Publik
jagat politik gempar. Dahlan Iskan (DI) ditetapkan tersangka atas
kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara tahun 2011-2013 senilai Rp 1,06 triliun. Ada
semacam “penolakan” dari publik atas penetapan tersangka.
Selain (DI) dikenal “bersih”, Dahlan Iskan sudah dikenal sebagai
pebisnis tangguh. Dengan memiliki kelompok media terbesar, Jawa Post
Group, majalah Globe Asia menempatkan DI sebagai orang ke 93 terkaya
di Indonesia. Kekayaan DI ditaksir mencapai US$370 juta. Tokoh
selevel Rhenaldi Kasali menyindir penetapan tersangka DI dan
menuangkan didalam opini “Dahlan dan SOP”.
“Keengganan”
publik terhadap penetapan tersangka berangkat dari asumsi “DI
dikenal bersih”. Dengan dikenal “bersih” maka DI
tidak mungkin melakukan korupsi. Selain itu juga DI juga sudah
memiliki kekayaan US$ 370 juta sehingga tidak perlu melakukan
korupsi.
Penetapan
tersangka DI memang memiliki daya ledak (magnitudo) yang luar
biasa. Dengan memiliki Jawa Post Group yang menguasai media terbesar
di Indonesia, memiliki implikasi cukup serius. DI memiliki jaringan
di kalangan wartawan dan dikenal dekat dengan berbagai wartawan Jawa
Post. Dengan kesederhanaannya, DI telah dipatri hati
wartawan-wartawan Jawa Post.
Namun
penetapan DI kemudian disikapi dengan rasa emosional yang dalam. Ada
rasa haru, tidak percaya, marah ataupun rasa ketidakpercayaan kepada
proses penyidikan di Kejati Jakarta. Sehingga ketika membaca kasus
DI, obyektifitas sulit ditemukan.
Untuk
menjawab persoalan ini maka asumsi membaca kasus DI harus diletakkan
pada konteks hukum pidana. Terutama penegakkan hukum (law
enforcement) sehingga tidak bias dan jauh dari melihat kasus ini
secara utuh.
Asumsi
pertama, DI dikenal bersih tidak perlu diperdebatkan lagi. Saya
kurang yakin ketika DI ditetapkan sebagai tersangka, perbuatan yang
dituduhkan bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri. Atau bahasa
umumnya, bertujuan untuk “mengeruk duit negara”.
Dengan kekayaan mencapai US$ 370 juta, kekayaan DI cukup dinikmati DI dan mewarisi kepada penerusnya usaha bisnis. Apalagi Kejati DKI Jakarta telah menduga terjadinya kerugian negara sebesar Rp 33 milyar. Angka “terlalu kecil” bagi DI.
Dari
asumsi ini, maka asumsi tentang DI yang selama ini telah dikenal
publik tidak terbantahkan. Tinggal kita menunggu proses hukum,
peristiwa apa sebenarnya yang terjadi sehingga penetapan tersangka
kepada DI.
Namum
proses hukum pidana tidak berhenti kepada pribadi moral daripada yang
bersangkutan.
Mengikuti
proses hukum terhadap DI menarik untuk kita telaah lebih jauh.
Dalam
proses hukum, DI sebagai KPA, DI dianggap bertanggungjawab terhadap
proyek pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara senilai Rp 1,06 triliun. Bahkan Kejati DKI Jakarta telah
menduga terjadinya kerugian negara sebesar Rp 33 milyar.
Dengan
panjang lebar, Kejati DKI Jakarta menjelaskan, DI kemudian “dianggap
bertanggungjawab” terjadinya kerugian negara. Bahkan DI
dianggap menyalahgunakan wewenangnya dengan menyiasati syarat
pencairan anggaran dari Kemenkeu untuk proyek gardu. Kepada Kemenkeu,
DI berbohong lahan gardu sudah bebas seluruhnya.
Dengan
melihat paparan dari Kejati DKI Jakarta, maka tuduhan korupsi kepada
DI cukup serius. DI dianggap bertanggungjawab terhadap proyek
pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Makna kata “bertanggungjawab” kemudian dilekatkan ketika
DI menjawab “DI mengaku, kurang mengetahui perjalanan proyek
tersebut. Menurut dia, penanganan proyek itu lebih banyak dikerjakan
pejabat pembuat komitmen (PPK) yang berisi para pegawai PLN. Para
pegawai itu diangkat menjadi PPK oleh Menteri ESDM saat itu yang
bertindak sebagai pengguna anggaran (PA).
Melihat
rangkaian profile DI yang telah dikenal publik sebagai “bersih
dan kaya” tidak dapat kita sandingkan dengan “tuduhan
korupsi”. Atau dengan kata lain, tuduhan sangkaan “korupsi”
terhadap DI bukan bertujuan “mengeruk uang negara”. Sebuah
dimensi yang terpisahkan dari pelaku-pelaku korupsi lainnya.
Namun
“pertanggungjawaban” DI tidak berhenti cuma disini. Pasal
2 dan pasal 3 UU Korupsi, juga menegaskan unsur korupsi juga
menggunakan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain”
sehingga menyebabkan “kerugian negara”.
Menggunakan
term kalimat dari unsur diatas, maka “walaupun”
DI tidak terbukti “mengeruk uang negara”
dan DI tidak bertambah kekayaan dari proyek pembangunan ini, namun
apabila “adanya orang yang terbukti bertambah
kekayaannya” dan terjadinya
kerugian negara” karena
“kesalahan dari proses administrasi”
yang menjadi “tanggungjawab”
dari DI, maka DI tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban
hukum. Rangkaian cerita diatas kemudian diamini oleh DI dengna
pernyataan "Penetapan saya sebagai tersangka ini saya
terima dengan penuh tanggung jawab. Setelah ini saya akan mempelajari
apa yang sebenarnya terjadi dengan proyek-proyek gardu induk tersebut
karena sudah lebih dari tiga tahun saya tidak mengikuti
perkembangannya.
DI
bisa menggunakan berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang
menerangkan “tidak adanya itikad jahat” dari DI. Dengan
menggunakan yurisprudensi ini, maka DI dapat dilepaskan dari berbagai
kesalahan dimuka pengadilan. Tokoh Rhenaldi Kasali juga menyampaikan,
selama itikad baik ditujukan kepada kepentingan orang banyak, maka
hukum harus mengikuti dari maksud baik dari DI.
Mari
kita tunggu perkembangan dari kasus DI.