12 Agustus 2018

opini musri nauli : CERITA HARI MINGGU



Apakah kamu merasakan ketika rapat dibubarkan, pakaian berseragam masuk keruangan, mengacak-acak dokumen. Lengkap dengan pakaian berseragam tanpa membuka sepatu ?
Dan ketua Panitia acara seharian di kantor. Mengalami siksaan psikis menghadapi terror dengan suara membentak ?

Pernah kamu merasakan “demonstrasi dibubarkan karena tidak ada izin ?. Demonstrasi merupakan hak menyampaikan pendapat. Hak yang diatur oleh konstitusi.

Pernah ?

Atau pernah kamu merasakan “ditangkap” oleh pakaian berseragam karena kekuasaannya melebihi kepolisian ?

Atau “temanmu” kemudian “digebuk” disampingmu tanpa kamu berdaya membelanya ?

Apabila tidak pernah dan semoga kamu tidak mengalaminya.

Sakitnya !!!
Kamu tidak mengerti apa sesungguhnya terjadi.

Itulah makna sesungguhnya reformasi. Gaya militer yang menguasai panggung politik kemudian dikembalikan fungsinya. ABRI kemudian menjadi TNI. TNI sebagai alat pertahanan bertugas menjaga kedaulatan negara dari ancaman luarnegeri. TNI adalah alat perang yang bertugas menjaga NKRI sebagai bangsa yang berdaulat. Fungsi ini kemudian sudah ditetapkan sebagai amanat reformasi.

TNI tidak boleh cawe-cawe politik. TNI harus professional dan menjaga Indonesia.

Fungsi TNI dan Kepolisian harus tetap kita jaga. Sebagai mandate reformasi yang tidak boleh hilang.

Kebebasan berpendapat kemudian diatur. Semula hak menyampaikan adalah “izin”. Sehingga memerlukan “persetujuan”. Apakah boleh atau tidak.

Ya. Namanya izin. Pegawai kantoran aja kalau mau keluar kantor khan izin dari atasan untuk meninggalkan kantor. Misalnya menjemput anaknya.

Itulah izin. Harus memerlukan persetujuan dari atasan (kekuasaan yang diberikan oleh hukum).

Nah. Amanat reformasi mengembalikan makna hak. Kebebasan adalah Hak. Sebagai hak maka tidak boleh “memerlukan izin”. Hak cukup diatur. Tentang tatacara. Misalnya demonstrasinya dimana. Biar polisi bisa mengatur lalulintas. Demikian makna UU No. 9 Tahun 1998. UU yang belum banyak yang paham. Termasuk ketika saya “bertengkar” dengan penyidik di Polda Sumsel ketika mendampingi Direktur Walhi Sumsel.

Lalu apa makna dengan suasana sekarang.

Ya. Boleh saja kamu tidak mau mengakui Prestasi Jokowi didalam membangun berbagai infrastruktur di daerah timur. Harga BBM yang sama dengan Jawa. Atau membangun daerah-daerah terpencil. Jauh akses dan perhatian Pemerintah Pusat.

Boleh kok. Itu hak kamu. Termasuk juga tidak mengakui dan ingkar dengan kenyataan.

Atau kamu kehabisan akal kemudian hendak membangun argumentasi “memilih Jokowi Haram”. Lha, yang memegang stempel haram malah disamping Jokowi.

Sehingga kemudian menuduh “Jokowi” memanfaatkan ulama.

Dul. Dul.. Cuci muka sana. Emangnya tokoh sekaliber Ma’ruf Amin mau dikadali. Emangnya beliau politisi kacangan yang “suka dimanfaatkan’.

Buka dong perjalanan hidupnya. Beliau sudah berkiprah menjadi politisi ketika Jokowi masih mendaki Gunung Kerinci. Ketika kamu masih pakai celana pendek, ingus berleleran. Jauh, dul.

Atau kamu kehabisan akal untuk “menghajar” kiprah beliau sehingga “bola memantul” menuduh Jokowi memanfaatkan orang tua. Agar mengamankan kekuasaan.

