Namun ditengah pandemi corona yang terus menyerang Indonesia dan belum dapat dipastikan akan berakhir, upaya harus terus dilakukan.
Selain mengembalikan hakekat mudik, berkunjung dan silahturahmi ke keluarga besar, mendatangi orang tua yang tinggal di kampung, momentum untuk mudik belum tepat dilakukan.
Disisi lain justru akan menimbulkan masalah baru. Bukankah kita mengalami kekagetan luar bias ketika pandemi corona menyerang India.
Sekedar gambaran, Kompas melaporkan pada tanggal 28 April saja, korban sudah mencapai 200 ribu orang. Dengan tingkat kasus harian bisa mencapai 300 ribu. Dengan tingkat kematian bisa mencapai 3 ribu sehari.
Bahkan data terbaru menunjukkan, korban sudah mencapai 350 ribu/hari. Sehingga korban sudah mencapai 19 juta orang. Berbagai tayangan di televisi menggambarkan kepanikan di India.
Demikian teriakkan yang terdengar. Sekali lagi menggambarkan kepanikan India. Daya ledak di India diluar perkiraan.
Semula masyarakat “begitu konfident” menghadapi pandemi Corona. Dengan ditemukan vaksin sekaligus telah dilakukan vaksinasi membuat mereka kemudian sempat lalai.
Berbagai kegiatan sehari-hari mulai berjalan. Mall dan pasar tumpah ruah. Pesta perkawinan dilangsungkan dimana-mana. Bahkan berbagai tradisi perayaan agama dilangsungkan. Semuanya dilakukan dengan “kepongahan”. Mereka sudah yakin melalui pandemik corona dengan baik.
Namun “daya ledaknya” kemudian muncul. Tanpa “ba-bi-bu”, kerumuman yang semula dilarang kemudian memakan korban.
Daya ledaknya meluluhlantakkan. Bak tsunami. Menerjang masyarakat.
Lalu apakah kita harus mengalami peristiwa di India barulah kita baru memikirkan makna mudik ?
Baca : Mudik Orang Indonesia (4)
Advokat. Tinggal di Jambi