12 Juni 2015

opini musri nauli : CARA MEMBACA KASUS DAHLAN ISKAN



Publik jagat politik gempar. Dahlan Iskan (DI) ditetapkan tersangka atas kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tahun 2011-2013 senilai Rp 1,06 triliun. Ada semacam “penolakan” dari publik atas penetapan tersangka. Selain (DI) dikenal “bersih”, Dahlan Iskan sudah dikenal sebagai pebisnis tangguh. Dengan memiliki kelompok media terbesar, Jawa Post Group, majalah Globe Asia menempatkan DI sebagai orang ke 93 terkaya di Indonesia. Kekayaan DI ditaksir mencapai US$370 juta. Tokoh selevel Rhenaldi Kasali menyindir penetapan tersangka DI dan menuangkan didalam opini “Dahlan dan SOP”.
Keengganan” publik terhadap penetapan tersangka berangkat dari asumsi “DI dikenal bersih”. Dengan dikenal “bersih” maka DI tidak mungkin melakukan korupsi. Selain itu juga DI juga sudah memiliki kekayaan US$ 370 juta sehingga tidak perlu melakukan korupsi.

Penetapan tersangka DI memang memiliki daya ledak (magnitudo) yang luar biasa. Dengan memiliki Jawa Post Group yang menguasai media terbesar di Indonesia, memiliki implikasi cukup serius. DI memiliki jaringan di kalangan wartawan dan dikenal dekat dengan berbagai wartawan Jawa Post. Dengan kesederhanaannya, DI telah dipatri hati wartawan-wartawan Jawa Post.

Namun penetapan DI kemudian disikapi dengan rasa emosional yang dalam. Ada rasa haru, tidak percaya, marah ataupun rasa ketidakpercayaan kepada proses penyidikan di Kejati Jakarta. Sehingga ketika membaca kasus DI, obyektifitas sulit ditemukan.

Untuk menjawab persoalan ini maka asumsi membaca kasus DI harus diletakkan pada konteks hukum pidana. Terutama penegakkan hukum (law enforcement) sehingga tidak bias dan jauh dari melihat kasus ini secara utuh.

Asumsi pertama, DI dikenal bersih tidak perlu diperdebatkan lagi. Saya kurang yakin ketika DI ditetapkan sebagai tersangka, perbuatan yang dituduhkan bertujuan untuk memperkaya dirinya sendiri. Atau bahasa umumnya, bertujuan untuk “mengeruk duit negara”.

Dengan kekayaan mencapai US$ 370 juta, kekayaan DI cukup dinikmati DI dan mewarisi kepada penerusnya usaha bisnis. Apalagi Kejati DKI Jakarta telah menduga terjadinya kerugian negara sebesar Rp 33 milyar. Angka “terlalu kecil” bagi DI.

Dari asumsi ini, maka asumsi tentang DI yang selama ini telah dikenal publik tidak terbantahkan. Tinggal kita menunggu proses hukum, peristiwa apa sebenarnya yang terjadi sehingga penetapan tersangka kepada DI.

Namum proses hukum pidana tidak berhenti kepada pribadi moral daripada yang bersangkutan.

Mengikuti proses hukum terhadap DI menarik untuk kita telaah lebih jauh.

Dalam proses hukum, DI sebagai KPA, DI dianggap bertanggungjawab terhadap proyek pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara senilai Rp 1,06 triliun. Bahkan Kejati DKI Jakarta telah menduga terjadinya kerugian negara sebesar Rp 33 milyar.

Dengan panjang lebar, Kejati DKI Jakarta menjelaskan, DI kemudian “dianggap bertanggungjawab” terjadinya kerugian negara. Bahkan DI dianggap menyalahgunakan wewenangnya dengan menyiasati syarat pencairan anggaran dari Kemenkeu untuk proyek gardu. Kepada Kemenkeu, DI berbohong lahan gardu sudah bebas seluruhnya. 


Dengan melihat paparan dari Kejati DKI Jakarta, maka tuduhan korupsi kepada DI cukup serius. DI dianggap bertanggungjawab terhadap proyek pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Makna kata “bertanggungjawab” kemudian dilekatkan ketika DI menjawab “DI mengaku, kurang mengetahui perjalanan proyek tersebut. Menurut dia, penanganan proyek itu lebih banyak dikerjakan pejabat pembuat komitmen (PPK) yang berisi para pegawai PLN. Para pegawai itu diangkat menjadi PPK oleh Menteri ESDM saat itu yang bertindak sebagai pengguna anggaran (PA).

Melihat rangkaian profile DI yang telah dikenal publik sebagai “bersih dan kaya” tidak dapat kita sandingkan dengan “tuduhan korupsi”. Atau dengan kata lain, tuduhan sangkaan “korupsi” terhadap DI bukan bertujuan “mengeruk uang negara”. Sebuah dimensi yang terpisahkan dari pelaku-pelaku korupsi lainnya.

Namun “pertanggungjawaban” DI tidak berhenti cuma disini. Pasal 2 dan pasal 3 UU Korupsi, juga menegaskan unsur korupsi juga menggunakan unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain” sehingga menyebabkan “kerugian negara”.

Menggunakan term kalimat dari unsur diatas, maka “walaupun” DI tidak terbukti “mengeruk uang negara” dan DI tidak bertambah kekayaan dari proyek pembangunan ini, namun apabila “adanya orang yang terbukti bertambah kekayaannya” dan terjadinya kerugian negara” karena “kesalahan dari proses administrasi” yang menjadi “tanggungjawab” dari DI, maka DI tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban hukum. Rangkaian cerita diatas kemudian diamini oleh DI dengna pernyataan "Penetapan saya sebagai tersangka ini saya terima dengan penuh tanggung jawab. Setelah ini saya akan mempelajari apa yang sebenarnya terjadi dengan proyek-proyek gardu induk tersebut karena sudah lebih dari tiga tahun saya tidak mengikuti perkembangannya.

DI bisa menggunakan berbagai yurisprudensi Mahkamah Agung yang menerangkan “tidak adanya itikad jahat” dari DI. Dengan menggunakan yurisprudensi ini, maka DI dapat dilepaskan dari berbagai kesalahan dimuka pengadilan. Tokoh Rhenaldi Kasali juga menyampaikan, selama itikad baik ditujukan kepada kepentingan orang banyak, maka hukum harus mengikuti dari maksud baik dari DI.

Mari kita tunggu perkembangan dari kasus DI.