26 Agustus 2012

opini musri nauli : Filsafat Hukum dan Keadilan

 


Menjadi pertanyaan klasik dalam setiap persoalan hukum. Makna keadilan. Sama klasiknya dengan pertanyaan mengenai definisi hukum.


Hukum adalah alat untuk menegakkan keadilan dan menciptakan kesejahteraan sosial (bonum commune)


Dalam berbagai literatur baik dalam kajian teori hukum ataupun filsafat hukum, pertanyaan yang paling sering digugat, pertanyaan yang paling sering dipertanyakan mengenai definisi keadilan.


Dalam ranah filsafat hukum, secara sederhana dirumuskan, Menegakkan keadilan harus menjadi tujuan negara (Plato). Keadilan sebagai nilai yang paling sempurna/lengkap. Hukum harus membela kepentingan atau kebaikan bersama/Common good)  (Aristoteles). hukum sebagai sistem harus adil (H. L. A. Hart).


Dalam perkembangan dalam abad pertengahan yang sangat theosentris yang dicanangkan oleh Agustinus dan Thomas Aquinas, hukum yang tidak adil sama sekali bukan hukum. Dalam lingkungan hukum islam, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (hanya beberapa tokoh pemikiran Islam sekedar contoh),  Hukum dalam Fiqh bersifat theosentris yang didasarkan kepada wahyu Illahi. Inilah yang disebut hukum islam.


Pemikiran Aquinas diteruskan pengikutnya seperti ahli hukum Belanda seperti Hugo Grotius


Sedangkan pada abad 17 – 19 yang ditandai perkembangan industri dan perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu dahsyat (sebagian menamakan sebagai abad pencerahan), pemikiran ini kemudian digagas dari Inggeris David Hume dan John Locke. Pada masa inilah kemudian lahir mahzab “positivisme hukum”. Mazhab ini kemudian menemukan bentuknya ketika Thomas Hobbes dan Immanual Kant yang meletakkan eksitensi negara pada hukum positif diatas keadilan kontraktual.


Menurut Hobbes, keadilan sama dengan hukum positif, maka hukum positif menjadi satu-satunya norma untuk menilai apa yang benar dan salah, atau adil dan tidak adil. Pemikiran ini kemudian tampak dalam Immanual Kant. Menurutnya, hak atas kebebasan individu pada titik sentral konsepnya tentang keadilan. Keadilan akan terjamin apabila warga mengatur perilaku dengan berpedoman pada nilai-nilai universal.


Pada akhir abad ke-19, perkembangan filsafat hukum ditandai dengan aliran baru yang dikenal dengna nama mazhab Historis. Menurut Hegel, hukum merupakan realitas politik harus dilihat sebagai tatanan etis yang secara normatif mengarahkan perilaku manusia. Sedangkan Savigny, hukum sebagai refleksi etika sosial masyarakat. Hukum yang baik, harus merupakan refleksi dari nilai etika masyarakat.


Mazhab ini kemudian menjadi inspirasi bagi aliran hukum mazhab sosiologis. Hukum tidak dapat dipahami secara tepat tanpa pemahaman sistematis mengenai tujuan yang melahirkan hukum, yang dapat ditemukan dalam kehidupan sosial.


Selanjutnya lahir pemikiran hukum mazhab realisme hukum. Menurut Roscoe Pound yang dikenal sebagai social engineering, hukum tidak dapat diterapkan sesuai dengan kitab hukum. Hukum harus memuat ajaran dan sekaligus ideal yang mendorong masyarakat ke masa depan yang lebih baik. Hukum harus menjadi alat sosial (social engineering).


Ini diperkuat oleh Ronald Dworkin yang menegaskan, jika memahami hukum, maka kita harus memperhatikan bagaimana hukum itu diterapkan oleh hakim . Hukum baru menjadi   hukum yang sebenarnya ketika digunakan hakim untuk menyelesaikan kasus hukum.


Dengan menguraikan secara singkat, kita dapat menentukan, bagaimana posisi hukum Indonesia dan pandangan para penegak hukum dilihat dari mazhab hukum yang melatar belakangnya.