KONFLIK SUMBER
DAYA ALAM DI JAMBI – Suatu Pengantar[1]
Musri Nauli[2]
Membicarakan
sumber daya alam di Jambi tidak dapat dilepaskan dari akibat pengelolaan sumber daya. Dengan membaca
data-data, maka pengelolaan sumber daya alam tidak dapat dilepaskan dari
konflik[3]
Killman
dan Thomas menyebutkan konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan
antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri
individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah
dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau
stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja[4]
Sekedar
gambaran, Tahun 2017 didapatkan jumlah mencapai 762 konflik. Terdiri dari
Kebakaran/banjir/gempa bumi mencapai 268 konflik. Disusul persoalan air
sebanyak 146. Kemudian konflik terjadi di masyarakat adat, petani, masyarakat
miskin di pedesaan dan perkotaan sebanyak 115. Lalu Tambang mencapai 95
konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik. Lahan gambut sebanyak 33 konflik dan
monokultur 28 konflik.
Jaringan
Masyarakat Gambut Jambi menyebutkan konflik yang terjadi di Sponjen, Sogo, Tanjung,
Rukam, Serdang Jaya, Sungai Baung, Suak Samin, Sungsang, Lumahan, Kelagian[5]
Konflik
yang terjadi kemudian menambah daftar panjang konflik yang terjadi sebelumnya. Tahun
2015, Di Sektor perkebunan, tahun 2015 diidentifikasi 36 konflik lahan dan 19
konflik kemitraan yang dihadapi 31 perusahaan perkebunan di Jambi[6].
Padahal konflik-konflik sebelumnya belum
dapat diselesaikan.
Konflik
yang terjadi di Jambi disebabkan berbagai factor[7].
Polda Jambi menyebutkan kategori konflik disebabkan oleh masalah Poleksosbud,
SARA, Batas Wilayah dan SDA.
Disebabkan
Poleksosbud terjadi 32 kasus. 7 kasus dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2
kasus melalui proses hukum dan sisanya masih dalam proses penyelesaian.
Disebabkan SARA ada 19 kasus. Tiga dapat diselesaikan melalui musyawarah dan
sisanya saat ini masih dalam proses penyelesaian. Sedangkan potensi konflik
yang disebabkan oleh Batas Wilayah. Di Provinsi Jambi ada 11 kasus. Yang sudah
diselesaikan dengan musyawarah ada 6, melalui jalur hukum 1 dan saat ini yang
masih dalam proses penyelesaian 4. Dan potensi konflik yang disebabkan masalah
SDA, ada 69 potensi konflik. 32 sudah dapat diselesaikan melalui musyawarah, 2
kasus melalui jalur hukum dan 35 kasus saat ini masih dalam tahap proses
penyelesaian[8]
Badan
Kesbangpol Propinsi Jambi menyebutkan konflik terjadi disebabkan eskalasi
konflik lahan. Baik di sector perkebunan, HTI dan tambang[9].
Menurut
Walhi Jambi, Catatan Walhi Jambi[10]
menunjukkan trend konflik dan membangun tipologi untuk melihat konflik. Data
menunjukkan konflik yang terjadi sekitar 300 -an konflik. 80 konflik berkaitan
dengan sumber daya alam dan 27 konflik diprioritaskan untuk diselesaikan[11]
Dari
konflik dapat diketahui tipologi konflik. Pertama. Hampir seluruh di Kabupaten
terjadinya konflik. Merata di berbagai daerah. Konflik yang terjadi baik di
sektor kehutanan seperti tapal batas yang belum selesai, PT. REKI, lembah
masurai, PT. LAJ dan konflik antara masyarakat setempat dengan model kemitraan.
Misalnya di PT. REKI dengan SAD[12]. Belum lagi
penguasaan APP di sektor HTI yang mengakibatkan konflik di 5 kabupaten. Konflik
kemudian bergeser ke konflik sawit dan sekarang di sektor pertambangan terutama
batubara[13]
Konflik
kemudian menyebabkan pembakaran. Baik itu di Tanjung Jabung, Bungo, Bangko,
Tebo dan Sarolangun. Artinya, hampir tiap daerah telah terjadinya pembakaran
oleh masyarakat terhadap perusahaan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Kedua,
rentang waktu yang hampir selalu terjadi setiap tahun. Yang ketiga cara-cara
penyelesaian yang masih cenderung menggunakan cara-cara represif dan tidak
menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Belum lagi kriminalisasi terhadap
masyarakat.
