagai alat
pertahanan bertugas menjaga kedaulatan negara dari ancaman luarnegeri. TNI
adalah alat perang yang bertugas menjaga NKRI sebagai bangsa yang berdaulat.
Fungsi ini kemudian sudah ditetapkan sebagai amanat reformasi.
TNI
tidak boleh cawe-cawe politik. TNI
harus professional dan menjaga Indonesia.
Fungsi
TNI dan Kepolisian harus tetap kita jaga. Sebagai mandate reformasi yang tidak
boleh hilang.
Kebebasan
berpendapat kemudian diatur. Semula hak menyampaikan adalah “izin”. Sehingga
memerlukan “persetujuan”. Apakah boleh atau tidak.
Ya.
Namanya izin. Pegawai kantoran aja kalau mau keluar kantor khan izin dari
atasan untuk meninggalkan kantor. Misalnya menjemput anaknya.
Itulah
izin. Harus memerlukan persetujuan dari atasan (kekuasaan yang diberikan oleh
hukum).
Nah.
Amanat reformasi mengembalikan makna hak. Kebebasan adalah Hak. Sebagai hak
maka tidak boleh “memerlukan izin”. Hak cukup diatur. Tentang tatacara.
Misalnya demonstrasinya dimana. Biar polisi bisa mengatur lalulintas. Demikian
makna UU No. 9 Tahun 1998. UU yang belum banyak yang paham. Termasuk ketika
saya “bertengkar” dengan penyidik di Polda Sumsel ketika mendampingi Direktur
Walhi Sumsel.
Lalu
apa makna dengan suasana sekarang.
Ya.
Boleh saja kamu tidak mau mengakui Prestasi Jokowi didalam membangun berbagai
infrastruktur di daerah timur. Harga BBM yang sama dengan Jawa. Atau membangun
daerah-daerah terpencil. Jauh akses dan perhatian Pemerintah Pusat.
Boleh
kok. Itu hak kamu. Termasuk juga tidak mengakui dan ingkar dengan kenyataan.
Atau
kamu kehabisan akal kemudian hendak membangun argumentasi “memilih Jokowi Haram”. Lha, yang memegang stempel haram malah
disamping Jokowi.
Sehingga
kemudian menuduh “Jokowi”
memanfaatkan ulama.
Dul.
Dul.. Cuci muka sana. Emangnya tokoh sekaliber Ma’ruf Amin mau dikadali.
Emangnya beliau politisi kacangan yang “suka dimanfaatkan’.
Buka
dong perjalanan hidupnya. Beliau sudah berkiprah menjadi politisi ketika Jokowi
masih mendaki Gunung Kerinci. Ketika kamu masih pakai celana pendek, ingus
berleleran. Jauh, dul.
Atau
kamu kehabisan akal untuk “menghajar”
kiprah beliau sehingga “bola memantul” menuduh Jokowi memanfaatkan orang tua.
Agar mengamankan kekuasaan.
Mereka
kehabisa kata-kata. Kalah strategi ciamik dimainkan oleh Jokowi. Mereka selalu
kalah selangkah. Kadang terjebak dengan permainan yang mereka ciptakan sendiri.
Tapi
terserah kamu aja.
Kalau
kamu memuja “tokoh agama” yang mengaku
tidak tamat pesantren. Yang tidak bisa baca Arab gundul, yang tidak paham
tajwid apalagi asbabul nuzul. Ya. Itulah kemalangan yang kamu terima.
Lha,
wong buka warung aja ada izin. Minimal dari RT setempat. Ini kok tidak jelas “juntrungannya” kemudian bercerita
tentang agama.
Ya.
Pakailah akal. Bukankah akal adalah “kemewahan” yang diberikan oleh sang
Pencipta. Dengan akallah kita menjadi berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain.
Tapi
yang pasti. Aku memilih bukan karena Jokowi atau Ma’ruf Amin. Aku memilih
menjadi penghadang kaum ‘intoleransi” menumpang agenda demokrasi. Mereka
menjadi benalu dengan “hidden agenda”.
Mereka
teriak-teriak dengan tagar tapi “menumpang”
agenda “ganti system.
Mereka
memperalat agama dengan mengutip ayat-ayat sesukanya. Namun kemudian hening
ketika keinginan tercapai. Persis anak kecil yang merengek-rengek meminta
permen. Namun kemudian tidak bersuara hingga permen dihabiskan.
Mereka
sedang “berjuang” dan bergabung
dengan neo-Orde baru.
Mereka
sedang “mencuci otak”. Mereka
mengemas produk menjadi lebih “kinclong’.
Persis tukang obat jalanan yang memperagakan menggunakan ular. Padahal yang
dijual cuma obat sakit kepala yang bisa kamu beli ditoko.
Mereka
sedang menjual wajah seperti Brat Pitt. Membuat ibu-ibu menjerit. Persis nenek
kita waktu muda melihat wajah Frank Sinatra.
Padahal
ibu-ibu memilih Suami yang menjadi pendamping seumur hidupnya bukan karena
wajah. Bahkan banyak yang rela meninggalkan pacarnya yang gagah, hidup sudha
mapan demi lelaki pujaan hatinya. Karena dia yakin dengna masa depannya.
Lah,
ini yang akan memimpinmu kok karena masalah wajah. Apa beda dengan anak ABG
yang kesengsem dengan wajah artis korea.
Memilih
karena wajah sudah dirasakan oleh kami. 73% cuma “terjebak” dengan wajah. Memimpin
cuma setahun duitnya sudah 49 kardus. Uang hasil jerih payahku membayar pajak
mobil. Menyisihkan tabungan untuk bayar STNK “melayang entah kemana”. Dan kemudian terbukti “diangkut” KPK.
Atau
Mereka sedang hendak memisahkan pendukung Ahok dan kemudian membenturkan dengan
Jokowi. Mengambil suara dari dukungan Ahok. Atau minimal tidak mendukung. Strategi
ini sedang dimainkan. Dan umpan sering dilambungkan udara.
Sekarang
bahaya sedang mengintaimu. Cara-cara orde baru mulai mereka mainkan. “Tidak
dibenarkan perbedaan pendapat’. Kebenaran menjadi milik mereka. Milik kelompok
mereka.
Dengan
tuduhan seenaknya mereka sudah menyerukan. “Kami kaum suci”. Disana kaum
dajjal. Sehingga pantas diperangi.
Apakah
kamu mau merasakannya. Sehingga badanmu kemudian menggigil melihat pakaian
berseragam dan mengaku atas nama negara kemudian “mengacaukan acaramu”. Mengobrak-abrik
ruang pertemuan.
Dibutuhkan
“Kejelian” untuk melihat umpan atau cuma strategi mengemas produk.
Janganlah
cerita yang kurasakan akan menimpa dirimu. Cukuplah derita yang kami alami.
Biarlah
cerita ini bisa layak kuceritakan kepada anak-anakku. Yang memerlukan “kejujuran”,
“kerja keras” memandang Indonesia.
Tariklah
nafas panjang.
Semoga
minggumu menjadi renungan.
Baca : Izin dan Pemberitahuan