28 November 2019

opini musri nauli : Konflik Sumber Daya Alam di Jambi - Suatu Pengantar


KONFLIK SUMBER DAYA ALAM DI JAMBI – Suatu Pengantar[1]
Musri Nauli[2]


Membicarakan sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari  akibat pengelolaan sumber daya. Dengan membaca data-data, maka pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilepaskan dari konflik[3]
Killman dan Thomas menyebutkan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja[4]

Sekedar gambaran, Tahun 2017 didapatkan jumlah mencapai 762 konflik. Terdiri dari Kebakaran/banjir/gempa bumi mencapai 268 konflik. Disusul persoalan air sebanyak 146. Kemudian konflik terjadi di masyarakat adat, petani, masyarakat miskin di pedesaan dan perkotaan sebanyak 115. Lalu Tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik. Lahan gambut sebanyak 33 konflik dan monokultur 28 konflik.

Jaringan Masyarakat Gambut Jambi menyebutkan konflik yang terjadi di Sponjen, Sogo, Tanjung, Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian[5]

Konflik yang terjadi kemudian menambah daftar panjang konflik yang terjadi sebelumnya. Tahun 2015, Di Sektor perkebunan, tahun 2015 diidentifikasi 36 konflik lahan dan 19 konflik kemitraan yang dihadapi 31 perusahaan perkebunan di Jambi[6].  Padahal konflik-konflik sebelumnya belum dapat diselesaikan.

Konflik yang terjadi di Jambi disebabkan berbagai factor[7]. Polda Jambi menyebutkan kategori konflik disebabkan oleh masalah Poleksosbud, SARA, Batas Wilayah dan SDA.  

Disebabkan Poleksosbud terjadi 32 kasus. 7 kasus dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2 kasus melalui proses hukum dan sisanya masih dalam proses penyelesaian. Disebabkan SARA ada 19 kasus. Tiga dapat diselesaikan melalui musyawarah dan sisanya saat ini masih dalam proses penyelesaian. Sedangkan potensi konflik yang disebabkan oleh Batas Wilayah. Di Provinsi Jambi ada 11 kasus. Yang sudah diselesaikan dengan musyawarah ada 6, melalui jalur hukum 1 dan saat ini yang masih dalam proses penyelesaian 4. Dan potensi konflik yang disebabkan masalah SDA, ada 69 potensi konflik. 32 sudah dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2 kasus melalui jalur hukum dan 35 kasus saat ini masih dalam tahap proses penyelesaian[8]

Badan Kesbangpol Propinsi Jambi menyebutkan konflik terjadi disebabkan eskalasi konflik lahan. Baik di sector perkebunan, HTI dan tambang[9].

Menurut Walhi Jambi, Catatan Walhi Jambi[10] menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[11]

Dari konflik dapat diketahui tipologi konflik. Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten terjadinya konflik. Merata di berbagai daerah. Konflik yang terjadi baik di sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai, PT. REKI, lembah masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan. Misalnya di PT. REKI dengan SAD[12]. Belum lagi penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten. Konflik kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama batubara[13]

Konflik kemudian menyebabkan pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko, Tebo dan Sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua, rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Yang ketiga cara-cara penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Belum lagi kriminalisasi terhadap masyarakat.

Di sector HTI, Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi. Belum lagi terjadinya 150 konflik dengan satwa

Melihat konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.

Melihat konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.

Didalam memotret maka anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor terjadinya konflik, analisis konflik, struktur konflik,  teori penyebab konflik diperlukan. Selain akan memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).

Dari analisis terhadap berbagai konflik maka kemudian dibantu dengan alat memahami konflik sehingga konflik dapat diuraikan.

Selain itu juga digunakan konsep sebagai kajian yaitu komuniti,  inequality, perilaku anomalis social, konflik dan orientasi nilai.

Sebagaimana disampaikan Louis R. Pondy merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.

Maka dipastikan, konflik yang kemudian menghabiskan energi untuk resolusi konflik dikategorikan sebagai “manifest conflict”.

Sedangkan konflik lahan lebih banyak disebabkan “pertentangan nilai”[14]. Salah satu cara untuk “mendekatkan nilai” dengan “membongkar “nilai-nilai” yang masih dipegang teguh oleh masyarakat dan membalikkan makna izin berdasarkan hukum.

Relasi “aktor” juga menjadi bagian penting didalam upaya resolusi konflik. Idiom “Perhutanan sosial” tegas mengamanatkan kebutuhan resolusi konflik disektor kehutanan harus dimaknai “masyarakat tinggal didalam hutan dan sekitar kawasan hutan”. Makna ini harus dibongkar dengan pendekatan hukum adat.

Ujaran (Seloko) seperti “datang Nampak muko, balek Nampak punggung”, “nasi putih air jernih”, “bermukim”, adalah relasi membuktikan antara subyek dan obyek sebagaimana mandate peraturan yang berkaitan dengan perhutanan sosial.

Makna ini juga harus ditandai dengan makna kependudukan sebagaimana “bermukim”, yang menjadi syarat utama “subyek” didalam membaca resolusi konflk disektor kehutanan.

Sudah saatnya, para pemangku kepentingan duduk dan mencari jalan resolusi konflik.

Energi konflik terlalu mahal ongkos sosialnya apabila konflik tidak dapat diselesaikan. Seperti “bom waktu” yang akan meledak suatu saat, maka resolusi konflik adalah “menempatkan” masyarakat “tinggal dan sekitar hutan” sebagai subyek utama didalam resolusi konflik.





            [1] Disampaikan pada Dialog Publik – Perlindungan Wilayah Kelola Rakyat dari Ancaman Industri HTI dan Perubahan Iklim, Walhi Jambi, Muara Tebo, 28 November 2019
            [2] Direktur Walhi Jambi 2012-2016. Sehari-hari adalah Advokat
            [3] Konflik adalah pertentangan kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek kekuatan social. Setiap konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan R.J Rummel, konflik adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam kurun waktu menuju keseimbangan kekuatan.Lisman Sumardjani, Konflik Sosial Kehutanan – Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, Working Group Tenure, Bogor, 2007, Hal. 22. Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara)
            [4] Novri Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 50
            [5] Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, 2017
            [6] H. Ridham Priskap, Pertemuan Penanganan Gangguan Usaha Perkebunan dan konflik Perkebunan
            [7] Data dari berbagai sumber.
            [8] AKBP Almansyah, Kabid Humas Polda Jambi, Di Jambi, 131 potensi konflik,
            [9] Sigit Eko Yuwono, Kabid Penanganan Konflik Kesbangpol Linmas Propinsi Jambi, Diskusi Refleksi Akhir Tahun Bidang Hukum” yang digelar Jambi Independent bekerja sama dengan Sigma Indonesia, Survey & Consultans, Jambi Independent, 28 Desember 2011
            [10] Catatan ini bersumber dari kliping media massa lokal sejak tahun 1999 – 2017, Walhi Jambi
            [11]Tim Penyelesaian dan Resolusi Konflik Propinsi Jambi, tahun 2010
[12] Dinas Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
            [13] Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan, Walhi Jambi.
            [14] Paradigman “izin dan “hak”.