21 Agustus 2019

opini musri nauli : Mental Under Estimate




Agak telat saya memposting pandangan terhadap temuan obat yang dapat mengatasi kanker. Selain tersita waktu dan mobilitas yang membuat tidak memungkinkan membuka laptop, pandangan dari ahli kesehatan juga penting untuk melihat persoalan ini secara utuh (komprehensif).

Sebagai cerita bertutur dari masyarakat mengenai obat-obatan (etnofarmasi), pengetahuan “adiluhung” tentang etnofarmasi tidak dapat diabaikan.

Dengan dilimpahkan kekayaan pengetahuan dan kekayaan alam yang tersedia dihutan, etnofarmasi sudah menjadi pengetahuan yang diwariskan turun temurun.

Dalam perjalanan kemanapun, kopi selalu dibawa. Entah sebagai oleh-oleh dengan tamu yang hendak dikunjungi. Ataupun sebagai obat “penghambat” darah ketika luka. Pengalaman yang penulis rasakan.

Darah kemudian terhenti. Bahkan kopi mampu menautkan luka yang menganga. Persis seperti dijahit.

Obat luka juga sering disampaikan dengan cara bertutur dengna menggunakan “pucuk ubi”. Dengan mengunyah daun pucuk ubi, hasil racikan pucuk ubi kemudian ditempelkan diluka.

Darah terhenti. Bahkan kulit kembali menjadi baik.

Jahe, kunyit, telur, gula merah kemudian biasa dikenal seperti “bandrek”, STMJ (susu tea madu jahe), wedang jahe adalah menu sehari-hari. Selain menghangatkan badan juga mengembalikan stamina setelah menempuh perjalanan jauh.

Atau membersihkan muka dengan menggunakan daun sirih. Selain membersihkan debu, air daun sirih juga dapat mengembalikan kesegaran mata. Pengetahuan yang sering dituturkan nenek dikampung.

Di Talang Mamak dikenal pengobatan menggunakan seperti bedaro putih, pasak bumi sebagai antibody (pencegahan) penyakit malaria. Akar kunyit untuk sakit kuning. Kulit pulai, rukam, kacang kayuan untuk demam. Atau gaharu untuk demam. Daun keduduk digunakan sebagai obat sakit gigi. Sedangkan mahang digunakan untuk diare. LIPI sendiri pernah mensinyalir 46 jenis obat-obatan di talang Mamak.

Di Ternate, Pala selain dijadikan sebagai minyak goreng juga dapat digunakan sebagai sirup. Di Sumba Timur dikenal Meranti Merah untuk sakit perut dan Meranti Putih untuk demam. Di Padang dikenal “daun salam” dan bawang putih untuk demam. Atau jeruk nipis untuk obat batuk. Belum lagi cabe sebagai obat disentri.

Sehingga program Pemerintah seperti Taman Obat Keluarga (TOGA) yang sempat menjadi kegiatan Ibu-Ibu PKK dan mewajibkan setiap RT memiliki kebun TOGA kurang bergairah lagi. Tenggelam dengan kegiatan-kegiatan lain.

Namun ketika hasil penelitian dari mahasiswa Palangkaraya tentang khasiat tanaman Bajakah memantik polemic.

Hasil penelitian yang belum dapat meyakini kalangan farmasi kemudian menimbulkan kehebohan.

Disatu sisi, hasil penelitian yang “konon” belum melewati proses panjang kemudian menimbulkan “rasa suka cita” berlebihan. Seakan-akan hendak menumbangkan pengobatan klinis tentang kanker, pandangan ini menggambarkan sikap mental rendah diri untuk melawan dominasi farmasi. Dunia yang jauh dari kehidupan masyarakat.

Mental inilah yang kemudian menjauhkan dari substansi dari kandungan dari khasiat tanaman bajakah

Padahal apabila didukung oleh riset yang mendalam untuk menemukan formula zat dari tanaman bajakah, maka polemic justru hendak dibangun untuk mengembangkan khasiat tanaman bajakah. Bukan terjebak melawan industry farmasi berkaitan dengan penyakit kanker.

Disisi lain, pandangan defensive dari industry farmasi dan meremehkan karya anak muda Palangkaraya juga turut disesalkan. Bukan hendak membantu menghargai karya anak negeri, namun justru sikap defensive yang justru akan memancing polemic berkepanjangan.

Mari kita hentikan polemic yang tidak perlu. Anak-anak muda Palangkaraya harus diberi ruang untuk membuktikan kehandalan dari khasiat tanaman Bajakah. Sedangkan industry farmasi sudah saat menggali pengetahuan rakyat dibidang farmasi (etnofarmasi).

Pengetahuan adiluhung yang terus menerus diwariskan dari nenek moyang nusantara.