09 Mei 2021

opini musri nauli : Kehutanan dari berbagai sudut (2)

Dalam seloko yang lain juga disebutkan Masyarakat mengenal daerah yang tidak boleh dibuka. Seperti Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus, Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”, “hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih”,  “Pasir Embun, “Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan”, “Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan”, “Rimbo bulian”, “Rimbo ganuh”, “rimbo sunyi”,  “hutan keramat” , “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”, Rimbo sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” Seloko ini melambangkan makna simbolik terhadap tempat-tempat yang dihormati.  

Biasa dikenal “pantang larang” atau “larang pantang”. Sekaligus tempat yang sama sekali tidak boleh dibuka. Biasa dikenal sebagai kawasan Konservasi. 


Selain itu juga dikenal berbagai seloko didalam pengelolaan seperti “pantang larang”, “ Setawar dingin”, “Lambas”, “Mengepang”, “Belukar Tuo, Datang nampak muko”,  “Nasi Putih Air jernih” , “Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa”,  Empang Krenggo" merupakan tatacara pengaturan membuka hutan


Sedangan proses penyelesaian terhadap perselisihan kemudian dikenal “jenjang adat” yang ditandai dengan seloko “berjenjang naik. Bertangga turun”. Ada juga menyebutkan “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya”. 


Didalam pembuktian terhadap perselisihan dikenal berbagai seloko seperti “Tumbuh diatas tumbuh, Hukum Mendaki, hukum mendatar dan hukum menurun, Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya. Berjenjang naik, bertangga turun, Tegur sapo, tegur ajar dan guling batang


Sedangkan sanksi adat dikenal sepertiayam berpindes, beras segantang, kelapa sejinjing, selemak semanis, Raja Melangkah maju, Rakyat bersimpuh Kebul”. 


Terhadap sanksi adat yang kemudian tidak dipatuhi dikenal dengan “Plali” atau “buangan”. Yang dikenal dengan seloko seperti “Bebapak pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuawo. 


Secara harfiah, orang ini kemudian dikenal sebagai “orang buangan'. “Sakit tidak diurus. Mati tidak dikuburkan”. Hidupnya menjadi tidak dihormati orang kampung.


Praktek ini Sudah diterapkan dan masih tetap berlaku. Di beberapa tempat kemudian malah tercantum didalam Peraturan Desa. 


Baca : Kehutanan dari berbagai sudut (1)