Mereka kehabisa kata-kata. Kalah strategi ciamik dimainkan oleh Jokowi. Mereka selalu kalah selangkah. Kadang terjebak dengan permainan yang mereka ciptakan sendiri.

Tapi terserah kamu aja.

Kalau kamu memuja “tokoh agama” yang mengaku tidak tamat pesantren. Yang tidak bisa baca Arab gundul, yang tidak paham tajwid apalagi asbabul nuzul. Ya. Itulah kemalangan yang kamu terima.

Lha, wong buka warung aja ada izin. Minimal dari RT setempat. Ini kok tidak jelas “juntrungannya” kemudian bercerita tentang agama.

Ya. Pakailah akal. Bukankah akal adalah “kemewahan” yang diberikan oleh sang Pencipta. Dengan akallah kita menjadi berbeda dengan makhluk Tuhan yang lain.  

Tapi yang pasti. Aku memilih bukan karena Jokowi atau Ma’ruf Amin. Aku memilih menjadi penghadang kaum ‘intoleransi” menumpang agenda demokrasi. Mereka menjadi benalu dengan “hidden agenda”.

Mereka teriak-teriak dengan tagar tapi “menumpang” agenda “ganti system.

Mereka memperalat agama dengan mengutip ayat-ayat sesukanya. Namun kemudian hening ketika keinginan tercapai. Persis anak kecil yang merengek-rengek meminta permen. Namun kemudian tidak bersuara hingga permen dihabiskan.

Mereka sedang “berjuang” dan bergabung dengan neo-Orde baru.

Mereka sedang “mencuci otak”. Mereka mengemas produk menjadi lebih “kinclong’. Persis tukang obat jalanan yang memperagakan menggunakan ular. Padahal yang dijual cuma obat sakit kepala yang bisa kamu beli ditoko.

Mereka sedang menjual wajah seperti Brat Pitt. Membuat ibu-ibu menjerit. Persis nenek kita waktu muda melihat wajah Frank Sinatra.

Padahal ibu-ibu memilih Suami yang menjadi pendamping seumur hidupnya bukan karena wajah. Bahkan banyak yang rela meninggalkan pacarnya yang gagah, hidup sudha mapan demi lelaki pujaan hatinya. Karena dia yakin dengna masa depannya.

Lah, ini yang akan memimpinmu kok karena masalah wajah. Apa beda dengan anak ABG yang kesengsem dengan wajah artis korea.

Memilih karena wajah sudah dirasakan oleh kami. 73% cuma “terjebak” dengan wajah. Memimpin cuma setahun duitnya sudah 49 kardus. Uang hasil jerih payahku membayar pajak mobil. Menyisihkan tabungan untuk bayar STNK “melayang entah kemana”. Dan kemudian terbukti “diangkut” KPK.

Atau Mereka sedang hendak memisahkan pendukung Ahok dan kemudian membenturkan dengan Jokowi. Mengambil suara dari dukungan Ahok. Atau minimal tidak mendukung. Strategi ini sedang dimainkan. Dan umpan sering dilambungkan udara.

Sekarang bahaya sedang mengintaimu. Cara-cara orde baru mulai mereka mainkan. “Tidak dibenarkan perbedaan pendapat’. Kebenaran menjadi milik mereka. Milik kelompok mereka.

Dengan tuduhan seenaknya mereka sudah menyerukan. “Kami kaum suci”. Disana kaum dajjal. Sehingga pantas diperangi.

Apakah kamu mau merasakannya. Sehingga badanmu kemudian menggigil melihat pakaian berseragam dan mengaku atas nama negara kemudian “mengacaukan acaramu”. Mengobrak-abrik ruang pertemuan.

Dibutuhkan “Kejelian” untuk melihat umpan atau cuma strategi mengemas produk.

Janganlah cerita yang kurasakan akan menimpa dirimu. Cukuplah derita yang kami alami.

Biarlah cerita ini bisa layak kuceritakan kepada anak-anakku. Yang memerlukan “kejujuran”, “kerja keras” memandang Indonesia.

Tariklah nafas panjang.

Semoga minggumu menjadi renungan.