Di
sector HTI, Catatan Tim Resolusi Konflik Propinsi Jambi tahun 2010 menyebutkan
konflik yang berkaitan dengan APP merupakan dua pertiga konflik di Jambi. Belum
lagi terjadinya 150 konflik dengan satwa
Melihat
konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan
analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.
Melihat
konflik yang belum selesai, meruncing bahkan terjadinya korban maka diperlukan
analisis mendalam untuk melihat konflik yang terjadi.
Didalam
memotret maka anatomi konflik, akar konflik, factor-faktor terjadinya konflik,
analisis konflik, struktur konflik, teori penyebab konflik diperlukan. Selain akan
memotret utuh didalam melihat konflik, berbagai teori akan memudahkan untuk
memetakan konflik dan dapat membantu untuk menyelesaikannya (resolusi konflik).
Dari
analisis terhadap berbagai konflik maka kemudian dibantu dengan alat memahami
konflik sehingga konflik dapat diuraikan.
Selain
itu juga digunakan konsep sebagai kajian yaitu komuniti, inequality, perilaku anomalis social, konflik
dan orientasi nilai.
Sebagaimana
disampaikan Louis R. Pondy merumuskan lima episode konflik yang disebut “Pondys
Model of Organizational Conflict”. Menurutnya, konflik berkembang melalui lima
fase secara berurutan, yaitu: Laten Conflict, Perceived Conflict, Felt
Conflict, Manifest Conflict, dan Conflict Aftermath.
Maka
dipastikan, konflik yang kemudian menghabiskan energi untuk resolusi konflik
dikategorikan sebagai “manifest conflict”.
Sedangkan
konflik lahan lebih banyak disebabkan “pertentangan nilai”[14].
Salah satu cara untuk “mendekatkan nilai” dengan “membongkar “nilai-nilai” yang
masih dipegang teguh oleh masyarakat dan membalikkan makna izin berdasarkan
hukum.
Relasi
“aktor” juga menjadi bagian penting didalam upaya resolusi konflik. Idiom “Perhutanan
sosial” tegas mengamanatkan kebutuhan resolusi konflik disektor kehutanan harus
dimaknai “masyarakat tinggal didalam hutan dan sekitar kawasan hutan”. Makna
ini harus dibongkar dengan pendekatan hukum adat.
Ujaran
(Seloko) seperti “datang Nampak muko, balek Nampak punggung”, “nasi putih air
jernih”, “bermukim”, adalah relasi membuktikan antara subyek dan obyek
sebagaimana mandate peraturan yang berkaitan dengan perhutanan sosial.
Makna
ini juga harus ditandai dengan makna kependudukan sebagaimana “bermukim”, yang
menjadi syarat utama “subyek” didalam membaca resolusi konflk disektor
kehutanan.
Sudah
saatnya, para pemangku kepentingan duduk dan mencari jalan resolusi konflik.
Energi
konflik terlalu mahal ongkos sosialnya apabila konflik tidak dapat
diselesaikan. Seperti “bom waktu” yang akan meledak suatu saat, maka resolusi
konflik adalah “menempatkan” masyarakat “tinggal dan sekitar hutan” sebagai
subyek utama didalam resolusi konflik.
Baca : Analisis Konflik Sumber daya alam di Jambi - Potret Konflik di Jambi 2010 -2017 dan Hutan Adat Sebagai Identitas
[3]
Konflik adalah pertentangan kekuatan yang secara eksklusif merupakan satu aspek
kekuatan social. Setiap konflik social menyangkut kepentingan. Dalam pandangan
R.J Rummel, konflik adalah suatu proses dari kekuatan yang berinteraksi dalam
kurun waktu menuju keseimbangan kekuatan.Lisman Sumardjani, Konflik Sosial
Kehutanan – Mencari Pemahaman untuk Penyelesaian Terbaik, Working Group Tenure,
Bogor, 2007, Hal. 22. Dalam term terminologi konflik, penulis menggunakan
pendekatan “dimaknai sebagai pertentangan kepentingan antara kedua
belah pihak.
Dalam bacaan ini kemudian disinkronkan dengan kepentingan antara masyarakat
dengan pihak lain (baik perusahaan maupun akibat kebijakan negara)
[12] Dinas
Kehutanan Propinsi Jambi, 5 Mei 2014
[13]
Data-data menunjukkan, sektor pertambangan mulai memantik
persoalan. Baik biaya jalan yang mencapai 300 milyar dibandingkan dengan
royalti yang hanya mencapai 10 milyar. Banjir badang dan sungai batanghari yang
sudah tercemar akibat zat kimia dari batubara. Jatam, Diskusi Pertambangan,
Walhi Jambi.