Sebagai sebuah gagasan, kita bisa saja berbeda
pendapat dengan siapapun. Baik terhadap komunitas yang sama, komunitas yang
berbeda ataupun dengan orang yang belum kita kenal sekalipun. Didalam perbedaan
itulah, maka kita bisa meyakini argumentasi kita dan bisa memami argumentasi
lawan sekalipun. Tidak ada yang benar. Tidak ada yang salah. Selama argumentasi
itu bisa dijadikan dasar untuk bersikap, maka argumentasi berbedapun kita
letakkan sebagai kekayaan sebuah tema yang kita didiskusikan.
Sekedar perbandingan, saya pernah berdiskusi
terbuka mengenai tema bagaimana hokum acara pidana menerapkan kasus Soeharto
tahun 2001. Saya menolak keras dengan alasan “sakit’ kemudian meminta agar
kasus Soeharto “dihentikan’. Menurut KUHAP, sakit hanya “menunda” bukan “menghentikan” sebuah kasus hokum.
Sebuah esensi yang berbeda dengan “menunda” dengan “menghentikan” proses hokum
kasus Soeharto. Walaupun kemudian keduanya tidak juga “bisa melanjutkan pemeriksaan
hokum terhadap Soeharto”. KPK terakhir justru menerapkan hal yang sama ketika
seorang Deputi Gubernur “Dinyatakan” sakit dan belum sama sekali diperiksa
hingga ajal menjemputnya. Hukum kemudian menempatkan terhadap “sakit” maka
pemeriksaan tidak bisa dilanjutkan. Namun tidak bisa menghentikan perkara.