Agak
telat saya memposting pandangan terhadap temuan obat yang dapat mengatasi
kanker. Selain tersita waktu dan mobilitas yang membuat tidak memungkinkan
membuka laptop, pandangan dari ahli kesehatan juga penting untuk melihat
persoalan ini secara utuh (komprehensif).
Sebagai
cerita bertutur dari masyarakat mengenai obat-obatan (etnofarmasi), pengetahuan
“adiluhung” tentang etnofarmasi tidak dapat diabaikan.
Dengan
dilimpahkan kekayaan pengetahuan dan kekayaan alam yang tersedia dihutan,
etnofarmasi sudah menjadi pengetahuan yang diwariskan turun temurun.
Dalam
perjalanan kemanapun, kopi selalu dibawa. Entah sebagai oleh-oleh dengan tamu
yang hendak dikunjungi. Ataupun sebagai obat “penghambat” darah ketika luka.
Pengalaman yang penulis rasakan.
Darah
kemudian terhenti. Bahkan kopi mampu menautkan luka yang menganga. Persis
seperti dijahit.
Obat
luka juga sering disampaikan dengan cara bertutur dengna menggunakan “pucuk ubi”.
Dengan mengunyah daun pucuk ubi, hasil racikan pucuk ubi kemudian ditempelkan
diluka.
Darah
terhenti. Bahkan kulit kembali menjadi baik.
Jahe, kunyit, telur, gula merah
kemudian biasa dikenal seperti “bandrek”, STMJ (susu tea madu jahe), wedang
jahe adalah menu sehari-hari. Selain menghangatkan badan juga mengembalikan
stamina setelah menempuh perjalanan jauh.
Atau membersihkan muka dengan
menggunakan daun sirih. Selain membersihkan debu, air daun sirih juga dapat
mengembalikan kesegaran mata. Pengetahuan yang sering dituturkan nenek
dikampung.
Di Talang Mamak dikenal pengobatan
menggunakan seperti bedaro putih, pasak bumi sebagai antibody (pencegahan)
penyakit malaria. Akar kunyit untuk sakit kuning. Kulit pulai, rukam, kacang
kayuan untuk demam. Atau gaharu untuk demam. Daun keduduk digunakan sebagai
obat sakit gigi. Sedangkan mahang digunakan untuk diare. LIPI sendiri pernah
mensinyalir 46 jenis obat-obatan di talang Mamak.
Di Ternate, Pala selain dijadikan
sebagai minyak goreng juga dapat digunakan sebagai sirup. Di Sumba Timur
dikenal Meranti Merah untuk sakit perut dan Meranti Putih untuk demam. Di
Padang dikenal “daun salam” dan bawang putih untuk demam. Atau jeruk nipis
untuk obat batuk. Belum lagi cabe sebagai obat disentri.
Sehingga program Pemerintah seperti
Taman Obat Keluarga (TOGA) yang sempat menjadi kegiatan Ibu-Ibu PKK dan
mewajibkan setiap RT memiliki kebun TOGA kurang bergairah lagi. Tenggelam
dengan kegiatan-kegiatan lain.
Namun ketika hasil penelitian dari
mahasiswa Palangkaraya tentang khasiat tanaman Bajakah memantik polemic.
Hasil penelitian yang belum dapat
meyakini kalangan farmasi kemudian menimbulkan kehebohan.
Disatu sisi, hasil penelitian yang “konon”
belum melewati proses panjang kemudian menimbulkan “rasa suka cita” berlebihan.
Seakan-akan hendak menumbangkan pengobatan klinis tentang kanker, pandangan ini
menggambarkan sikap mental rendah diri untuk melawan dominasi farmasi. Dunia
yang jauh dari kehidupan masyarakat.
Mental inilah yang kemudian
menjauhkan dari substansi dari kandungan dari khasiat tanaman bajakah
Padahal apabila didukung oleh riset
yang mendalam untuk menemukan formula zat dari tanaman bajakah, maka polemic justru
hendak dibangun untuk mengembangkan khasiat tanaman bajakah. Bukan terjebak
melawan industry farmasi berkaitan dengan penyakit kanker.
Disisi lain, pandangan defensive dari
industry farmasi dan meremehkan karya anak muda Palangkaraya juga turut
disesalkan. Bukan hendak membantu menghargai karya anak negeri, namun justru
sikap defensive yang justru akan memancing polemic berkepanjangan.
Mari kita hentikan polemic yang
tidak perlu. Anak-anak muda Palangkaraya harus diberi ruang untuk membuktikan
kehandalan dari khasiat tanaman Bajakah. Sedangkan industry farmasi sudah saat
menggali pengetahuan rakyat dibidang farmasi (etnofarmasi).
Pengetahuan adiluhung yang terus
menerus diwariskan dari nenek moyang nusantara.