BAHASA
Ketika
Pemuda Indonesia mendeklarasikan “Berbahasa
satu. Bahasa Indonesia” maka Bahasa Indonesia kemudian merujuk kepada
Bahasa Melayu. Deklarasi yang dicanangkan tanggal 28 Oktober 1928. Deklarasi
ini kemudian menjadi bagian dari konstitusi sebagaimana diatur didalam Pasal
36. “Bahasa Negara adalah Bahasa
Indonesia”. Makna ini kemudian dipertegas berdasarkan UU No. 24 Tahun 2009
Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan (UU No. 24
Tahun 2009).
Bahasa
Melayu digunakan sebagai Bahasa Perdagangan. Ketika bangsa Eropa
pertama kali datang ke Indonesia, bahasa Melayu sudah di
Nusantara. Pigafetta yang mengikuti perjalanan Magelhaen mengelilingi dunia, ketika kapalnya
berlabuh di Tidore pada tahun 1521
menuliskan kata-kata Melayu.
Selain itu Bahasa Melayu telah
digunakan sebagai bahasa perhubungan.
Didalam sejarah Bahasa Indonesia
disebutkan Bahasa Melayu adalah
salah satu bahagian dari kerabat Bahasa Melayu-Polinesia, yang telah
difungsikan secara kultural di wilayah-wilayah Nusantara (Alam Melayu) yang
kini mencakup negara bangsa Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, dan
sekitarnya sejak lebih dari 1000 tahun lalu. Pertumbuhan bahasa Melayu dapat dikatakan
berasal dari Sumatera Selatan di sekitar Jambi dan Palembang.
Bahasa
Melayu menunjukkan derajat bangsa. Kaya dengan pengetahuan. Bahasa Melayu juga
melambangkan kultur dari peradaban Banga Indonesia.
Sebagai
Bahasa Negara maka Bahasa Indonesia digunakan sebagai Bahasa resmi kenegaraan, Pidato
resmi pejabat negara, pengantar pendidikan, transaksi dan dokumentasi niaga, nama
kantor, rambu-rambu lalulintas, lembaga pendidikan, pelayanan public dan
berbagai keperluan lainnya termasuk penggunaan Bahasa di media massa. Termasuk
kedalam peraturan perundang-undangan.
Sebagai
sebuah Bahasa yang sarat dengan makna maka pengembangan menjadi tanggungjawab
negara.
Namun
akhir-akhir ini penggunaan dan pencampuran Bahasa Indonesia dengan Bahasa asing
tidak terelakkan. Berbagai pidato pejabat negara selalu menyelipkan Bahasa Asing
yang belum ada padanannya. Selain mengganggu makna pidato dari sang penutur,
cara ini juga kurang mendidik ditengah masyarakat.
Selain
itu juga penggunaan Bahasa Asing dalam berbagai nama-nama tempat usaha seperti “supermarket”,
“Mall”, “Coffee” untuk menunjukkan kafe, “Showroom”, “barbershop” justru malah
mengganggu penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur didalam UU No. 24
tahun 2009. Terlepas cara ini menimbulkan “kekerenan’ namun justru menempatkan
Bahasa Indonesia menjadi Bahasa kedua. Bahasa Indonesia kemudian terpinggirkan.
Begitu
juga penamaan “perumahan” yang menggunakan nama-nama kota di Eropa seperti “Barcelona
estate”, “Liverpool Estate”, “London estate” yang justru malah
mengagung-agungkan peradaban Barat. Justru identitas khas dari tempat menjadi
hilang.
Selain
itu juga “tempat-tempat publik” menggunakan Bahasa prokem juga merusak makna
tempat public.
UU
No. 24 Tahun 2009 juga mengatur penggunaan penamaan local atau daerah dengan
menunjukkan ciri khas dan sejarah yang panjang.
Padahal dengan penamaan tempat dengan
merujuk sejarah panjang daerah suatu daerah dapat digunakan sebagai nama tempat
perumahan. Misalnya “Mayang Mengurai’, “puri masurai’.
Negara
harus mengembalikan kekacauan dari penggunaan Bahasa Indonesia yang tidak
sesuai dengan konteks makna yang sebenarnya.
Sudah
saatnya penamaan perumahan atau tempat yang tidak sesuai dengan Bahasa Indonesia,
atau penggunaan nama yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia harus dikembalikan. Sebagai identitas bangsa
yang menghargai Bahasa bangsanya. Bahasa Indonesia.
Baca : NARASI KEBANGSAAN (5)